Ramalan, Fengshui, takdir, supranatural

Ramalan
Ramalan dan seni meramal sudah populer sejak jaman purba. Manusia selalu punya rasa ingin tahu tentang nasibnya di masa depan. Apakah kita boleh percaya dengan ramalan?

Fengshui
”Alam ini adalah simbol,”dasar pemikiran Fengshui adalah tentang keteraturan alam, dan betapa mungkinnya bahwa semua simbol-simbol di alam semesta itu bisa ditafsirkan. Singkatnya, kita memang harus percaya bahwa peramalan itu memungkinkan.

Sebagai muslim, saya percaya akan adanya ramalan. Sebentar, bukankah ada hadits yang melarang kita mempercayai peramal?

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 hari”. (HR Muslim dari sebagian Istri-istri Rasulullah Saw)
sumber : http://paranormalsakti.freehomepage.com/about.html

Saya percaya akan adanya ramalan BUKAN berarti saya percaya sembarang peramal. Bukti-bukti tentang ilmu mengetahui masa depan dicontohkan pada kisah para nabi, diantaranya adalah Nabi Yusuf ketika menerjemahkan mimpi dua orang yang dipenjara. Seorang ditafsirkan mimpinya bahwa dia akan bebas, dan seorang lagi akan dihukum mati. Ramalannya benar. Setelah itu beliau menafsirkan mimpi raja bahwa akan terjadi masa makmur selama 7 tahun dan masa paceklik selama 7 tahun. ’Ramalan’nya benar. Dalam hadits, juga terdapat beberapa ’ramalan’ Nabi Muhammad tentang masa depan. Yang menyampaikan adalah Nabi. Akankah Anda tak percaya? Ini adalah bukti nyata bahwa ramalan itu ada.

Kalau Nabi kita percaya, bagaimana kalau Mama Lauren? Apalagi ramalan bintang di koran lokal yang tampaknya diambil dari sembarang kumpulan database ramalan zodiak, apakah Anda juga percaya? Bagaimana dengan Fengshui, percaya juga?

Saya sendiri memilih, kadang percaya, kadang tidak. Sikap tersebut didasarkan bahwa keteraturan di alam ini memang sebenarnya bisa diramalkan, namun tetap saja sulit dilakukan.

Fengshui sebenarnya adalah kumpulan pengamatan manusia atas fenomena alam. Fenomenanya sendiri teratur, pengamatnya sangat mungkin bias. Bila orang Cina pakai istilah Naga Hijau dan Macan Putih, itu adalah cara mereka membuat penjelasan atas fenomena alam itu sendiri. Simbolisasi ini (yang bisa juga disebut ’rumus’) jelas sangat mungkin salah. Kalau mereka membuat ’rumus’ itu berdasarkan pengamatan di belahan bumi utara (negeri Cina), apakah masih berlaku untuk belahan bumi selatan (misalnya di Jawa)? Kalau dulu belum ada listrik, telepon seluler, perubahan iklim global, bergesernya kutub magnet bumi, dll, apakah ’rumus’ kuno itu masih akan manjur seperti saat pengamatan dulu dilakukan? Logikanya sih, tidak.

Namun tentu ada pengamatan yang masih berlaku. Misalnya Anda bekerja membelakangi pintu masuk (secara Fengshui ini posisi buruk), tentu masih akan berlaku hingga saat ini. Secara psikologis tetap saja seseorang merasa tidak nyaman bila setiap saat bisa terjadi seseorang mengintainya dari sebelah belakang. Yang ini saya percaya.

Bagaimana dengan instrumen pendukung Fengshui seperti perhitungan bintang, shio, dll. Yang ini menurut saya sangat mungkin ’rumus’nya sudah tidak jitu lagi. Posisi bintang terus berubah (galaksi ini terus berputar kawan, bukan di atas seekor kura-kura seperti anggapan orang kuno dulu). Secara pemodelan sederhana sudah jelas rumusnya tak akurat lagi. Saat ini pun sudah resmi dirumuskan zodiak ke-13 (OPHIUCHUS 30 Nov - 17 Des), rumus peramal bintang sudah pasti jadi meleset.

Jadi saya mempercayai ramalan sekedar sebagai ’rumus’ perkiraan dengan keakuratan rendah. Ibaratnya ramalan cuaca. Kita harus percaya bahwa peramalan itu mungkin. Sekaligus juga percaya bahwa secara statistik ramalan itu cuma sebuah peluang belaka. Ramalan cuaca saat ini yang didukung pengamatan satelit, jelas lebih akurat dibandingkan ramalan nasib. Saya percaya dengan Fengshui, sebatas sebuah ’model rumus’ dengan keakuratan bervariasi. Sebagian mungkin akurat 60 persen. Lainnya mungkin akurat 20 persen saja.

Bagaimana dengan keakuratan ramalan Mama Lauren? Saya percaya… bahwa itu juga hanya peluang.

Saya percaya bahwa sebagian orang diberi karunia tertentu, yah bisa kita katakan kecerdasan supranatural. Tak perlu diragukan lagi, memang faktanya jelas. Masalahnya adalah, apakah kita percaya Mama Lauren punya karunia kelebihan seperti itu? Ya, terserah Anda mau percaya atau tidak. Sulitnya hal semacam ini karena metode pembuktian ilmiah sulit dilakukan. Instrumen pengukurannya apa? Siapa yang bisa dijadikan kalibrasi/referensi?

Anggap Mama Lauren punya kemampuan supranatural itu (dan hal tersebut sah-sah saja dimiliki seseorang). Yang penting adalah, bagaimana sikap kita terhadap sebuah ramalan?

Saya pernah diramal menjadi orang sukses, sepertinya Anda juga pernah. Saya pernah diramal akan gagal pada umur sekian dan sukses pada umur sekian. Pernah diramal bisnis tertentu akan oke, dan lain sebagainya. Menurut pengamatan saya, semua ramalan itu tidak jelas keakuratannya. Saat ini saya (merasa) sukses pada sebagian hal, dan gagal pada sebagian yang lain. Jadi bagaimana kita bisa katakan ramalan tersebut akurat bila semua kondisi peramalan itu terjadi?

Penjelasan tentang ’keakuratan’ ramalan Mama Lauren dan semacamnya ini bisa dikaitkan dengan adanya Qadla’ (ketetapan Allah atas suatu kejadian) dan Qadar (terjadinya suatu kejadian) dalam ilmu Islam. Semua hal di dunia ini sudah ada ketetapannya (disebut Qadla’), sehingga sering kita diberitahu tentang lahir, rizki, mati, daripada seseorang sebenarnya sudah ditentukan. Nah, yang sering salah diartikan oleh kebanyakan orang adalah, bahwa Qadla’ seseorang itu tunggal, padahal sesungguhnya bisa BANYAK!

Sesuatu yang pasti itu belum tentu tunggal. Sebuah persamaan kuadrat atau polinomial dalam matematika bisa mempunyai jawaban benar dua, tiga, bahkan sangat banyak. Jawabannya bisa banyak tapi pasti! Artinya himpunan jawabannya itu sudah tertentu, walaupun jumlahnya banyak. Di luar himpunan jawaban tersebut adalah kemustahilan. Sebagai ilustrasi, bahwa peluang Anda menikah dengan salah satu teman Anda sekarang pastilah ada, walau mungkin kecil sekali. Tapi peluang Anda menikah dengan Cleopatra misalnya jelas suatu kemustahilan karena hidup di masa yang berbeda.

Nah, dari jutaan ketentuan qadla’ tersebut, bisa saja sebagian kecil tertangkap oleh indera keenam (supranatural) seseorang. Misalnya Mama Lauren meramal tentang suatu kejadian, maka saya berpandangan bisa saja memang dia menangkap isyarat satu dari jutaan pilihan masa depan. Berapa peluang kejadian tersebut akan terjadi? Ya, variatif, bisa sangat kecil (karena qadla’ sesungguhnya jutaan), bisa cukup besar (karena qadla’ sesungguhnya hanya beberapa puluh). Jadi bagaimana kita bisa yakin ramalan itu benar? Ya, sulit.

Yang bisa kita lakukan adalah menganggapnya sebagai input mentah. Itu ibarat seorang guru yang melihat muridnya malas belajar, lalu meramalkan bahwa si murid akan gagal ujian. Bisa saja ramalannya meleset karena si murid tiba-tiba rajin belajar, atau dapat contekan saat ujian, atau soal ujian yang keluar kebetulan saja dia bisa. Prediksi si guru (yang muncul dari akumulasi pengetahuan yang menjadi intuisi) bisa kita anggap sebagai peringatan awal. Tapi jelas sangat jauh dari mutlak.

Jadi kalau ada ramalan (atau saya diramal tanpa diminta), saya anggap itu sebagai input mentah. Mungkin berguna, mungkin tidak. Pengalaman selama ini sih, minta diramal (dulu waktu kecil terpikat oleh tawaran peramal pinggir jalan, hehe) ternyata tidak akurat, atau tepatnya tidak bisa dibuktikan keakuratannya.

Kesimpulan sekarang : semua ramalan itu hakikatnya cuma ilmu statistik saja. Ketepatannya tidak pernah mutlak. Kadang tepat, sering juga meleset. Dalam statistik itu disebut model dengan reliabilitas (keandalan) rendah. Misalnya, kalaupun sinyal-sinyal masa depan yang ditangkap Mama lauren itu benar, penafsiran atas sinyal itu secara akurat sangat sulit (data valid, penafsiran Mama Lauren lah yang bias). Hanya orang-orang tertentu seperti misalnya Nabi Yusuf dan Nabi Khaidir saja yang tingkat keakuratannya tinggi.

Efek Forer

Kenapa sih, walaupun keakuratannya rendah banyak orang masih juga senang dengan ramalan bintang (juga ramalan para peramal)? Ternyata karena ’persepsi bahwa ramalan tersebut jitu’ ternyata cukup tinggi.

Seorang dosen psikologi bernama Bertram R. Forer membuat percobaan terhadap para mahasiswanya. Mereka diberi kuesioner yang harus diisi untuk evaluasi terhadap kepribadian para mahasiswa. Beberapa lama kemudian setiap mahasiswa mendapat hasil masing-masing. Selanjutnya mereka diminta memberikan penilaian atas keakuratan tes tersebut dengan skor 0 untuk tidak tepat (poor) dan 5 untuk sangat tepat (excellent). Hasilnya adalah 4,26 yang artinya tingkat keakuratan tes tersebut sangat tinggi. Yang tidak diketahui oleh para mahasiswa tersebut adalah bahwa semua analisis yang diberikan adalah sama, dan diambil dari cuplikan ramalan bintang! Analisis tersebut berisi keterangan yang ambigu (Anda extrovert, tapi terkadang introvert, Anda terlihat disiplin di luar, padahal ceroboh di dalam, dsb). Dan karena ambiguitas analisis itu, maka setiap mahasiswa melihat kecocokan dalam dirinya!

Inilah yang disebut Efek Forer. Efek ini terjadi karena 3 hal :

1. subyek meyakini bahwa hasil tersebut unik buat dia
2. subyek percaya akan kredibilitas evaluator untuk memberikan evaluasi
3. kebanyakan isi analisis adalah hal yang bagus-bagus (positive traits)


Nah itulah yang terjadi ketika seseorang takjub dengan keakuratan seorang peramal. Dia sebenarnya terkena Efek Forer!(***)