ceritanya semua penulis punya persepsi dan gaya serta seni yang berbeda-beda dalam penceritaannya. Sama halnya dengan para pelukis yang mencoba mengabadikan wajah Kanjeng ratu Kidul, semuanya gak ada yang sama walaupun sudah pakai puasa, tirakat dan sebagainya untuk bertemu dengan beliau.
Intinya menyatakan bahwa kita adalah bukan keturunan Mocetung atau Bhagwanberdasarkan pada keyakinan bahwa di Bumi Nusantara ini sudah ada peradaban lama sebelum mereka datang.
Bukti utamanya adalah Pawukon yang merupakan suatu ilmu perbintangan yang sudah sangat tua umurnya. Kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia modern adalah kebiasaan nenek moyang kita bermain sandi, sehingga dalam mengajarkan suatu ilmupun mereka selalu menggunakan bahasa sandi.
Saya ambilkan contoh dari tulisannya Ronggowarsito supaya mudah, karena kita hanya membuka satu kisah saja. Kalau kita mencoba membahas semua dongeng disini, tidak akan mungkin bisa mengupas artinya karena terlalu banyak variasi ceritanya, sehingga akhirnya bukan mengupas sandi tapi membahas cerita dongeng sampai dunia kiamat.
Dalam buku “Pustoko Rojo Purwo” gubahan Mas Ronggowarsito ada cerita lakon “WATUGUNUNG” yang mengisahkan hidupnya sejak kecil sampai menjadi raja di Negara Gilingwesi yang diuraikan sbb:
Dewi Sinto yang keluar dari dalam tanah, untuk dapat bertemu dengan Begawan Wrahaspati harus memasak daging BANYAK (Angsa) dan daging Wedhus Pedro (Domba).
Cerita tersebut sesungguhnya adalah kiasan sandi ilmu perbintangan, yaitu Wrahaspati adalah Planet Jupiter, Dewi Sinto yang keluar dari tanah melambangkan Bumi (Dunia). Banyak/Angsa adalah lambang gugusan bintang “Banyak Angrem” yaitu bintang Scorpio. Sedangkan Wedhus Pedro atau Domba adalah bintang Aries.
Bagi orang awam yang membaca ceritanya tanpa mengetahui bahasa samarannya (sandi) pasti mengira bahwa Dewi Sinto itu bener-bener harus memasak campuran daging kambing dan daging angsa untuk menemui Wrahaspati. Bikin gule buat sajen ... ha ..ha
Dengan sedikit bersabar dan menggunakan nalar kita sekarang bisa melihat bahwa cerita roman tersebut sesungguhnya adalah pelajaran ilmu astrologi.
Dalam cerita diterangkan bahwa pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Sinto menghasilkan anak yang namanya RADITE yaitu Matahari yang dibesarkan oleh Begawan Radi titisannya Batara Surya. Pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Landep menghasilkan anak R.Wukir. Pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Somo (Bulan) menghasilkan anak Anggoro (Mars), Sukro (Venus) dan Budo (Mercury).
Pertemuan Dewi Somo dengan RADITE menghasilkan anak Dewi Tumpak (Saturnus). Raden Radite ini akhirnya menjadi raja Watugunung.
Sinto, Landep, Wukir dan Watugunung termasuk menjadi nama Wuku dan ke 26 nama wuku lainnya adalah nama anak Wrahaspati yang lahir dari beberapa istri lainnya.
Jadi ceritanya Dewi Sinto Basundari ketemu Begawan Wrahaspati adalah kiasan sandi yang ungkapannya adalah sbb:
Jalan yang harus dilewati supaya dapat bertemu atau papasan dikenal dengan nama sabuk hewan atau Lingkaran Zodiac (Dieren Riem) atau Ecliptica. Garis ini menjadi arah peredaran planet-planet yang dalam urutannya terdiri dari 12 gugusan dengan jarak masing-masing 30 derajat, yaitu Aries – Taurus – Gemini – Cancer – Leo – Virgo – Libra – Scorpio – Sagitarius – Capricornus – Aquarius – Pisces.
Sedangkan untuk gerak peredaran dunia yang menjadi pusat terletak pada garis lininya dikenal dengan nama Khatulistiwa atau Equator
Lingkaran garis lini (khatulistiwa) ini kalau dimekarkan akan berubah menjadi Garis Lini Langit atau Equator Langit.
Lingkaran Zodiac ini bersilangan dengan Equator Langit dan titik persilangan tersebut dikenal dengan nama Equinox atau bahasa Indonesianya Titik Lente.
Nah Titik Lente inilah yang diumpamakan oleh Ronggowarsito sebagai bertemunya Dewi Sinto dan Wrahaspati, yang teman-teman semua sekarang sudah mengerti sebagai persilangan bertemunya Dunia dengan Jupiter ketika beredar menyusur garis lingkaran Zodiac.
Dalam cerita diatas diterangkan bahwa bertemunya dua orang tersebut yaitu persilangan equator langit dengan lingkaran zodiac pada titik lente, adalah akibat dari bersatunya daging angsa dan daging domba itu mengandung makna hakekat bahwa titik lente itu berjalan/menggeser dari arah bintang angsa (Scorpio) kearah bintang Aries.
Demikianlah persoalan ilmu perbintangan yang di DRAMATISIR menjadi cerita sandi tentang pertemuan antara dewi Sinto dengan Begawan Wrahaspati (antara Bumi dengan Jupiter).
Nah, sekarang jelaskan bahwa cerita Watugunung itu sesungguhnya adalah cerita sandi lambang ilmu perbintangan yang menyebutkan semua nama planit dengan lingkaran zodiac dan equator langit. Jelas bahwa leluhur orang Indonesia jaman purba sudah mempunyai dan mengerti ilmu perbintangan yang lengkap, baik dalam bidang astronomi maupun astrologi seperti yang terdapat dalam pawukon yang juga dipakai untuk mengetahui watak seseorang.
Pertanyaan selanjutnya adalah berapa tahunkah umur ilmu perbintangan bangsa Indonesia itu ?
Pembuktian umurnya pawukon yang lebih tua dari umurnya ilmu perbintangan Mesir, membutuhkan sedikit waktu persiapan karena harus sedikit membuat orat-oret jalannya bintang dilangit supaya yang membaca bisa mengerti dengan adanya VISUAL EXPLANATION.
Kapankah Ilmu Perbintangan Indonesia itu dilahirkan ?
Sesuai dengan makna yang tersirat dibelakang cerita Sinto ketemu Wrahaspati, persilangan dua garis lingkaran yang disebut equinox itu adalah menggesernya Banyak Angrem ke Wedhus Pedro atau Scorpio ke Aries, yaitu Bintang No.1 ke Bintang No.8.
Bergesernya Equinox dari arah Scorpio menuju ke Aries adalah melalui 7 gugus bintang yaitu Libra, Virgo, Leo, Cancer, Gemini, Taurus dan Aries.
Lamanya perjalanan waktu bergeser untuk tiap-tiap gugus bintang adalah 2156 tahun. Jadi total waktu perjalanan Scorpio ke Aries adalah 7 X 2156 tahun = 15.092 tahun.
Menurut ketentuan dalam ilmu perbintangan, untuk mengetahui umur berkembangnya ilmu perbintangan diberbagai Negara, ialah dengan memperhitungkan letak Equinox bagi ilmu perbintangan milik sesuatu Negara pada kedudukan mulai saat berkembangnya, kemudian dihitung jalan menggesernya sampai ke letak bintang Aries, yang menjadi pangkal menghitung posisi bintang pada garis lingkar zodiac.
Sesuai uraian diatas, dalam ilmu perbintangan kuno Indonesia, equinoxnya pada permulaannya berada diarah bintang Banyak Angrem (Scorpio) yang dalam perjalanannya ke Wedhus Pedro (Aries) melalui 7 gugus yang membutuhkan waktu 15.092 tahun lamanya. Jadi sesuai dengan pedoman ketentuan dari ilmu perbintangan maka umur ilmu perbintangan Indonesia sudah lebih dari 15.000 tahun.
Nol derajat equinox Aries itu terjadi pada tahun 108 Sebelum Masehi. Sedangkan sekarang ini pada saat Pak Biduanmanstrip membuat catatan ini adalah tahun 2007.
Jadi sampai waktu sekarang ini equinox tersebut sudah berjalan menggeser dari letak Aries selama (108 + 2007) 2115 tahun mendekati letak bintang Pisces. Dengan demikian berkat sandinya Pak Ronggowarsito maka kita dapat menghitung dengan pasti bahwa ilmu perbintangan Indonesia yang disebut pawukon ini sudah mencapai (15.092 + 2115) 17.207 tahun lamanya.
Meskipun banyak yang sudah tidak mengerti artinya, tetapi ilmu perbintangan Indonesia yang disebut pawukon ini sampai sekarang masih dikenal sebagian besar masyarakat, karena itu masih dicantumkan dalam “Tanggalan” untuk berbagai kepentingan adat dan keagamaan.
Budaya_asli_jawa_html_210c3ddc_1 1. Bulatan ditengah D = Dunia
2. Lingkaran 1-R-7-S = Equator Langit
3. Lingkaran 1-0-7-P = Zodiac terdiri dari 12 gugus bintang.
4. Letak Aries adalah pangkal untuk menghitung jalan menggesernya equinox
5. Panah B = arah jalan menggesernya equinox dari scorpio ke Aries.
6. Equinox atau Titik Lente berada di Aries tahun 108 SM
Dengan terungkapnya umur ilmu perbintangan pawukon yang sudah mencapai 17.000 tahun, ini menambah bukti lagi bahwa bangsa Indonesia adalah penduduk asli Bumi Nusantara yang sudah memiliki peradaban sendiri. Bukan keturunan Turki, Baghwan atau Mocetung yang katanya datang 300 tahun SM.
Bangsa Indian
Melalui penghitungan bergesernya equinox tersebut, diperhitungkan bahwa penduduk tertua di Peru telah memiliki ilmu perbintangan yang umurnya 15.000 tahun karena titik lentenya berada pada Libra. Pergeseran dari Libra sampai Aries melalui 6 gugus bintang yaitu 6 X 2156 = 12.936 + Letak equinox kini (108+2007) = 15.051 Tahun
Dengan demikian terbukti melalui pawukon ini bahwa Peradaban di Indonesia sudah ada ketika berkembangnya peradaban Bangsa Kulit Merah (Indian) yang hidup sejak jaman Lemuria dan Atlantis di bagian bumi sebelah barat. Sedangkan Bangsa Indonesia adalah bangsa Kulit Sawo Matang dengan peradabannya berkembang dibagian bumi sebelah timur.
Bangsa Cina
Ilmu perbintangan tertua dari bangsa Cina adalah 13000 tahun, dilihat pada titik lentenya yang berada pada perumahan bintang Virgo. Perjalanan dari Virgo – Leo – Cancer – Gemini – Taurus – Aries melalui 5 gugus bintang, yang membutuhkan waktu 5 X 2156 = 10.780 + letak equinox kini (108+2007) = 12.895 Tahun.
Bangsa Babilonia
Ilmu perbintangannya berumur 6500 tahun, dilihat dari letak titik lente yang berada pada bintang Gemini. Pergeseran dari Gemini sampai Aries melalui 2 gugus bintang Taurus dan aries yang membutuhkan waktu 2 X 2156 = 4312 + letak equinox kini (108+2007) = 6427 tahun.
Bangsa India (Hindia Belakang)
Ilmu perbintangannya disebut Surya Sidhanta dan titik lentenya dimulai dari Taurus yang dalam pergerakannya menuju ke Aries membutuhkan waktu 2156 tahun lamanya. Sampai dengan tahun ini dimana Pak Musha melakukan pencerahan Nasional yaitu tahun 2007 maka ilmu perbintangan Raden Mas AjiSaka beru mencapai 2156 + (108+2007) = 4271 tahun umurnya.
Nah … sekarang coba masing-masing kita semua merenung, apakah mungkin leluhur jawa itu orang India atau Mbah Warijan itu Orang Cina. Apakah sampai sebegitu rendahnya rasa percaya diri bangsa ini, sampai tidak mau mengakui jati dirinya yang tulen. leluhur jawa yang manuke gundal gandul itu telah membekali kita dengan ilmu perbintangan yang tak ternilai harganya. Inilah Pusaka dan Harta Karun Indonesia yang di buat menjadi cerita mistik sebagai harta karun Bung Karno dsbnya.
Kalau ada yang mau mencari harta karun tersebut ya Galilah ilmu warisan leluhur jawa ini. Berbanggalah menjadi Putra Bangsa melalui tindakan-tindakan yang "Noble". Berprestasilah sebagai Putra Bangsa melalui tindakan-tindakan yang "Tulus".
Untuk mencari bukti lebih lanjut bahwa peradaban Indonesia ini sudah ada sebelum kedatangan para tamu asing kita coba teliti peninggalan leluhur jawa yang disebut “PASARAN”. asli ciptaan orang Indonesia, tidak meniru dan tidak berasal dari orang asing baik Turki, Cina maupun India.
Pasaran terdiri dari 5 hari yaitu : Kliwon – Legi – Paing – Pon – Wage. Masings nama itu sejak jaman kuno telah digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang. Dalam menentukan pembukaan pasar itu dicarikan hari-hari mana saja yang paling baik untuk melakukan transaksi perdagangan. Misalnya ada hari-hari tertentu yang baik pengaruhnya untuk melakukan transaksi dagang, sehingga apapun yang diperdagangkan pasti laku. Namun ada juga sifat hari yang bila pasarnya dibuka pada hari tersebut, pasarnya akan sepi tidak ada pengunjungnya.
Pasaran itu sampai sekarang masih tetap dikenal terutama bagi pasar di pedesaan. Disamping dijadikan ketentuan waktu ukuran banyaknya pengunjung pasar, nama pasaranpun juga banyak dipergunakan sebagai nama tempat, misalnya di Surakarta ada tempat namanya Pasar Kliwon, Pasar Legi dan Pasar Pon. Di Kudus juga ada Pasar Kliwon dan banyak tempat lainnya lagi.
Nama 5 hari tersebut sesungguhnya berasal dari nama 5 Roh pokok dari jiwa manusia yang sudah menjadi keyakinan leluhur orang Indonesia jaman Purba sampai sekarang. 5 macam roh yang menghidupi jasmani itu urutan namanya sama dengan nama 5 hari pasaran yaitu Kliwon – Legi – Paing – Pon – Wage.
Pengetahuan tentang 5 macam roh tersebut didapatkan dari penguraian cerita sandi dalam kitab KEROTO BOSO tentang lakon raja Widoyoko di Negara Medangkamulan. Dikisahkan sebagai berikut:
Marengi mongso Palguno nuju ratri lek purnomo sidhi, prabu Widoyoko kedatengan utusanipun Hyang Jagad Waseso, ingkang kautus nayoko nomo: Bathoro Legi – Bathoro Paing, Bathoro Pon, Bathoro Wage, Bathoro Kliwon jujuluk Bathoro Kasihan.
Artinya: Dalam bulan Palguno pada waktu malam hari saat bulan purnama, Baginda Wodoyoko didatangi utusan Tuhan, yang diutus adalah Batara Legi – Batara Paing, Batara Pon, Batara Wage, Batara Kliwon dengan gelar Batara Kasihan.
Untuk itungan hari menurut kepercayaan orang Indonesia kuno, Kliwon adalah yang pertama dan menjadi pusatnya kemudian Legi, Pon, Paing, Wage.
Cerita sandi tersebut mengandung makna bahwa raja (Widoyoko) melambangkan manusia yang tinggi ilmu kerohaniannya. Bagi orang Kuno melambangkan orang LINUWIH yang ketrimo (Mendapatkan rahmat Tuhan) yang disebut Hyang Jagas Waseso, sehingga orang yang Linuwih ini dapat bertemu dan mengetahui serta mengenal bagian dari jiwanya sendiri yang terdiri dari lima macam yaitu Kliwon, Legi, Paing, Pond an Wage.
Dalam kalangan masyarakat Indonesia (Jawa khususnya) 5 macam roh itu pada umumnya disebut SADULUR PAPAT LIMO PANCER, yaitu 4 saudara, yang kelima (Kliwon) menjadi pusatnya disebut juga INGSUN, atau Sukma (jiwa manusia yang tunggal unsur dengan Dzat Tuhan.
Adapun 4 saudara lainnya terdiri dari roh anasir alam yang menjadi jasmani manusia yaitu Tanah – Air – Api – Udara. Mereka bersaudara karena mereka adalah bentuk jasmaninya manusia.
Dengan demikian maka cerita raja Widoyoko didatangi 5 utusan Tuhan tersebut sesungguhnya mengandung arti membentangkan pelajaran kerohanian peninggalan leluhur jawa.
Berhubung nama 5 hari pasaran itu pada prinsipnya mengambil nama jiwa manusia yang disebut “Sadulur Papat Limo Pancer”, maka dalam kalangan masyarakat yang masih berpegang teguh pada tradisi tua, terdapat naluri untuk menggunakan nama 5 pasaran tersebut sebagai referensi perangai manusia menurut hari pasaran kelahirannya.
Misalnya orang yang hari kelahirannya (wetonnya) jatuh pada pasaran Kliwon, ia diperkirakan mempunyai kecerdasan luas, peka, supel dan suka ilmu kerohanian.
Karena “pasaran” ini sudah ada sebelum datangnya orang-orang asing ke Bumi Nusantara, maka “pasaran” ini juga merupakan bukti bahwa bumi Nusantara sudah tua peradabannya dan sudah tinggi ilmu kerohaniannya.
Perhitungan Bulan Jaman Purba
Adanya PASARAN membuktikan peradaban bangsa Indonesia sudah berkembang lama sebelum kedatangan Mocetung, Bhagwan dan AtaTurk, di Bumi Nusantara.
PASARAN tersebut jelas masih hidup hingga kini dengan dicantumkannya pada tanggalans dinding, bahkan masih relevant dengan kehidupan rakyat sehari-hari. Namun ada suatu sistim penghitungan bulan warisan leluhur jawa yang nasibnya tidak sebaik nasib PASARAN.
Warisan tersebut adalah pengetahuan tentang perhitungan bulan yang bersifat asli, bukan pemberian bangsa asing, namanyapun menggunakan bahasa NGOKO, misalnya
1. Koso
2. Karo
3. Ketigo
4. Kapat
5. Kalimo
6. Kanem
7. Kapitu
8. Kawolu
9. Kesongo
10. Kesepuluh
11. Apit Lemah
12. Apit Kayu.
Terdapatnya 12 nama bulan memakai bahasa NGOKO asli itu adalah bukti warisan leluhur kita. Tidak mungkin bangsa Cina atau India yang sudah mempunyai bahasa sendiri mau menciptakan bahasa baru, apalagi bahasa yang sudah bertingkat-tingkat seperti NGOKO-KROMO-KAWI.
Pada jaman dulu, bulan-bulan tersebut dipergunakan oleh masyarakat pedesaan untuk pedoman dalam urusan pertanian, misalnya dalam mengerjakan sawah dan ladang, memperhitungkan turunnya hujan, dan waktunya hujan sudah menipis, sehingga lazim disebut sebagai MUSIM.
Masyarakat Bali masih mengenal 12 bulan tersebut dengan sebutan SASIH yang berasal dari perkataan SASI (ngoko) yang berarti bulan. Misalnya Sasih Koso, Sasih Karo dan seterusnya. Sasi ini di Jawa dulu juga dikenal dengan nama MANGSA, misalnya Mangsa Koso, Mangsa Karo, Mangsa Katelu dstnya, namun bagi masyarakat Jawa sekarang ini terutama generasi mudanya baik rakyat tani di desa maupun penduduk di kota, sudah jarang sekali yang mengerti bahkan mungkin sudah tidak ada lagi yang mengerti adanya nama bulan peninggalan leluhur asli Indonesia tersebut, karena tertutup oleh pengertian nama bulan Masehi dan bulan Arab yang dipergunakan sehari-hari sebagai pengganti nama bulan peninggalan leluhur kita.
Umur dari tiap-tiap bulan tersebut berbeda-beda namun lambat laun disesuaikan atau didekatkan dengan umur bulan asing yang berurutan datang mendesak, demikian pula nama dari bulans tersebut mengalami perubahan.
Misalnya:
Sasih Kaso panjangnya sekitar 41 hari dimulai dari minggu ketiga bulan Juni Masehi berakhir pertengahan minggu pertama Agustus Masehi. Pada Sasi ini panas terik hingga daun menjadi kering, tanah gersang tidak ada air.
Sasih Karo, panjangnya 23 hari, berawal dari pertengahan minggu pertama bulan Agustus dan berakhir pertengahan minggu ketiga bulan Agustus. Pada sasi ini tanah mulai merekah akibat terik, buah mangga matang dan kapok pada mekar.
Sasih Katelu, panjangnya 24 hari dimulai dari minggu keempat bulan Agustus, berakhir pada akhir minggu ketiga bulan September. Akhir dari masa terik, tanaman umbi bisa dipanen.
Sasih Kapat, panjangnya 25 hari, dimulai pada minggu keempat bulan September dan berakhir pada minggu kedua bulan Oktober. Hujan mulai turun, burung berkicau dan mulai membangun sarang.
Dst … dst…
Sasih Purba dan adaptasinya menjadi bulan Masehi
Umur
Hari....Nama Purba....Nama Bali....Adaptasi....Masehi
41......Koso..........Sasih Koso.......30.......Juni
23......Karo..........Sasih Karo.......31.......Juli
24......Ketigo........Sasih Katelu.....31.......Agustus
25......Kapat.........Sasih Kapat......30.......September
27......Kalimo........Sasih Kalimo.....31.......Oktober
43......Kanem.........Sasih Kanem......30.......Nopember
43......Kapitu........Sasih Kapitu ....31.......Desember
27......Kawolu........Sasih Kawolu.....31.......Januari
25......Kesongo.......Sasih Kesongo..28/29......Pebruari
24......Kesepuluh.....Sasih Kesepuluh..31.......Maret
23......Apit Lemah....Sasih Jestha.....30.......April
41......Apit Kayu.....Sasih Asadha.....31.......Mei
Dengan datangnya kebudayaan India (Hindu) ke Indonesia, nama dua bulan terakhir yaitu Apit Lemah dan Apit Kayu dirubah menjadi Jyaistha atau Jestha atau Destho untuk Apit Lemah dan Ashada atau Saddho untuk Apit Kayu.
Bukti masih adanya 10 nama bulan purba dan digantinya 2 nama bulan purba tersebut menjadi bulan Hindu di Bali menunjukkan bahwa Bumi Nusantara sudah ada penduduknya ketika orang-orang India datang ke Indonesia.
Orangs Indonesia sudah memiliki Hari Pasaran dan Bulan Sasi.
Kalau Bumi Nusantara masih kosong ketika orangs keling tersebut datang, pasti namas dari ke 12 bulan tersebut semuanya memakai nama Hindu, bukan nama campuran dengan nama Indonesia asli. Nama bulans asli Indonesia tersebut membuktikan bahwa kita bukan keturunan India.
Budaya Apitan
Berhubung digantinya nama asli dari ke dua buah bulan Indonesia yaitu bulan Apit Kayu dan bulan Apit Lemah menjadi bulan Jestha dan bulan Asadha oleh budaya Hindu, maka sekarang sudah jarang sekali yang mengerti dan mengetahui keberadaan nama bulan asli Indonesia tersebut.
penduduk disekitar Semarang sering merayakan perayaan yang namanya APITAN yang dilaksanaan antara DULKAIDAH dan BESAR. Nah Dulkaidah dan Besar itu nama Hindunya adalah Jestha dan Asadha yang sebenarnya menurut nama Indonesia aslinya adalah Apit Kayu dan Apit Lemah.
Kenapa namanya Apitan, bukannya Dulkaidahan atau Jesthaan?
Itu karena budaya Apitan itu lebih dulu ada dibandingkan dengan budaya India dan Arab yang datang belakangan.
4 Musim ala JAWA
Nama hari pasaran dan nama bulan yang terbukti ada sebelum kedatangan Ajisaka menunjukkan bahwa Indonesia ini sudah ada penduduknya jauh sebelum kedatangan mereka.
Disamping PASARAN dan Nama Bulan asli Indonesia tersebut, masih ada nama 4 musim yang juga asli pengetahuan peninggalan leluhur jawa, Nama dari ke empat musim tersebut adalah:
1. Mareng
2. Ketigo
3. Labuh
4. Rendheng
Musim Mareng
Adalah waktu ketika hujan makin surut atau makin berkurang
Meliputi bulan Apit Kayu, Koso, Karo,(Mei, Juni Juli).
Musim Ketigo
Adalah waktu musim panas atau musim kering.
Meliputi bulan Ketigo, Kapat, Kelimo (Agustus, September, Oktober).
Musim Labuh
Adalah waktu ketika hujan sering turun
Meliputi bulan Kanem, Kapitu. Kawolu (Nopember, Desember, Januari).
Musim Rendheng
Adakah waktu ketika banyak turun hujan.
Meliputi bulan Kesongo, Kesepuluh, Apit Lemah (Pebruari, Maret, April).
Bahasa yang dipakai untuk nama-nama musim tersebut adalah bahasa NGOKO asli Indonesia seperti halnya dengan nama-nama 12 bulan dan nama hari Pasaran.
Adanya nama 4 musim dengan bahasa NGOKO asli Indonesia ini manambah bukti bahwa kita bukan keturunan bangsa Cina dan bangsa India yang sudah mempunyai bahasa dan budaya sendiri. Sangat tidak masuk akal kalau mereka yang datang itu kemudian menciptakan bahasa dan huruf khusus dilanjutkan dengan membelah-belah diri dan kulturnya menjadi suku Jawa, Sunda, Madura, Batak, Bugis, Minang, Ambon, Dayak dstnya
Pasaran, Bulan dan Tahun ini adalah hasil karya cipta bangsa kita sendiri. Sayangnya banyak details dari perhitungan tahun Indonesia asli peninggalan leluhur jawa ini telah tertimbun dengan penggunaan angka tahun pembawaan bangsa asing yang datang beruntun, misalnya tahun Saka, kemudian disusul oleh peleburan antara tahun Saka dan Tahun Arab yang dikenal sebagai tahun Jawa dan terakhir didesak oleh penggunaan angka tahun Masehi, sehingga pudar.
Memang bila angka tanggalan asli tersebut digunakan sekarang ditengah era globalisasi akan menjadi tidak practical, tetapi setidak-tidaknya dapat dipakai sebagai tolak ukur tinggiya budaya asli bangsa Indonesia dan bahan study para scholars.
Di Dieng ini ada candi Arjuna dan Candi Semar.
Nama Semar itu cuma adanya di Indonesia, hal tersebut menunjukkan bahwa sudah kuatnya budaya lokal ketika dibanjiri budaya Hindu, sehingga lakon lokalnya tetep saja muncul.
Bagi saudara kita yang merasa bahwa nenek moyang bangsa Indonesia ini keturunan Mocetung dari Yunan, ini saya berikan sedikit pencerahan.
Kita mengerti bahwa pada 300 tahun SM, bangsa Cina itu sudah tergolong maju keadaan hidupnya, sudah tinggi budayanya, sudah mempunyai bahasa yang baik dan sudah menciptakan huruf sendiri (kanji). Tahun 500 SM di Cina itu ada seorang LINUWIH yang dianggap sebagai Nabi, namanya Kong Hu Cu.
Ajaran Kong Hu Cu ini pada 300 tahun SM sudah menjadi tulisan dan meluas di Cina sebagai suatu kepercayaan Agama yang banyak pemeluknya hingga sekarang.
Apabila pada 300 tahun yang lalu mereka dalam jumlah rombongan besar pindah ke Indonesia yang katanya masih kosong, berarti mereka masih tetap memegang identitasnya sebagai bangsa Cina yang utuh dengan segala perabot budayanya termasuk bahasa, kepercayaan dan tulisannya.
Apakah mungkin dalam waktu relative singkat mereka bisa merubah dirinya menjadi suku Minang, Batak, Madura, Jawa, Sunda dsbnya. Membuang bahasa, kepercayaan dan tulisannya termasuk budayanya kemudian merubahnya menjadi budaya, kesenian dan kepercayaan baru. Ini kan benars tidak masuk diakal. Pasti Kong Hu Cu sebagai nabi mereka yang akan menjadi panutan luas di Indonesia. Demikian pula namas para dewa dan dewinya pun pasti pakai nama Cina misalnya Kwan Im, instead of Kanjeng Ratu Kidul.
Lha wong yang di Glodok sekarang aja mereka masih pada pakai bahasa dan tulisan mereka sendiri walaupun sudah melalui proses asimilasi ribuan tahun di Indonesia. Demikian juga yang di Semarang atau di Kalimantan walaupun fasih berbahasa local (NGOKO) tapi kepercayaan terhadap Kong Hu Cu masih tetap dalam. Wajah dan kulitnya tetap seperti aslinya, tidak berubah menjadi gosong kemudian dan dipanggil Simbolon atau Otong. Mereka tetap saja Lim atau Kwee.
Juga ajaran nabi Kong Hu Cu koq enggak pernah tertanam dalam di Indonesia, yang secara logis bila orang Cina itu adalah nenek moyang kita tentunya Kong Hu Cu itu akan berperan dalam kultur dan kepercayaan kita, sebagai ajaran utama sehingga kita bukan manggil Mbah Warijan atau leluhur jawa lagi, tapi Kong Warijan dan Kong Dudung.
Bener gak sih kalau engkong kita adalah Mocetung ?
Ngeyel
Mengapa budaya penduduk asli bumi Nusantara Pudar ?.
Mungkin hal ini diakibatkan oleh filosofi penduduk asli yang dibentuk dari pengamatan mereka terhadap alam disekitarnya.
Alam mengajarkan mereka untuk bersikap tidak merusak “HARMONIS”, menyatu dengan alam, yang juga diaplikasikan pada sesame manusia sehingga timbul kepercayaan “Tenggang Rasa”. Kemudian bila alam sedang bergolak mereka tidak mampu berbuat apa-apa dan pasrah kepada kekuatan alam maka terlahirlah kepercayaan “NERIMO”, karena mereka melihat gejolak alam selalu ada akhirnya dan kepercayaan nerimo inipun di aplikasikan pada hubungan antar manusia.
Terakhir dan yang mungkin menjadi penyelamat dari budaya tua ini adalah sikap NGEYEL (pantang menyerah). Setelah alam selesai menghancurkan perabot kehidupannya, mereka kembali membangun kehidupan. Sikap ngeyel ini lebih cocok dibilang “RESILIENCE”, karena makna dari kata ngeyel sekarang sudah mempunyai konotatif negative, dipakai untuk julukan orang tak berilmu atau dogol tapi bersikukuh dengan pendapatnya.
Terdesak dengan kedatangan rombongan refugee dari luar (saat itu kita belum punya pulau Galang sebagai pusat penampungan), maka leluhur jawa menerima para refugee ini dengan tangan terbuka termasuk budayanya. Ini semua terjadi karena sudah sangat mendalamnya filosofi Harmony dan Nerimo yang diajarkan oleh alam pada leluhur jawa, sehingga terjadilah pembauran budaya melalui proses bertahun-tahun lamanya sehingga sekarang seolah-olah merupakan budaya asli bangsa kita.
Namun diam-diam dibelakang layar, self preservation mechanism yang ada dalam tubuh budaya tua kita itu sesungguhnya sudah mulai bekerja sejak saat para refugee menginjakkan kaki di bumi Pertiwi. Alat pembela tersebut dikenal dengan nama “NGEYEL”. Sifat-sifat ngeyel dari nenek moyang kita inilah yang telah berhasil mempertahankan ilmu pengetahuan tua tersebut dengan menyisip-nyisipkan istilah dan nama asli secara terbuka disamping membuat ceritas lagenda yang tidak masuk akal tapi sebenarnya adalah pesans leluhur dalam bentuk sandi.
Datangnya pengaruh Hindu
Pada waktu orang Hindu menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi, mereka membawa nama hari, bulan dan perhitungan tahun mereka yang kita kenal sebagai tahun SAKA.
Nama dari ketujuh hari tersebut adalah Aditya, Soma, Anggara, Budha, Whraspati, Cukra dan Caniscara. Berhubung intonasinya agak sulit bagi penduduk asli yang bahasanya ngoko jadi medok banget, maka nama Aditya berubah menjadi Radite atau juga Dite. Soma menjadi Somo, Anggara menjadi Anggoro, Budha menjadi Budo, Whraspati menjadi Respati, Cuckra menjadi Sukro, sedangkan Caniscara menjadi Tumpak.
Orangs Hindu ini meluas di Bumi Pertiwi dan dalam menghadapi filosofi Nerimo dan Harmoni di Nusantara yang sangat pasif ini bagi mereka mudah untuk menaklukannya sampai akhirnya mereka berhasil meluaskan ajaran budaya Hindu.
Meskipun nama hari asli leluhur jawa terdesak, namun berkat ke ngeyelan leluhur jawa maka nama-nama tersebut tidak hilang. Belia menggunakan cara “NGERANGKEPI” yaitu dua-dua namanya dipakai sekaligus misalnya Somo Manis untuk Senin Legi, Anggoro Kasih untuk Selasa Kliwon dan Respati Manis untuk Kamis Legi.
Nama hari pasaran tersebut diletakkan dibelakang dan diubah namanya dengan mengambil sinonim dan sifat warna unsurnya.
- Kliwon sinonimnya adalah Kasihan atau Kasih (pancer/Jiwa)
- Legi (unsur udara) sinonimnya Manis, warnanya putih, istilah Jawa Kromonya “Pethak”, diucapkan Pethakan.
- Paing (unsur api) warnanya Merah, istilh Jawa Kromonya “Abrit”, diucapkan Abritan.
- Pon (unsur air) warnanya kuning, istilah Jawa Kromonya “Jene”, diucapkan Jeneyan.
- Wage (unsur tanah) warnanya Hitam, istilah Jawa Kromonya “Cemeng”, diucapkan Cemengan.
Dite Kasih = Minggu Kliwon
Dite Pethakan = Minggu Legi
Dite Abritan = Minggu Paing
Dite Jeneyan = Minggu Pon
Dite Cemengan = Minggu Wage
Somo Kasih = Senen Kliwon
Somo Manis = Senin Legi
Somo Abritan = Senin Paing
Somo Jeneyan = Senin Pon
Somo Cemengan = Senin Wage
Anggoro Kasih = Selasa Kliwon
Anggoro Manis = Selasa Legi
Anggoro Abritan = Selasa Paing
Anggoro Jeneyan = Selasa Pon
Anggoro Cemengan = Selasa Wage
Budo Kasih = Rebo Kliwon
Budo Manis = Rebo Legi
Budo Abritan = Rebo Paing
Budo Jeneyan = Rebo Pon
Budo Cemengan = Rebo Wage
Respati Kasih = Kamis Kliwon
Respati manis = Kamis Legi
Respati Abritan = Kamis Paing
Respati Jeneyan = Kamis Pon
Respati Cemengan = Kamis Wage
Sukro Kasih = Jumat Kliwon
Sukro Manis = Jumat Legi
Sukro Abritan = Jumat Paing
Sukro Jeneyan = Jumat Pon
Sukro Cemengan = Jumat Wage
Tumpak Kasih = Sabtu Kliwon
Tumpak Manis = Sabtu Legi
Tumpak Abritan = Sabtu Paing
Tumpak Jeneyan = Sabtu Pon
Tumpak Cemengan = Sabtu Wage
Semoga kita semua menjadi sadar.
Sama menghargai warisan Leluhur kita.
Sadulur Papat Limo Pancer Warisan leluhur jawa
Hakekat pokok yang tercantum dalam Sadulur Papat Limo Pancer adalah penggambaran hubungan antara manusia dengan Gusti Allahnya dan juga dengan alam disekelilingnya.
leluhur jawa sudah mengenal Gusti Allah yang menjadi bagian dari dirinya/sukmanya dan dilambangkan sebagai Bathara Kliwon, ke 4 nafsu manusia yaitu mutmainah, amarah, sufiah, laumah, dilambangkan sebagai personality dari Bathara Legi, Bathara, Paing, Bathara Pon, Bathara Wage yang mempunyai pengaruh pada dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, baik manusia, hewan maupun alam.
Bagi yang kurang memahami, dan hanya melihat dari luarnya saja, sangat mudah untuk memberikan vonis bahwa ajaran yang diturunkan oleh leluhur jawa belum mengenal Ke Esa-annya Gusti Allah. Padahal sesungguhnya leluhur jawa sudah lebih jauh mendalami hubungan antara Gusti Allah-Manusia dan Alam, yang dilukiskan dalam kepercayaan SADULUR PAPAT LIMO PANCER ini.
Kepercayaan tersebut tentunya telah dijadikan fondasi dari Kerajaan Pertama di Bumi Nusantara dan diajarkan kepada rakyatnya selama beratus mungkin beribu tahun sehingga melekat menjadi bagian dari Gene di tubuh manusia Nusantara. Berbagai macam agama masuk ke bumi Nusantara, mulai dari Hindu, Budha, Islam sampai dengan Kristen, tetapi tetap saja “Sadulur Papat Limo Pancer” ini hidup diantara ajaran-ajaran baru tersebut.
Warisan leluhur jawa sifatnya invisible, tidak bisa dilihat atau diraba, tetapi bisa dirasakan, pengaruh ajaran kerajaannya masih tetap kuat beredar dikalangan masyarakat Nusantara.
SERAT PAWUKON
1. Pasaran Legi lungguhe wetan, kuthane seloko, segarane santen, manuke kuntul, aksarane Ho-No-Co-Ro-Ko. (Pasaran Legi berkedudukan di timur, kotanya perak/putih, lautnya santan/putih, burungnya kuntul/putih, hurufnya Ho-No-Co-Ro-Ko).
2. Pasaran Paing lungguhe kidul, kuthane tembogo, segarane getih, manuke wolung, aksarane Do-To-So-Wo-Lo. (Pasaran Paing berkedudukan di selatan kotanya tembaga/merah, lautnya darah/merah, burungnya rajawali/merah, hurufnya Do-To-So-Wo-Lo).
3. Pasaran Pon lungguhe kulon, kuthane kencono, segarane madu, manuke podhang, aksarane Po-Dho-Jo-Yo-Nyo. (Pasaran Pon berkedudukan di barat, kotanya emas/kuning, lautnya madu/kuning, burungnya podhang/kuning, hurufnya Po-Dho-Jo-Yo-Nyo).
4. Pasaran Wage lungguhane lor, kuthane wesi, segarane nilo, manuke gagak, aksarane Mo-Go-Bo-Tho-Ngo. (Pasaran Wage berkedudukan di utara, kotanya besi/hitam, lautnya nila/hitam, burungnya gagak/hitam, hurufnya Mo-Go-Bo-Tho-Ngo).
5. Pasaran Kliwon lungguhe tengah, kuthane prungu, segarane wedang, manuke gogik, aksarane ongko 1-9. (Pasaran Kliwon, berkedudukan di tengah, kotanya perungu/bermacam warna, lautnya wedang/bermacam warna, burungnya gogik/bulunya bermacam warna, hurufnya angka 1-9).
SERAT CENTHINI
1. Wetan : Legi, kuthane perak, langsene seto, manuke kuntul, jaladrine santen, sastrane Ho-No-Co-Ro-Ko. (Timur : Legi, kotanya perak/putih, kelambunya putih, burungnya kuntul/putih, hurufnya Ho-No-Co-Ro-Ko).
2. Duksino : Paing, kuthane swoso, lengsene rekto, manuke wolung, jaladrine ludiro, sastrane Do-To-So-Wo-Lo. (Selatan : Paing, kotanya emas campur tembaga/merah, kelambunya merah, burungnya elang/merah, lautnya darah/merah, hurufnya Do-To-So-Wo-Lo).
3. Pracimo : Pon, kuthane mas, langsene pito, manuke podhang, jaladrine madu, sasreane Po-Dho-Jo-Yo-Nyo (Barat : Pon kotamya emas/kuning, kelambunya kuning, burungnya podhang/kuning, lautnya madu/kuning, hurufnya Po-Dho-Jo-Yo-Nyo)
4. Utoro : Wage kuthane wesi, langsene wulung, manuke dhandang, jaladrine nilo, sastrane Mo-Go-Bo-Tho-Ngo. (Utara : Wage, kotanya besi/hitam, kelambunya hitam, burungnya gagak/hitam, lautnya nila/hitam, hurufnya Mo-Go-Bo-Tho-Ngo).
5. Madyantoro : Kliwon, kuthane prunggu, langsane monco-warno, manuke gogik, jaladrine wedang, sastrane ongko 1 tekan 9. (Tengah : Kliwon kotanya perunggu/aneka warna, kelambunya aneka warna, burungnya gogik/aneka warna, lautnya wedang/aneka warna, hurufnya angka 1 sampai 9).
Semoga bermanfaat
diambil dari diskusi di kaskus.us
Budaya Asli Jawa
Label: BudayaDiposting oleh indra Tgl 21.9.07
Langganan:
Comment Feed (RSS)
©2007@This blog best viewed with Firefox.aINDRA Studio | A Support Go Blog
|