Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik".
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri, ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.
Konon Kaki Semar adalah Kakek moyang yg pertama dan digambarkan sebagai perwujudan dari orang Jawa yg pertama. Karena mendapat "tugas khusus" dari Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan YME), maka Kaki Semar memiliki kemungkinan untuk terus hadir dgn keberadaan pada setiap saat, kepada siapa saja dan kapan saja menurut apa yg dikehendaki.
Salah satu ajaran hidup dari Kaki Semar:
I. Gusti Kang Murbeng Dumadi
Masyarkat Jawa sudah mengenal suatu kekuatan yang maha dengan Nama Gusti Kang Murbeng Dumadi jauh sebelum agama masuk ke tanah Jawa dan sampai ke tradisi saat ini yang dikenal dengan Kejawen yang merupakan “Tatanan Paugeraning Urip” atau Tatanan berdasarkan dengan Budi Perkerti Luhur.
Keyakinan dalam masyarakat mengenai konsep Ketuhanan adalah berdasarkan sesuatu yang Riil atau “Kesunyatan” yang kemudian di realisasikan dalam peri kehidupan sehari hari dan aturan positip agar masyarakat Jawa dapat hidup dengan baik dan bertanggung jawab.
Mengenai Sang Murbeng Dumadi, Kaki Semar mengatakan “Gusti Kang Murbeng Dumadi ing ngendi papan tetep siji, amergane thukule kepercayaan lan agomo soko kahanan,jaman,bongso lan budoyo kang bedo-bedo. Kang Murbeng Dumadi iso maujud opo wae ananging mewujudan iku dede Gusti Kang Murbeng Dumadi” atau dengan kata lain “ Tuhan Yang Maha Esa itu di sembah di junjung oleh semua manusia tanpa kecuali.oelh semua agama dan kepercayaan.Sejatinya Tuhan Yang Maha Esa itu Satu dan tak ada yang Lain. Yang membedakanya hanya cara menyembaah dan memujanya dimana hal tersebut terjadi karena munculnya agama dan kebudayaan dari jaman, waktu atau bangsa yang berbeda beda…”
Tiga hal yang mendasari Masyarakat Jawa mengenai Konsep Ketuhanan yaitu :
1. Kita Bisa Hidup karena ada yang meghidupkan, yang memberi hidup dan menghidupkan kita adalah Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Maha Esa.
2. Hendaknya dalam hidup ini kita berpegang pada “Rasa” yaitu dikenal dengan “Tepo seliro” artinya bila kita meraa sakit di cubit maka hendaklah jangan mencubit orang lain.
3. Dalam kehidupan ini jangan suka memaksakan kehendak kepada orang lain “Ojo Seneng Mekso” seperti apa bila kita memiliki suatupakaian yang sangat cocok dengan kita, belum tentu baju itu akan sangat cocok dengan orang lain.
Kaki Semar memberikan piwulangnya mengenai konsep dasar penghayatan Mahluk Kepada Khaliknya yaitu Manusia harus mengehathui Tujuh Sifat Kang Murbeng Dumadi.
1. Tuhan Itu Satu , Esa dan tak ada yang lain, dalam bahasa jawa di sebut “ Gusti Kang Murbeng Dumadi”
2. Tuhan itu bisa mewujud apa saja , tetapi pewujudan itu bukanlah Tuhan.”Ananging wewujudan iku dede Gusti “ yang artinya “ yang berwujud itu adalah Karya Allah.
3. Tuhan Itu ada dimana-mana.”Dadi Ojo Salah Panopo,Mulo nang ngendi papan uga ono Gusti “ maksudnya walau Tuhan ada dimana mana, Tuhan satu juga “Nang awakm ugo ono Gusti” maksudnya manusia itu dalam lingkupan Tuhan secara jiwa dan raga.Tuhan ada dalam dirinya tetapi manusia tak merasakanya dengan panca indra, hanya dapat di rasakan dengan “Roso” bahwa dia ada.”Ananging ojo sepisan pisan awakmu ngaku-aku Gusti”maksudnya manusia harus sadar jiwa dan raga ini hanyalah Karya Allah, walaupun DIA ada dalam Manusia tetapi jangan sekali kali manusia mengaku DIA.
4. Tuhan Itu Langgeng, Tuhan Itu Abadi.dari masal dahulu, sekarang, esok dan sampai seterusnya Tuhan, Gusti Kang Murbeng Dumadi tetaplah Tuhan dan tak akan berubah.
5. Tuhan Itu tidak Tidur “ Gusti Kang Murbeng Dumadi ora nyare” maksudnya Tuhan itu mengetahui segalanya dan semuanya, tak ada satupun kata hilaf dan lalai.
6. Tuhan itu Maha Pengasih, Tuhan Itu Maha Penyayang.maksudnya Tuhan itu maha adil tak membeda bedakan kepada mahluknya, siapa yang berusaha dia yang akan mendapatkan.
7. Tuhan Itu Esa dan Maha Kuasa, apa yang di putuskannya tak ada yang dapat menolaknya,
Dengan menyadari hal tersebut manusia di harapkan :
1. “Manungso urip ngunduh wohe pakertine dhewe dhewe” maksudnya manusia kaa menerima paa yang dia tanam, bila baik yang di tanam, maka yang baiklah akan dia terima.
2. Manusia hidup pada saat ini adalah hasil / proses dari hidup sebelumnya.atau”manungso urip tumimbal soko biyen,nek percoyo marang tumimbal” ada petuah yang mengatakan “ Apabila kamu hendak melihat hidupmu kelak, maka lihat lah hidupmu sekarang, bila hendak melihat hidupmu yang lalu, maka lihatlah hidupmu sekarang”
3. “Manungso urip nggowo apese dhewe dhewe” maksudnya agar kita menghilangkan sifat iri,dengki,tamak, sombong sebab saat mati tak ada sifat duniawi tersebut dibawa dan mengntungkan kita.
4. Manusia tak akan mengerti Rahasia Tuhan, “Ati lan pikiran manungso ora bakal iso mangerteni kabeh rencananing Gusti Kang Murbeng Dumadi:”maka Manusia hiduplah “sak madyo” dan tak perlu “nggege mongso”.ada petuha mengatakan “ Hiduplah dengan usaha, tapi janganlah dengan harapan, karena bila gagal maka yang merasakan diri kita juga”
Maka dalam hal ini Kaki semar menganjurkan Manusia memohon dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa dengan”Eling lan Percoyo,Sumarah lan seumeleh lan mituhu” kepada Tuhan Yang Maha Esa.
1. Sumarah : Berserah, Pasrah, Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sumarah ,manusia di harapkan percaya dan yakin akan kasih saying dan kekuasaan Gusti Kang Murbeng Dumadi, Bhawa DIA lah yang mengatur dan aka memebrikan kebaikan dalam kehidupan kita. Keyakinan bahwa apabila kita menghadapai gelombang kehidupan maka Allah akan memebrikan jalan keluar yang terbaik bagi kita.
2. Sumeleh : artinya Patuh dan Bersandar kepada Allah Yang Maha Esa . Manusia sebagai hamba hanya lah berusaha dan keberhasilannya tergantung Kuasa Tuhan yang maha Esa, maka dengan sumeleh ni manusia di harapkan tak mudah putus asa dan teguh dalam usahanya .
3. Mituhu : artinya patuh taat dan disiplin.
I. Tatanan Paugeraning Urip.
Petuah Kaki semar menenai Tatanan Paugeraning Urip bagi manusia dalam mengisi Kehidupanya di alam fana ini :
1. Eling Lan Bektimarang Gusti Kang Murbeng Dumadi : maksudnya Manusia yang sadar akan dirinya akan selalu mengingat dan memuja Tuhan Yang Maha Esa.dimana Allah yang Esa telah membrikan kesepantan bagi manusia untuk hidup dan berkarya di alam yang Indah ini.
2. “Percoyo lan Bekti Marang Utusane Gusti”: maksudnya Manusia sudah seharusnya menghormati dan mengikuti ajaran para Utusan Allah sesuai dengan ajarannya masing masing, dimana semua konsep para Utusan Allah tersebut adalah menganjurkan kebaikan.
3. “Setyo marang Khalifatullah utowo Penggede Negoto”: maksudnya sebaia manusia yang tingal di suatu wilayah,maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarka pemimpinnya yang baik dan bijaksana.
4. “Bekti marang Bhumi Nusontoro” maksudnya sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini wajib dan wajar unuk merawat dan memperlaukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya.
5. “Bekti Marang Wong Tuwo” : maksudnya Manusia ini tidak dengan semerta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara Ibu dan Bapaknya, maka hormatilah,mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita .
6. “Bekti Marang sedulur Tuwo” : Maksudnya adalah menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik dlama umur,pengetahuan maupun kemampuannya.
7. “Tresno marang kabeh kawulo Mudo” : maksudnya menyayangi kawulo yang lebih muda, memberikan bimbingan dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda, dengan harapan yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
8. “Tresno marang sepepadaning manungso” : maksudnya semua manusia itu sama, hanya membedakan warna kulit dan dan budaya saja. Maka hormatila sesame manusia dimana mereka memiliki harka dan martabat yang sama dengan manusia lainya.
9. “Tresno marang sepepadaning Urip” : maksudnya semua yang di ciptakan Allah adalah mahluk yang ada karena kehendak Allah yang Kuasa.memiliki fungsi masing masing.dengan menghormati semua ciptaan Allah maka kita telah menghargai dan menghormati kepada PENCIPTANYA.
10. “Hormat marang kabeh agomo “ : maksudnya hormatilah semua agama atau aliran dan para penganutnya.
11. “Percoyo marang Hukum Alam” : maksudnya selain Allah menurunkan kehidupan,Allah juga menurunkan Hukum Alam dan menjadi hokum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai,
12. “Percoyo marang kepribaden dhewe tan owah gingsir” : maksudnya manusia ini rapuh dan hatinya berubah ubah, maka hendaklah menyadarinya dan dapat menepatkan diri di hadapan Allah, agar selalu mendapat lindungan dan rahmat Nya dalam menjalani Hiudp dan kehidupan ini.
Tatanan Paugeraning Urip yang 12 di atas di ringkas menjadi tiga konsep:
1. Hubungan Manusia dengan Allah/Tuhan Yang Maha Esa
2. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
3. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta.
Kesemua tatanan di tersebut di atas adalah kaitannya dengan konsep “tatanan Menembah”
1. Sangkan Paraning Dumadi : yaitu Sangkaning Dumadi dan Paraning Dumadi dimana maksudnya adalah agar manusia mengetahui dari mana dia berasal dan mau kemana dia akan kembali.
2. Manunggaling Kawulo lan Gusti : yaitu manunggaling kawulo dengan Gusti adalah dengan melakukan smeua perintahnya, melakukan dan menuruti peraturan peraturan yang di perintakan dengan sbeaik baiknya.
3. Kasedan Jati : yaitu dimana posisi kesadaran manusia sampai kepada tataran sangat menyadari dan telah melakukan atau menjalani kehidupan yang di sebutkan di atas sehingga semua telah menuruti kehendak Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan istilah “Hidup sekali dan mati pun sekali “
II. Tuntunan Sikap terhadap Paugeraning Urip
Kaki Semar menuntunkan sikap terhadapt Paugeraning Urip adalah dengan Kata sesanti atau Petuah “OJO DUMEH,ELING LAN WASPODO”karena :
1. “Ojo dumeh, Eling lan waspodo” adalah bekal manusia menghadapi ujian dan perjuangan hidup dan menjadi senjata ampuh untuk menjadi kesatria utama dalam menaklukan dirinyasendiri dan mewujudkan “Roso setyo lan mituhu dumateng Gusti” serta untuk “ Hamemayu Hayuning Bawono”.
2. “Ojo dumeh, Eling lan Waspodo” adalah sebagai penyeimbang, sehingga pada kondisi maupun situasi apapun manusia akan selamat”Rahayu”, tidak mudah panic dalam setiap pemecahan masalah yang di hadapinya.
3. “ojo dumeh, Eling lan Waspodo”sebagai sarana pencegahan terhadap kecerobohan dan kelalaian yang sering manusia lakukan, karena telah menyadari dan memahami serta mentaati semua kaidah Agama, Budi pekerti, maupun aturan aturan manusia lainnya.
OJO DUMEH yang maksudnya “Jangan Mentang Mentang” adalah suatuperingatan agar manusia tidak larut dengan pa ayang di miliki atau di jalaninya, sehingga cendrung menjalani keputusan hidup yang negatip seperti :
1. Mentang mentang kaya, maka kita menjadi sombong dan merasa semua dapat di beli dengan uang,
2. Mentang menatng Miskin, maka kita menjadi putus asa dan mengakibatkan kita mengumpat sana sini kepada yang kaya..
Siapa yang “mentang mentang” maka suatau saat akan menjadi sebagaimana dalma pribahasa Jawa :
1. Sopo sing Dumeh bakal keweleh
2. Sopo sing adigang bakal keplanggrang
3. Sopo sing Adigung bakal kecemplung
4. Sopo sing Adiguno bakal ciloko
5. Sopo sing Becik bakal ketitik
6. Sopo sing salah bakal seleh
7. Sopo sing Temen bakal Tinemu
Eling Lan Waspodo maksudnya Ingat dan Waspada.
Ingat yang dijalani adalah inget dalam kaitan Menembah kepada Tuhan, ingat akan karunianya, Rahmanya,Nikmatnya , selalu ingat akan kesalahan kita kepada Tuhan, pelanggaran yang kita lakukan dan meminta ampunan kepada Nya. Dengan demikian akan lahirlah Budi perkerti yang luhur sehingga Eling ini akan melahirkan kepedulain kepada manusia dan lingkungan sekitarnya.
Waspodo/Waspada adalah bentuk ke hati-hatian manusia dalam menjalankan hidup, teliti dan mengakibatkan kita menjadi Wara dalam memilih dalam keputusan kita sehari hari. Berhati-hati dalam semua sikap dan tingkah laku. Mana yang merupakan perintah dan mana yang merupakan larangan akan menjadi terang dan jelas bagi kita.sehinga kta akan selamat dalam perjalanan hidup ini.
Ojo Dumeh,Eling lan Waspodo merupakan satu kesatuan yang dipahami secara utuh, sehingga manusia di harapkan menjadi Pasrah dan Yakin Kepada Kekuasaan Tuhan serta menjadi bijaksana,sederhana dan hati hati. Manusia menjadi “Bisa Merasa.” Bukan ”Merasa Bisa.”
Dengan “Ojo Dumeh,Eling lan Waspodo”, maka dalam bahasa Jawa disebutkan ..
1. Ono Luwih,Luwih soko Ono
2. Kang Kebak,Luwih dening kebak
3. Kang suwung,Luwih dening Suwung
4. Kang Pinter, Luwih dening Pinter
5. Kang Sugih, Luwih dening Sugih..
Rahayu.....rahayu....rahayu....
original post by kaskus.us
Konsep Spritual Kaki Semar
Label: Budaya, Spiritual |Diposting oleh indra Tgl 28.12.07
Falsafah Hidup Jawa
Label: Budaya |Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama.
Yaitu: aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
Secara alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk.
Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup bermasyarakat secara benar, baik dan pener (tepat, pas).
Cukup banyak piwulang kautaman dalam ajaran hidup cara Jawa. Ada yang berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dll. Ada pula yang berupa sesanti atau unen-unen yang mengandung pengertian luas dan mendalam tentang makna budi luhur.
Misalnya : tepa selira dan mulat sarira, mikul dhuwur mendhem jero, dan alon-alon waton kelakon.
Filosofi yang ada dibalik kalimat sesanti atau unen-unen tersebut tidak cukup sekedar dipahami dengan menterjemahkan makna kata-kata dalam kalimat tersebut.
Oleh karena itu sering terjadi ”salah mengerti” dari para pihak yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang Jawa sendiri. Akibatnya ada anggapan bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai anti-logis atau dianggap bertentangan dengan logika umum. Akibat selanjutnya berupa kemalasan orang Jawa sendiri untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen yang ada pada khasanah budaya dan peradabannya.
Namun kemudian, sesanti dan unen-unen tersebut dijadikan olok-olok dalam kehidupan masyarakat.
Mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleran dengan perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya.
Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah.
Alon-alon waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.
Padahal ajaran sesungguhnya dari sesanti dan unen-unen tersebut adalah pembekalan watak bagi setiap individu untuk hidup bersama atau bermasyarakat. Tujuan utamanya adalah terbangunnya kehidupan bersama yang rukun, dami dan sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan salah, buruk dan tergolong budi asor. Makna dari mulat sarira dan tepa selira adalah untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang lain.
Mulat sarira, mengajarkan untuk selalu instropeksi akan diri sendiri.”Aku ini apa? Aku ini siapa? Aku ini akan kemana? Aku ini mengapa ada?” Kesadaran untuk selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa selira, berempati secara terus menerus kepada sesama umat manusia. Kebebasan individu akan berakhir ketika individu yang lain juga berkehendak atau merasa bebas. Maka pemahaman mulat sarira dan tepa selira merupakan bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-sama, bukan?
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orangtua dan pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orangtua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut ”lebih” dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur. Orangtua yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orangtua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas ditauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin.
Alon-alon waton kelakon, bukan ajaran untuk bermalas-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sambil menyadari akan kapasitas diri.
Contoh yang mudah dipahami ada dalam dunia pendidikan tinggi.
Normatif setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan kuliah Strata I dibutuhkan waktu 8 semester. Namun kapasitas setiap mahasiswa tidaklah sama. Hanya sedikit yang memiliki kemampuan untuk selesai kuliah 8 semester tersebut. Sedikit pula yang prestasinya cum-laude dan memuaskan. Rata-rata biasa dan selesai kuliah lebih dari 8 semester. Dengan mengoperasionalkan ajaran alon-alon waton kelakon, maka mahasiswa yang kapasitas kemampuannya biasa-biasa akan selesai kuliah juga meskipun melebihi target waktu 8 semester.
Makna positifnya mengajarkan kesabaran dan tidak putus asa ketika dirinya tidak bisa seperti yang lain. Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi lebih mengutamakan kebersamaan.
Banyak pula kita ketemukan Piwulang Kautaman yang berupa nasehat atau pitutur yang jelas paparannya.
Sebagai contoh adalah sebagai berikut :
“Ing samubarang gawe aja sok wani mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane sing ora bisa dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa manungsa iku pancen wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha Wikan”.
Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit temahane mung bakal murihake bilahi.
Terjemahannya:
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.
Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”.
Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”
Piwulang Kautaman memiliki aras kuat pada kesadaran ber-Tuhan. Maka sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri “hak prerogatif Tuhan” dalam menentukan dan memastikan kejadian yang belum terjadi.
original site by www.sekarjagad.org
Diposting oleh indra Tgl 28.12.07
Serat Centhini
Label: Budaya |Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga,merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana
IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan
karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.
Tujuan dan pelaku penggubahan
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan
yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
- Raden Ngabehi Ranggasutrasna
- Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
- Raden Ngabehi Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan
pengetahuannya tentang agama Islam.
Pengerjaan isi
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota,bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura(sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama
oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas
dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.
Ringkasan isi
Serat Centhini atau berjudul resmi Suluk Tambangraras disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram.
Diawali dengan kehancuran kekuasaan Giri oleh Mataram, yang digambarkan pada tembang kedelapan; suatu malam hujan berat, Pangeran Surabaya sendirian datang menghadap ke serambi masjid Giri. Pangeran Pekik namanya, dan dia berujar: "Wahai Sunan Giri, dengarkan baik-baik perkataanku. Sultan Agung adalah raja Tanah Jawa. Gusti Jagad di atas jagad, beliau memerintah dengan sangat santun, bijaksana, dan sesuai dengan hukum Allah serta sakti. [...] Bila
kamu benar-benar menginginkan kedamaian dan kemakmuran bagi Kerajaan Giri, bersujudlah kepada Sultan Agung..."
Dari sinilah kisah dimulai. Sunan Giri menolak, perang pecah, Giri takluk dan tiga putranya bernama Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti, memilih untuk melakukan perjalanan spiritual. Berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan itu, mereka memperolah pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dua puluh, Hadis Markum, hingga perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh- tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai
dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan
tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Kesemua yang diperoleh itu bisa dicernai lewat 722 tembang. Tentu butuh waktu untuk mencernanya, apa lagi jika masih dalam bahasa aslinya, bahasa Jawa. Ringkasannya berbahasa Indonesia sudah diterbitkan oleh Balai Pustaka
pada 1981. Begitupun 12 jilid pernah diterbitkan oleh Yayasan Centhini, dan tiga jilid pertama diterbitkan lagi oleh Balai Pustaka pada 1991.
Lingkup pengaruh
Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon(horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat,cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariahpesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.
Kepustakaan
Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan,dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.
Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.
Contoh Bait Serat Centhini
Ada beberapa stigmatis yang berkembang seiring dengan munculnya Serat Centhini, yang oleh beberapa kalangan dituduh hanya mengumbar hawa nafsu dan merupakan cerminan dari watak masyarakat Jawa. Sebenarnya ini hanyalah bagian tertentu, yang menceritakan kehidupan manusia secara utuh. Sama halnya jika kita melihat relief pada kaki candi Borobudur yang mengambarkan kehidupan taraf rendah, yang dipenuhi dengan nafsu belaka. Pada tahapan tertentu akan muncul kejenuhan dan selanjutnya manusia ingin mengetahui tujuan hidupnya dan bertemu dengan penciptanya.
Berikut ini merupakan contoh bait dari Serat Centhini, yang berisi peringatan akan datangnya hari kiamat, beserta tanda- tanda yang menyertainya.
Ki Sali ing Laweyan nglajengaken katrangan bab Jangka Jayabaya, wiwit jaman Kalawisesa ing jaman Pajajaran dumugi jumenengipun turun Sultan Erusakra ing Ngamartalaya ngantos dumuginipun Kiyamat Kobra (kaca 1 - 6). Kasambet katranganipun Ki Atyanta bab Kiyamat Kobra miturut Hadis kanthi pratandha ngalamat warni 40.
Sabibaripun, Mas Cebolang nglajengaken lampah dumugi ing Majasta kapanggih Ki Jayamilasa (jurukunci pasareyan Jaka Bodho putra raja majapait ingkang ngrungkebi agami Islam). Lajeng sami jiyarah ing pasareyan Majasta.
Ing Sapinggiring lepen Dengkeng wonten wit asem ing tengahipun menggik alit. Miturut Ki Jayamilasa wit asem wau ing jaman kinanipun kangge nancang gethekipun Jaka Tingkir. Lajeng kabeberaken babadipun Jaka Tingkir nalika badhe
suwita dhateng Demak, numpak gethek. Lerem ing Majasta, gethek kacancang wit asem ingkang tilasipun taksih katingal pingget alit ing tengah wau (kaca 48 - 55).
Lampahanipun dumugi sendhang Banyubiru ingkang rumiyinipun papan mejang ngelmu raos, sarta sami ningali siti ingkang kaangge Jaka Tingkir anggala maesa. Maesa ngamuk, ingkang saged nyepeng namung Jaka Tingkir. Lajeng sami jiyarah ing astana Banyubiru. Mas Cebolang kapengin kapanggih Seh Hersaranu, dumadakan mireng suwanten
bilih sagedipun kapanggih Seh Hersaranu benjing menawi sampun emah-emah wonten ing Wanataka (kaca 60 - 61). Lampahipun dumugi dhusun Teleng sumerep sendhang Tirtamaya. Miturut kaol, sinten ingkang adus ing sendhang cacah sanga ing laladan ngriku, mangka rampung saderengipun pletheking surya, yekti teguh timbul tuwin yuwana. Lumampah mangetan tumuju dhateng Pacitan.
Ing Girimarta kapanggih Endrasmara, putranipun Ketib Winong ing mataram, ing ngayeng badhe ngaos dhateng
Panaraga kandheg ing Girimarta sesemah Rara Indradi putranipun Kyai Haji Nurgirindra. Endrasmara mila karem ulah asmara, semahipun sakawan sami rukun. Ing dalunipun rerembegan bab gesang lan panggesanganing manungsa tuwin ihtiyaripun.
Nyandhak kawruh tasawuf lan fekih, Endrasmara milih fekih ingkang mupakat kanggenipun tiyang Jawi. Endrasmara medhar bab pratingkahing cumbana tuwin sipat-sipating wanita dalah panggigahing napsu asmara. Kyai Haji Nurgirindra ngawontenaken pengetan Maulud Nabi ngundang Mas Cebolang mirengaken katrangan bab Asma’ulhusna
(Asmaning Allah) tuwin khasiatipun (kaca 76 - 88).
Mas Cebolang dalah para santrinipun dherek Haji Nurgirindra dhateng griyanipun Nyai Wulanjar Demang ing Paricara ingkang ngawontenaken wilujengan pendhak geblagipun Ki Demang. Mas Cebolang ingkang katedha terbangan kanthi beksan, sengaja namur dados pawestri nama Ken Suwadi. Bokmas Demang sakalangkung kapranan dhateng Ken Suwadi, mila katedha nyipeng. Panamuripun Mas Cebolang sakalangkung remit; ing dalu badhar sanyatanipun,
ewadene malah dados pirenanipun Nyai Demang, lajeng posah-pasihan (kaca 89 - 120).
Dumugi dhusun Karang kapanggih Ki Darmayu ingkang ngreksa tumbalipun tanah Jawi. Tumbal wau wonten ing astana
Genthong, ingkang kalangse monten pethak. Tumbal ing salebeting genthong wujud balung sajempol, panjangipun sakilan (kaca 124 - 130)
Kapanggih rombonganipun Brahmana Sidhi saking Hindhustan ingkang badhe nyantuni monten langsening tumbal. Sang Brahmana wawanrembag kaliyan Mas Cebolang, ngandharaken bab gegebenganipun Kabudhan, inggih punika tataning siswa dumugi guru, ajaran gesang tumimbal, tanha, karma, cakramangggilingan, pambirating panandhang, gegayuhan ing dalem kasampurnaning Buddha, ilmu tuwin laku lan sanes-sanesipun (kaca 131 - 146).
Wondene Mas Cebolang ngandharaken isinipun Serat Rama bab kautamenipun Wibisana tuwin Kumbakarna. Sang Brahmana nyariosaken lalampahanipun Sultan Abdulkarim Kubra ingkang nyikara tiyang mlarat, wasana Sultan sirna dalah sadaya abdinipun jalaran sami boten purun nilar Sang Prabu ingkang nandhang dosa, kadosdene pakartinipun sang Wibisana ( kaca 149 - 151). Mas Cebolang nyariosaken piwulangipun Sri Rama sasampunipun kundur dhateng Ayodya inggih punika bab lepasing jiwa ingkang patitis (kaca 152 - 154).
Sabibaripun punika, Mas Cebolang dalah santrinipun nglajengaken lampah, nyabrang lepen sumerep sawatawis wanita sami gegujengan angujiwat. Dumugi dhusun Selaung kapanggih Patinggi Ki Nursubadya sarta lajeng sipeng ing
griyanipun. Ingkang ngladosi tamu sadaya tiyang estri jalaran ing Selaung tiyang jaler sami ngumbara dados warok,
remen gegemblakan, tebih dhateng tiyang estri, pangangge lan tingkahipun nelakaken sarwi sesongaran, ngendelaken dhug-dhengipun.
Referensi
- Wikipedia Indonesia
- Sumahatmaka, R.M.A, Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras), PN Balai Pustaka, Cetakan pertama, 1981.
- Yatim, Dr. Badri, MA, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Ed. 1, Cet. 12, 2001
- ::H Karkono K Partokusumo::
disadur dari http://opensource.opencrack.or.id/
Diposting oleh indra Tgl 21.12.07
Legenda Calon Arang
Label: Budaya |
Legenda Calon Arang telah sangat dikenal masyarakat kita. Kisahnya - seperti kebanyakan cerita rakyat lainnya - tersiar turun-temurun dari generasi ke generasi melalui tradisi tutur (lisan).Sejatinya, Cerita Calon Arang adalah perkawinan antara sejarah dan mitos (dongeng); fakta dan fiksi. Sebagian orang percaya, bahwa Calon Arang adalah putri seorang raja Bali yang diasingkan, sementara banyak juga yang beranggapan ia hanya tokoh rekaan saja. Adapun Raja Erlangga (Airlangga) dan kerajaan Daha fakta adanya.
Calon Arang membuat tulah di negeri Daha
(pertama)
Adalah pemimpin di Daha.
Tentram olehnya memerintah; damai negeri pada pemerintahannya.
Maharaja Erlangga gelarnya, sangat baik budi.
Adalah seorang janda, tinggal di Girah, Calon Arang namanya.
Beranak perempuan satu bernama Ratna Manggali, sangat cantik rupanya. Lama tidak ada orang yang melamarnya.
Semua orang di Girah, apalagi di Daha, tidak ada orang di daerah pinggiran, tidak ada yang berani melamar anak si janda itu yang bernama Ratna Manggali di Girah.
Oleh karena terdengar oleh negeri, bahwa beliau (janda) di Girah itu melakukan yang cemar.
Menjauhlah orang-orang melamar Manggali.
Maka berkata si janda itu: "Aduh, ambillah anakku karena tidak ada orang yang melamar dia, cantiklah rupanya, bagaimana (sampai) tidak ada yang menanyai dia.
Marah juga hatiku oleh (hal) itu.
Aku akan membaca bukuku; jika aku sudah memegang buku itu, aku akan menghadap Paduka Sri Bhagawati; aku akan meminta anugerah untuk binasanya orang-orang senegeri."
Setelah dia memegang sastra itu, datanglah dia ke tempat pembakaran mayat, memintalah dia anugerah kepada Bathari Bhagawati, diiringi oleh semua muridnya.
Demikianlah nama-nama siswa itu: Weksirsa, Mahasawadana, Lende, Guyang, Larung, Gandi.
Mereka itulah yang mengiringi Janda Girah, bersama-sama menarilah di tempat pembakaran mayat.
Datanglah Paduka Bhatari Durga bersama semua tentaranya, ikut bersama-sama menari.
Memujalah yang bernama Calon Arang kepada Paduka Bhatari Bhagawati, berkatalah Bhatari: "Aduh, engkau Calon Arang, apa maksudmu datang kepadaku, sehingga engkau disertai oleh para muridmu semua untuk menyembahku?"
(kedua)
Berkatalah janda itu menyembah: "Tuan, anakmu ingin meminta binasanya orang seluruh negeri, demikianlah maksudku."
Menjawablah Bhatari: "Aku memberi, tetapi jangan sampai ke tengah , (supaya) raja besar tidak marah kepadaku."
Patuhlah janda itu, berpamitan menyembahlah dia kepada Bhatari Bhagawati. Calon Arang diiringi oleh semua muridnya menari di Wawala selama tengah malam. Berbunyilah Kamanak-Kangsi , mereka bersama-sama menari. Setelah selesai menari, pulanglah ke Girah sambil bersorak-sorailah sesampainya di rumah mereka.
Tidak lama kemudian, tulah menimpa orang-orang seluruh desa (daerah), sehingga banyak yang mati.
Berangsur-angsur dimusnahkan.
Calon Arang tidak berkata inilah saya.
Maka tersebutlah Sang Pemimpin Daha, diperhadapkanlah dia di tempat duduk yang tinggi, Sri Maharaja Erlanggha.
Memberitahukanlah patih, jika rakyatnya banyak yang mati, tulahnya panas-dingin (panas-tis).
Menulahi satu hari dua hari kematian.
Terlihat menyembah, Janda Girah itu, yang bernama Calon Arang, menari di Wawalu bersama semua muridnya.
Banyak orang melihatnya.
Demikianlah kata patih itu, semua datang dihadapannya, bersama-sama meninggikan dan mematuhi apa yang dikatakan patih.
Berkatalah Sang Prabhu: "Hai, pegawaiku, cederai dan bunuhlah Calon Arang olehmu, jangan engkau sendiri, sengkau ditemani pegawai (lain)."
(ketiga)
Berpamitanlah pegawai itu menyembah kaki Sang Prabhu: "Mohon ijin hamba untuk membinasakan Janda Girah." Pergilah pegawai itu.
Tanpa berkendaraan, segera pergi ke Girah, pegawai itu menuju ke rumah Calon Arang ketika orang sedang tidur; tidak ada orang yang dalam keadaan bangun.
Segera pegawai itu mengambil rambut janda itu, menghunus kerisnya ingin memotong si janda; beratlah tangan pegawai itu, terkejut dan bangunlah Calon Arang, keluarlah api dari mata, hidung, mulut dan telinganya, menyala-nyala menghanguskan pegawai itu.
Salah satu dari pegawai itu mati.
Yang lainnya menjauh cepat meninggalkan pegawai itu.
Tanpa berkata-kata jalannya di jalan, segera pergilah ke kerajaan, memberitahukanlah pegawai itu tentang sisa kematian itu: "Tuan, tak berguna pegawai Paduka Sri Parameswara yang satu mati oleh mata Janda Girah itu.
Keluar api dari perut, menyala menghanguskan pegawai Paduka Bhatara."
Berkatalah Sang Prabhu: "Sedih aku jika demikian pemberitahuannya." Seketika itu juga pulanglah Sang Prabhu dari ruang penghadapan (Balairung). Sang Raja tidak berbicara.
Berkatalah Janda di Girah.
Bertambah besarlah kemarahannya oleh kedatangan pegawai itu, oleh utusan hamba Sang Prabhu.
Berkatalah Calon Arang berseru kepada murid-muridnya mengajak datang ke tempat pembakaran mayat; dipegangnyalah lagi sastra (buku) itu.
Setelah memegang mantra tersebut, diiringilah oleh para muridnya semua, datanglah di tepi kuburan tempat yang rindang oleh kepuh dililit kegelapan, daunnya rindang mengurai sampai tanah di bawahnya merata.
Janda Girah itu duduk diterima oleh para muridnya semua. Memberitahukanlah Lende berkata: "Hai, Sang Janda, apa sebabnya tuan seperti akan memarahi Sang Pembawa Bumi? Jika demikian lebih baik mempunyai maksud kelakuan baik, menyembah kepada Sang Maharesi sebagai penunjuk jalan ke surga."
Maka berkatalah Larung: "Apa kesedihanmu kepada duka Sang Prabhu? Sebaliknya dipercepatlah perbuatan ke tengah."
Bersama-sama meninggikanlah mereka semua akan perkataan Larung, mengikutlah mereka kepada Calon Arang, kemudian berkatalah dia: "Sangat benar olehmu, Larung.
Bunyikanlah Kamanak dan Kangsi kalian, sekarang menarilah masing-masing, ijinkan aku melihat perbuatan itu satu persatu.
Sekarang mungkin sampai di perbuatan itu, kalian menarilah."
(keempat)
Seketika itu juga menarilah Guyang, tariannya mendekap-dekap, berteriak-teriak, terengah-engah dan berbusana; matanya melirik, menoleh kiri kanan.
Menarilah Larung; gerakannya seperti macan yang ingin menerkam, matanya kelihatan memerah, benar-benar telanjang.
Rambutnya berjalan cepat ke depan.
Menarilah Gandi; melompat-lompatlah olehnya menari; rambutnya berjalan cepat ke pinggir.
Memerah matanya kelihatan seperti buah janitri.
Menarilah Lende; tariannya berjingkat-jingkat dengan kakinya.
Tingkah lakunya menyala-nyala seperti api hampir menyala. Berjalan cepat rambutnya.
Menarilah Weksirsa; menunduk-nunduk olehnya menari, menoleh-noleh; matanya terbuka tanpa berkedip.
Rambutnya berjalan cepat ke samping, benar-benar telanjang.
Mahisawadana menari berkaki satu; ia menyungsang menjulur-julur lidahnya; tangannya ingin memeras.
Senanglah Calon Arang setelah mereka bersama-sama menari.
Membagi tugaslah dia sesampai di istana .
Mereka membagi tugas pergi ke lima daerah.
Lende ke selatan, Larung ke utara, Guyang ke timur, Gandi ke barat. Calon Arang ke tengah bersama dengan Weksirsa dan Mahisawadana.
Setelah mereka berbagi pergi ke lima daerah, Calon Arang datang ke tengah-tengah tempat pembakaran mayat itu, menemui mayat yang mati mendadak di hari ke-5 (kliwon).
Dia memberdirikan, mengikat di kepuh, menghidupkan mayat itu, meniup-niupnya; Weksirsa dan Mahisawadana memelekkan mata (mayat itu). Menjadi hiduplah orang itu, sehingga berkatalah mayat itu: "Siapa tuan yang menghidupkan aku? Betapa besarnya hutangku; tak tahu aku membalasnya. Aku menghamba kepada tuan. Tuan, lepaskanlah aku dari pohon kepuh ini, aku ingin berbakti dan menghormat."
Berkatalah Weksirsa: "Engkau sangka (bahwa) engkau hidup? Biarlah aku memarang lehermu dengan parang." Seketika itu juga diparanglah lehernya dengan parang, melesat leher mayat yang dihidupkannya itu.
Terbanglah kepalanya; sampai dikeramaskan dengan darah oleh Calon Arang; menggumpallah rambutnya oleh darah.
Ususnya menjadi kalung dan dikalungkannya.
Badannya diolah dipanggang semua, menjadi korban para Bhuta (raksasa) yang berada di tempat pembakaran mayat, setelah itu Paduka Bhatari Bhagawati menyetujui (menerima) yang dikorbankan itu.
(kelima)
Keluarlah Bhatari dari kahyangannya, kemudian berkatalah dia kepada Calon Arang: "Aduh, anakku Calon Arang, apa maksudmu memberikan korban kepadaku, (memberikan) bakti hormat? Aku menerima penghormatanmu."
Berkatalah Janda Girah itu: "Tuan, Sang Pemimpin Negeri membuat duka anakmu, aku memohon belas-kasih Bhatari, supaya Paduka Bhatari senang untuk membinasakan orang-orang senegeri, sampai ke tengah sekalian."
Berkatalah Bhatari: "Baik, aku mengabulkan, Calon Arang, namun engkau jangan lengah."
Berpamitanlah janda Girah itu menghormat Bhatari.
Segera pergi menarilah dia di perempatan.
Terjadilah tulah yang sangat hebat di seluruh negeri itu; terjadi tulah satu malam dua malam, sakitnya panas-dingin, orang-orang mati.
Mayat-mayat yang ada di tanah lapang bertumpuk-tumpuk, yang lainnya ada di jalan, ada juga yang tidak terpelihara di rumahnya.
Srigala-srigala meraung (membaung) memakan mayat.
Burung-burung gagak berteriak-teriak tak putus-putusnya memakan mayat, bersama-sama mencucuk (memakan) mayat.
Lalat-lalat beterbangan kian-kemari di rumah meraung-raung, rumah-rumah tak berpenghuni.
Yang lainnya orang-orangnya pergi ke tempat jauh, pergi mengungsi ke daerah yang tidak terkena penyakit.
Orang-orang yang sakit dipikul, yang lainnya ada yang mengasuh (momong) anaknya dan membawa barang-barang.
Para Bhuta yang melihat berseru: "Jangan kalian pergi, desa (daerah) kalian sudah aman, tulah dan penyakit telah selesai, pulanglah kalian ke sini, hiduplah kalian di sini." Setelah itu banyak kematian orang-orang di jalan yang diambilinya.
Para Bhuta itu berada di rumah tak berpenghuni bersenang-senang, tertawa-tawa, bersenda-gurau, memenuhi jalan dan jalan besar.
Mahisawadana memasuki rumah berjalan ke dinding, membuat tulah bagi orang serumah.
Weksirsa memasuki tempat petiduran orang, berjalan bolak-balik, membuka rintangan/pintu, meminta korban darah mentah dan daging mentah: "Itu kesukaan saya, jangan lama-lama", katanya. Tidak ada orang yang mati itu melawan tulah dan tingkah laku para Bhuta itu.
Calon Arang terbinasakan oleh Tuan/Empu Bharadah
(kesatu)
Berjalanlah seorang pendeta ke tengah-tengah tempat pembakaran mayat, bertemulah dia dengan Weksirsa dan Mahisawadana, murid-murid Calon Arang.
Setelah melihat Sang Pendeta itu, datang menciumlah murid-murid itu, dan menyembahnya, yaitu Weksirsa dan Mahisawadana.
Berkatalah Sri Bharadah: "Hai orang-orang yang menyembahku, siapakah nama kalian; aku tidak tahu, beritahu aku."
Berkatalah Weksirsa dan Mahisawadana: "Tuan, kami Weksirsa dan Mahisawadana menyembah telapak kaki tuan.
Murid-murid Sang Janda Girah.
Kami meminta anugerah kepada Sang pendeta, lepaskanlah kami dari siksaan."
Berkatalah sang guru pendeta itu: "Tidak bisa kalian lepas dari siksaan dahulu jika Calon Arang belum dilepaskan dari siksaan dahulu.
Berangkatlah kalian ke Calon Arang, berkatalah kalian, bahwa aku ingin berbicara."
Berpamitan menyembahlah Weksirsa dan berlutut, juga Mahisawadana. Nampak dari kejauhan Calon Arang sedang di kahyangan di tempat pembakaran mayat, baru saja pulang Paduka Bhatari Bhagawati dari percakapannya bersama dengan Janda Girah.
Baru saja selesai Bhatari berkata: "Hai, Calon Arang, jangan lengah, akan surup/redup/terbenam (kalah) engkau." Demikianlah kata Bhatari.
Setelah itu datang Weksirsa dan Mahisawadana berbicara dahulu kepada Calon Arang; katanya jika Sang Pendeta Bharadah datang.
Kata Calon Arang: "Hai, katanya Yang Mulia Bharadah datang; aku akan menemui/menjemput dia." Pergilah Calon Arang, datanglah menerima Sang Mahasakti, menjemput Sang Pendeta, kata Calon Arang: "Tuanku, bahagialah Sang Pendeta yang kumuliakan, Sang Pendeta Bharadah, aku meminta anugerah kata-kata yang baik (rahayu)."
Kata Sang Pendeta: "Lihatlah, aku memberi pengarahan pada tuntunan yang baik; janganlah engkau membuat sakit, yang mulia.
Aku diceritai cerita sedih tentang engkau melakukan hal yang jelek membuat manusia banyak yang mati, membuat bumi langka/sepi, membuat dukanya bumi dan membunuh semua rakyat.
Betapa banyak engkau membawa mala-petaka (membuat dosa) bagi bumi. Banyaklah orang-orang yang terkena tulah.
Keterlaluan engkau membawa mala-petaka, membunuh orang-orang senegara.
Tidak dapat engkau terlepas dari siksaan jika engkau sangat bermusuhan. Oleh karena itu, jika belum tahu jalan keluar untuk membebaskan diri, masakan engkau dapat lepas dari siksaan."
Berkatalah Calon Arang: "Permusuhan sangat besar dosaku pada rakyat; oleh karena itu lepaskanlah aku dari siksaan, hai Sang Pendeta, kasihanilah aku."
Berkatalah Sang Pendeta: "Tidak dapat aku melepaskan engkau."
(kedua)
Berkatalah Calon Arang, marah, menjadi besar dukanya Janda Girah itu: "Lihatlah, aku akan membuat gangguan besar kepadamu, jika engkau tidak tahu melepaskan aku.
Engkau enggan melepaskan aku dari siksaan, lihatlah, aku sama sekali menghilangkan dosa.
Aku akan meneluh engkau, hai Resi Bharadah." Kemudian menarilah Calon Arang berbalik mengurai rambutnya, matanya melirik, tangannya menunjuk Sang Pendeta: "Matilah engkau nanti olehku, Pendeta Bharadah.
Jika engkau tetap tidak tahu, hai Yang Mulia, pohon beringin besar ini, aku teluh, lihatlah, Empu Bharadah."
Seketika itu juga hancurlah sangat pohon beringin karena mata Calon Arang.
Berkatalah Sang Pendeta: "Lihatlah, hai Wanita Yang Mulia, datangkanlah teluhmu lagi yang besar, masakan aku akan heran."
Kemudian semakin besarlah olehnya meneluh, keluarlah api dari mata, hidung, telinga, mulut, menyala-nyala membakar Sang Pendeta.
Sang Pendeta tidak terbakar, damailah olehnya memperhatikan hidupnya rakyat.
Berkatalah Sang Maha Sakti: "Tidak mati oleh teluhmu, hai Wanita Yang Mulia; aku tidak pergi dari hidup (mati).
Semoga engkau mati oleh karena sikapmu itu." Datanglah kematian Calon Arang.
Menjawablah Sang Pendeta Bharadah: "Aduh, aku belum memberi pengarahan tentang kelepasan kepada Wanita Yang Mulia.
Lihatlah sungguh hai Wanita Yang Mulia, engkau hidup lagi." Datanglah kehidupan Calon Arang: marah memaki-maki Calon Arang, katanya: "Aku sudah mati, mengapa tuan menghidupkan aku lagi?"
Menjawablah Sang Pendeta "Hai, Yang Mulia, aku membuat hidup lagi kamu, (karena) aku belum memberi pengarahan kepada engkau tentang kelepasanmu dan menunjukkan surgamu, serta menghilangkan rintanganmu."
Berkatalah Calon Arang: "Aduh, berbahagia jika demikian kata Sang Pendeta, lepaskanlah aku dari siksaan; aku menyembah pada telapak-kakimu, Sang Pendeta, jika engkau melepaskan aku dari siksaan." Meminta dirilah Calon Arang kepada Sang Pendeta, diperkenankan dia mati yang sempurna (kelepasan) dan ditunjukkan surganya. Setelah Sang Pendeta Bharadah memberi pengarahan, Calon Arang menyembah kepada Sang Pendeta.
Kata Sang Pendeta: "Lihatlah, lepaslah engkau, hai Wanita Yang Mulia." Kematian Calon Arang menjadi lepas dari penderitaan, dibakar, roh Janda Girah oleh Sang Kekasih.
Maka Weksirsa dan Mahisawadana bersama-sama turut selamat, berjalan menjadi Wiku oleh Sang Pendeta, oleh karena tidak dapat ikut kelepasan bersama dengan Janda Girah.
Bersama-sama dijadikan Wiku oleh Sang Pendeta.
Demikianlah cerita tentang Calon Arang.
original post by kaskus.us
Diposting oleh indra Tgl 20.12.07
Serat Kalatidha RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito
Label: Budaya |Salah satu karya besar dari RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito, Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman edan".Lahir pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.Pada 24 Desember 1873, meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten.
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda
Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot.
Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan).
Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.
Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Paranedene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angrebedi
Beda-beda ardaning wong saknegara
Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik,
Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik,
namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.
Oleh karena daya jaman Kala Bendu.
Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi.
Lain orang lain pikiran dan maksudnya.
Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka
Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan,
mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur
sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.
Dasar karoban pawarta
Bebaratun ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yan pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu.
Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar,
bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin ?
Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja.
Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.
Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna
Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada peringatan.
Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai.
Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya kisah jaman dahulu kala.
Keni kinarta darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan
Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala,
guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul.
Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama,
mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya “nrima”
dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman
tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.
Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ?
Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian.
Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua,
apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari Tuhan.
Beda lan kang wus santosa
Kinarilah ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar
Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan.
Bagaimanapun nasibnya selalu baik.
Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah.
Namun demikian masih juga berikhtiar.
Sakadare linakonan
Mung tumindak mara ati
Angger tan dadi prakara
Karana riwayat muni
Ikhtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma
Apapun dilaksanakan. Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan persoalan.
Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ikhtiar,
hanya harus memilih jalan yang baik.
Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan
waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan
Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih,
mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini.
Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana.
Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.
Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruraha
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya
Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa,
seolah-olah dapat mati didalam hidup.
Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami.
Diposting oleh indra Tgl 20.12.07
Serat Sabdo Jati
Label: Budaya |RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito. Demikian nama salah seorang pujangga terkenal yang pernah menorehkan jejak gemilang dalam kesusastraan Jawa di abad 19. Namanya senantiasa dikenang sebagai pujangga besar yang karya-karyanya tetap abadi hingga kini.
Dari tangan pujangga asal Keraton Surakarta ini lahir berbagai karya sastra bermutu tinggi yang sarat nilai kemanusiaan. Buku-bukunya antara lain membahas falsafah, ilmu kebatinan, primbon, kisah raja, sejarah, lakon wayang, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat Jawa, terutama rakyat jelata, sering mengidentikkan Ronggowarsito dengan karangan-karangan yang memadukan kesusastraan dengan ramalan yang penuh harapan, perenungan dan perjuangan.
Dilahirkan pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.
Bakat dan keahliannya dalam bidang kesusastraan semakin terasah dengan bimbingan kakeknya Raden Tumenggung Sastronegoro. Semenjak kecil, ia dibekali ajaran Islam dan pengetahuan yang bersandar pada ajaran kejawen, Hindu, Budha, serta ilmu kebatinan.
Karya-karya besarnya yang terkenal sampai saat ini adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman edan". Ada kitab Jaka Lodhang yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik, serta Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak.Menjelang akhir hayatnya, Ronggowarsito menulis buku terakhir Sabdajati yang di antaranya berisi ramalan waktu kematiannya sendiri. Buku ini pun berisi ucapan perpisahan dan permohonan pamit karena Ki Pujangga akan segera meninggalkan dunia fana ini.
Pada 24 Desember 1873, pujangga besar dari tanah Jawa itu meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten.
Hawya pegat ngudiya Ronging budyayu
Margane suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe sisip
Ingkang taberi prihatos
Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.
Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.
Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos
Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.
Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.
Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan
yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.
Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon
Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga
yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.
Yeng kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi
segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.
Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung
yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.
Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.
Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.
Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai,
bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon
Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi, sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802.
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).
Diposting oleh indra Tgl 20.12.07
APA PYRAMIDA dan Pengaruhnya
Label: Budaya |
* Bentuk segitiga sama sisi 3Dimensi.
* Adalah hasil pemahaman dan pemikiran manusia sejak jaman purba akan "pembangkit energi" alam/prana.
* Bentukan pyramida ditemukan pada disemua budaya tua, termasuk Indonesia (oleh para ahli antropolog kita sering disebut dengan "Punden Berundak") Seiiring dengan masuknya Hindu/Budha ke Nusantara banyak Punden Berundak (dari budaya "sebelum agama" baru muncul) diganti wujud dalam bentukan candi (contoh fondasi Candi Borobudur adalah Punden Berundak terbesar di asia).
Dalam budaya mesir kuno digunakan sebagai makam para firaun yang sarat dengan "kutukan", Kutukan para faraoh ini (menurut hemat saya) terjadi karena adanya energi yang secara sengaja "diperangkap"kan didalam pyramid untuk menjaga kesakralannya.
Sedangkan dalam kebudayaan lain (contoh Inca dan Maya) pyramid digunakan sebagai media mendekatkan diri pada "kekuatan Maha"... apakah karena bentukan pyramid pada dasar kuil pemujaannya inilah yang menyebabkan mereka bisa berkomunikasi dengan alien/UFO? hingga saat ini masih dalam penelitian para ahli.
* Pyramid Power: prinsip kerjanya kurang lebih sebagai berikut: energi yang dimasukan dalam pyramida secara terus menerus akan memantul dari satu sisi kesisi lain tanpa kesudahan hal ini akan mengakibatkan terciptanya gelombang eletromagnetik yang sangat besar. ==>salah satu contohnya adalah crystal berbentuk pryramida pada lensa laser.
* Buat para praktisi prana, berlatih penyaluran energy dengan media pyramida (lebih baik terbuat dari kaca atau crystal) akan meningkatkan "stamina prana" dan daya pancarnya
P E N D A H U L U A N
Sebelas macam pengalaman berada di bawah ruang piramida disampaikan maupun yang diselidiki secara perorangan dan ilmiah seperti yang diuraikan dalam buku THE PSYCHIC POWER OF PYRAMIDS yang ditulis oleh Bill Schul dan Ed Petit.
APAKAH BENAR BAHWA BENTUK PARAMIDA memberi pengaruh yang misterius ???
Marilah kita lihat 11 (sebelas) macam pengalaman berada di bawah ruang piramida disampaikan maupun yang diselidiki secara perorangan dan ilmiah seperti yang diuraikan dalam buku THE PSYCHIC POWER OF PYRAMIDS. Dokter-dokter dan seminar-seminar membahas soal pengaruh misterius piramida seperti yang akan penulis kutipkan dari buku tersebut dalam artikel ini.
APAKAH BENAR BAHWA BENTUK PARAMIDA memberi pengaruh yang misterius ???
Marilah kita lihat bersama sebagai berikut :
Berada di bawah piramida mengakibatkan beberapa pengaruh untuk berbagai subjek :
Subjek mengalami hal-hal yang sama sekali baru, bahkan merupakan teka-teki baginya.
Tumbuh perasaan menyendiri (isolation) dan mengalami rasa-damai dan sunyi.
Tumbuh perasaan dilindungi, rasa aman.
Penilaian terhadap waktu sukar, ada yang merasakan lama sekali, ada yang merasakan cepat sekali, biarpun waktu berada di dalam piramida yang, sama ..
Tidur di dalam piramida, menyegarkan tubuh. Tidur sebentar serasa sebagai tidur berjam-jam lamanya.
Ada yang merasakan kehadiran "sesuatu".
Dilaporkan, bahwa meditasi dapat dilaksanakan lebih baik di dalam piramida. Ada yang mempergunakan untuk tempat belajar, karena lebih mudah berkonsentrasi.
Bermimpi sangat jelas dan lebih mudah dimengerti; juga lebih mudah diingat kembali sesudah bangun tidur.
Mendapat citra visual dan babak-babak visual yang seringkali membantu memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh subjeknya; hal ini terjadi pada saat-saat mau jatuh tidur di dalam piramida.
Tumbuh kesadaran-damai (awareness of peace); perasaan permusuhan dan benci berangsur- angsur menghilang. Ada yang mengalami marah-marah dikantornya, kemudian satu jam masuk di piramida, waktu keluar lagi, orang tersebut lupa apa sebabnya dia tadi marah-marah di kantor.
Merasakan adanya suatu kekuatan, suatu lapangan energi yang tidak biasa.
Ada beberapa orang yang menyatakan, lebih lama berada di dalam piramida, lebih merasa "Satunya dengan kehidupan" (oneness with all life ). Demikianlah hasil-hasil berada Di bawah atau di dalam piramida yang dilaporkan di Amerika Serikat. Malahan telah diadakan Test di laboratorium mengenai pengaruh piramida terhadap manusia.
KEKUATAN APAKAH YANG DIHASILKAN PIRAMIDA ???
Melihat pengalaman orang-orang yang rasional di AS tersebut di atas, pasti ada sesuatu sebab yang belum diketahui (secara rasional) tentang piramida. Nah ini kewajiban "orang yang erasional", (e-rasional = melampui rasional; ir-rational lawan rational). Berdasarkan penghayatan erasional, dapat "diketahui", bahwa bentuk piramida itu merupakan tempat yang serasi bagi kosmos. Keserasian kosmos menghasilkan terjadinya keseimbangan yang harmonis .
Sekali pun demikian, masih perlu adanya penjelasan yang agak lebih mendalam. Penulis perlu menjelaskan, bahwa bentuk membawa akibat. Seperti bentuk per, membawa akibat bisa mengalihkan aliran air alamiah. Bentuk bulat (bundar) membawa akibat "Tidak habis-habisnya".
Lebih mudah untuk menjelaskan piramida dengan cara pengetahuan yang sudah lebih populer dalam falsafah Cina, yaitu tentang Yang dan Yin. Di dalam piramida terbentuk keseimbangan yang harmonis antara Yang dan Yin. Oleh karena itu, orang sakit yang disebabkan Yang dan Yin tidak dalam keadaan seimbang, mudahlah sembuh jika sering berada di dalam piramida, seperti darah tinggi, kegemukan badan, kekurusan badan, dan berbagai penyakit metabolisme yang tidak berfungsi baik.
Manusia bukan mesin atau terbentuk dari bahan-bahan kimia melulu. Manusia utuh terdiri dari berbagai aspek; tubuh, emosi, jiwa, ruh dengan masing-masing memiliki dimensinya sendiri-sendiri. Menurut R. Rachmat Setiadiwirja (alm.), penyakit bersumber dari berbagai sebab, yaitu :
Pertama - dari bumi seperti Bakteri, virus, baksil dan sebagainya .
Kedua - pengaruh dari kosmos .
Ketiga - dari dunia gaib (magis) dan
Keempat - warisan, baik warisan yang bersifat fisik maupun yang dari dunia gaib.
Jadi sekalipun gejala-gejala di permukaan bisa sama, namun sebabnya sangat mungkin berbeda.
Marilah kita kembali ke buku The Psychic Power Of Pyramids. Di dalam kongres pertama mengenai "Integrative Medicine" yang disponsori oleh "Academy Of Parapsychology and Medicine" di Arizona (Oktober 1975), Dr. Roy Menninger, Dr. Malcom Todd dan Dr.Hans Selye, sependapat dan bersama-sama menganjurkan kepada dokter-dokter untuk mengobati pasiennya tidak hanya dilihat dari sudut penyakitnya saja, tetapi dilihat dari sudut manusia seutuhnya. Bahkan lebih dari itu, ada dokter-dokter dan awam yang serius menganjurkan untuk juga memperhatikan segi spirituilnya. Kesemuanya itu adalah dari pandangan adanya "Teori satu lapangan" (One Unified-field theory). Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah bentuk energi yang mereka sebut kesadaran .
Atas dasar teori itu, maka lapangan ilmu psikologi dan psikomatikologi mendapat dasar baru : kesadaran sebagai titik pusatnya. Disini mulailah titik-temu antara ilmu pengetahuan (yang rasionil) dengan agama. Ini baru awalnya penyelidikan di Barat sedang bergairah ke arah itu. Pada akhirnya keadaan yang demikian menyebabkan ilmu pengobatan memperoleh dasar filsafat yang baru baginya, yaitu bahwa penyakit mempunyai peranan terhadap si sakit dalam rangka perkembangan si sakit sebagai manusia yang utuh.
Di dunia timur bisa diterapkan karma, yaitu bahwa kesehatan dan penyakit merupakan keadaan untuk memenuhi syarat keseimbangan dan pengembangan manusia yang sakit itu untuk mencapai kesempurnaannya. (Catatan th 2000 ini, Barat telah banyak memperhatikan pengaruh karma, Penulis) Di bagian lain buku itu, dikatakan ada indikasi, piramida berpengaruh terhadap manusia di bidang fisik, eteris, astral, pikiran rendah (lower mind), Pikiran tinggi (Higher mind ), Jiwa (Soul) dan spirit (ruh??). Kemungkinan besar bahwa penyakit adalah bentuk luar dari sebab aslinya yaitu spirit. Ahli fisika dari Universitas Stansford, Dr. William Tiller menyatakan : "semua penyakit berasal dari ketidakseimbangan antara tingkat pikiran dan spirit (disharmony between the mind and spirit levels) dengan pola universal dari orang yang bersangkutan. Penyembuhan permanen dan utuh membutuhkan harmoni (keserasian) dengan pola universal yang ada pada tingkat pikiran (mind) dan spirit. Jadi penyembuhan fisik bahkan penyembuhan eteris hanya bersifat sementara, jika ada pola dasar tingkat pikiran dan spirit tetap tidak berubah (dirubah)". Dalam simposium tentang pengobatan (penyembuhan) yang mengambil tema "Dimension of Healing "(dimensi penyembuhan) tahun1972, Dr. Tiller mengatakan : "substansi-substansi (yang di maksud adalah fisik, eteris, astral, lower mind, higher mind, soul dan spirit) saling memasuki (interpenetrate) dan hubungannya dapat dilihat dari keadaan tubuh kita. Untuk memperagakan tujuh tubuh itu, cobalah pikir dengan mempergunakan tujuh lembar kertas transparan (tembus cahaya) dan gambarlah bulatan - bulatan saling tindih dengan warna yang berbeda, terus menerus di atas ketujuh lembar kertas itu. Kemudian letakkanlah bersama dan lihatlah tumpukan itu, anda akan melihat organisasi substansi pada berbagai tingkat dalam dalam tubuh-tubuh manusia ......" Dan interaksi diantara ketujuh tubuh tersebut dilaksanakan melalui mind (pikiran). Demikianlah rupa-rupanya yang menjadi perhatian para ahli. Sekarang kita akan melihat yang sudah dipraktekkan mengenai piramida dan pengaruhnya untuk penyembuhan.
PENYEMBUHAN - PENYEMBUHAN DI BAWAH PIRAMIDA
Pengalaman penyembuhan pertama dialami sendiri oleh penulis buku tersebut di atas, Ed Petit. Untuk meghilangkan keraguan pembaca, Ed Petit mendapat ijin untuk menyiarkan pula nama dokter yang mengobatinya secara ilmu kedokteran, yaitu Dr. W.E. Dalton.
Peristiwanya sebagai berikut : Waktu Ed Petit sedang menggergaji (dengan gergaji bundar), tangan kanannya tergergaji , sehingga penghubung (joints) dua jari tengahnya harus di buang. Secara panjang lebar di tulis pula isi "Operation Records" dari Rumah sakit, umpamanya di beri betadine. Di bawah sinar X-rays diketahui : bahwa phalanges, akhir tulang ujung dua buah jarinya serta tendonsinya terurai. Kemudian Ed Petit megambil inisiatif sendiri; meletakkan tangannya yang rusak demikian itu setiap malam satu jam bawah piramida yang terbuat dari kardus selama dua malam saja; kemudian ke dokter untuk diperiksa lagi. Pada waktu itu, jari tengahnya hitam lekam dan dinasehatkan di potong saja / di buang saja. Sedangkan satunya lagi masih bisa dialiri darah. Ed Petit melanjutkan meletakkan tangannya tiap malam di bawah piramida. Lima hari kemudian, pembalutnya di buka, dan mengherankan karena ujung jari masih agak hitam, tetapi tubuh jarinya sudah agak berubah warna agak kemerahan (pink). Seminggu sesudah itu, jari tersebut normal kembali.
original post by Ricky Buntoro, Last edited by IMade in Jpn from kaskus.us
Diposting oleh indra Tgl 20.12.07
Asal usul nama Indonesia
Label: Budaya, Lain-lain |
PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang) nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi(Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia.
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa
Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”.
Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.
Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales).
Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”.
Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).
Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah(kerendahan peradaban) itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke.
Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: …. the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama ” Indonesia “agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama ” Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah ” Indonesia ” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah ” Indonesia ” itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu daritulisan- tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakanistilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula- mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggotaVolksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Disarikan dari tulisan IRFAN ANSHORY
(Penulis, Direktur Pendidikan “Ganesha Operation”)
**diambil dari diskusi kaskus.us
Diposting oleh indra Tgl 20.12.07
3.Bagus tidaknya Tanggal-Bulan buat Ijab Pengantin
Label: Budaya |merupakan lanjutan dari Perkawinan dilihat dari Weton,BAGIAN KE-3,semoga bermanfaat
3.Bagus tidaknya Tanggal-Bulan buat Ijab Pengantin
7 SURO : TUKAR PADU, NEMU KERUSAKAN, OJO DI TERAK
*SERING BERTENGKAR,BANYAK KERUSAKAN, JANGAN DILAKSANAKAN*
2 SAPAR : KEKURANGAN, SUGIH UTANG, KENO DI TERAK
*SERBA KURANG,BANYAK HUTANG,BISA DILAKSANAKAN*
3 MULUD : MATI SALAH SIJI
*MENINGGAL SALAH SATUNYA*
5 BAGDO MULUD : DADI OMONGAN, NEMU UJAR SOLO
*MENJADI PERBINCANGAN*
6 JUMADIL AWAL : KEREP KEKETEMUGAN, SUGIH SATRU, KENO DI TERAK
*BANYAK MUSUH,BISA DILAKSANAKAN*
1 JUMADIL AKHIR : SUGIH MAS SELOKO
*KAYA*
2 REJEB : SUGIH ANAK KETEMU SLAMET
*BANYAK ANAK AKHIRNYA SELAMAT*
4 RUWAH : RAHAYU ING SAKABEHE
*TENTRAM SEMUANYA/BAHAGIA SEMUA*
5 POSO : CILOKO GEDHE
*BANYAK CELAKANYA*
7 SAWAL : KEKURANGAN, SUGIH UTANG, KENO DI TERAK
*SERBA KURANG, BAYAK HUTANG,BISA DILAKSANAKAN*
1 SELO : GERING, KEREP PASULAYAN KETEMU MITRO, OJO
*
3 BESAR : SUGIH, NEMU SENENG LAHIR BATIN
*KAYA,SENANG LAHIR BATIN*
WATAK/SIFAT BERDASARKAN HARI KELAHIRAN
01. SELASA KLIWON 3 , 8 : BAIK, PINTER
02. RABU LEGI 7 , 5 : CEROBOH, SEMBRONO
03. KAMIS PAHING 8 , 9 : TUJUANNYA TERCAPAI
04. JUMAT PON 6 , 7 : REJEKINYA MUDAH
05. SABTU WAGE 9 , 4 : BESARREJEKI, BOROS
06. MINGGU KLIWON 5 , 8 : SUSAH HATI
07. SENEN LEGI 4 , 5 : PINTER MENCARI BUTUH
08. SELASA PAHING 3 , 9 : PINTER MERINCI
09. RABU PON 7 , 7 : MENJADI PELINDUNG
10. KAMIS WAGE 8 , 4 : KAKU, BESAR EMOSI
11. JUMAT KLIWON 6 , 8 : DAPAT DIPERCAYA
12. SABTU LEGI 9 , 5 : SERING KEKETEMUGAN
13. MINGGU PAHING 5 , 9 : MENEMUKAN REJEKI
14. SENEN PON 4 , 7 : RAJIN, PINTER
15. SELASA WAGE 3 , 4 : HEMAT, SABAR
16. RABU KLIWON 7 , 8 : KANUGRAHAN, SLAMET
17. KAMIS LEGI 8 , 5 : SUSAH DIATUR
18. JUMAT PAHING 6 , 9 : RAME, AJANG
19. SABTU PON 9 , 7 : PINTER, TIDAK BISA NYIMPAN
20. MINGGU WAGE 5 , 4 : OMONGANNYA MENYAKITKAN
21. SENEN KLIWON 4 , 8 : TIDAK PUNYA SAKIT HATI
22. SELASA LEGI 3 , 5 : PINTER MENYIMPAN
23. RABU PAHING 7 , 9 : SUGIH NANGING ELA – ELU
24. KAMIS PON 8 , 7 : SUGIH, MUSUH
25. JUMAT WAGE 6 , 4 : GEDHE PIKIRE (BANYAK ANGAN-ANGAN)
26. SABTU KLIWON 9 , 8 : BISA JADI PENGHULU
27. MINGGU LEGI 5 , 5 : TENANG, TIDAK MAU BERUSAHA
28. SENEN PAHING 4 , 9 : BANYAK AKAL, REJEKI MUDAH
29. SELASA PON 3 , 7 : PENDIAM (PINTER NYIMPAN RAHASIA)
30. RABU WAGE 7 , 4 : BANYAK MAUNYA, TIDAK TERCAPAI
31. KAMIS KLIWON 8 , 8 : CEREWET
32. JUMAT LEGI 6 , 5 : GEDHE SAWERANE, ORA KUAT NGGOWO
SISIK
33. SABTU PAHING 9 , 9 : PENUNGGUL, PUNYA KEKUATAN
34. SABTU PON 5 , 7 : PINTER MASAK
35. SENEN WAGE 4 , 4 : SENANG BOHONG TAPI DISUKAI ORANG
36. SELASA KLIWON 3 , 8 : ANGGORO KASIH
Diposting oleh indra Tgl 14.12.07
2.Berdasarkan Jumlah weton dijumlah = 9 ada sisa berapa
Label: Budaya |merupakan lanjutan dari Perkawinan dilihat dari Weton,semoga bermanfaat
2.Berdasarkan Jumlah weton dibagi 9 ada sisa berapa
1 KETEMU 1 : BAGUS PENGASIHNYA
1 KETEMU 2 : BAGUS /BAIK
1 KETEMU 3 : KUAT, JAUH REJEKINYA
1 KETEMU 4 : AKEH BELAHINE
1 KETEMU 5 : SERING BERTENGKAR, CERAI
1 KETEMU 6 : JAUH DARI REJEKI SANDANG PANGAN
1 KETEMU 7 : BANYAK MUSUH
1 KETEMU 8 : KESURANG – SURANG
1 KETEMU 9 : DADI PANGAUBAN
2 KETEMU 2 : SELAMAT, BANYAK REJEKI
2 KETEMU 3 : MATI SALAH SATU
2 KETEMU4 : BANYAK GODAAN
2 KETEMU 5 : AKEH BELAINE
2 KETEMU 6 : CEPAT KAYA
2 KETEMU 7 : ANAKNYA BANAYAK YANG MATI
2 KETEMU 8 : REJEKINYA SEDIKIT
2 KETEMU 9 : BANYAK REJEKINYA
3 KETEMU 3 : MISKIN
3 KETEMU 4 : AKEH BELAINE
3 KETEMU 5 : CEPAT CERAI
3 KETEMU 6 : DAPAT ANUGRAH
3 KETEMU 7 : AKEH BELAINE
3 KETEMU 8 : SALAH SATU CEPAT MENINGGAL
3 KETEMU 9 : MUDAH MENDAPAT REJEKI
4 KETEMU 4 : SERING SAKIT
4 KETEMU 5 : BANYAK RENCANA
4 KETEMU 6 : BANYAK REJEKINYA
4 KETEMU 7 : MELARAT/MISKIN
4 KETEMU 8 : SALAH SATU KALAH
5 KETEMU 5 : LANCAR/MUDAH MENCARI REJEKI
5 KETEMU 6 : REJEKINYA SEDIKIT/SUSAH
5 KETEMU 7 : MUDAH SANDANG PANGANE
5 KETEMU 8 : BANYAK GODAAN
5 KETEMU 9 : REJEKINYA SEDIKIT/SUSAH
6 KETEMU 6 : GEDHE BELAINE
6 KETEMU 7 : RUKUN
6 KETEMU 8 : BANYAK MUSUH
6 KETEMU 9 : KESURAN SURANG
7 KETEMU 7 : TIDAK ADA YANG MAU MENGALAH
7 KETEMU 8 : BELAINE SOKO AWAK’E
7 KETEMU 9 : TULUS POLO KRAMANE
8 KETEMU 8 : KASIHAN TERHADAP SEMUA ORANG
8 KETEMU 9 : AKEH BELAINE
9 KETEMU 9 : MUDAH MENCARI REJEKI
bersambung ke 3.Bagus tidaknya Tanggal-Bulan buat Ijab Pengantin
Diposting oleh indra Tgl 14.12.07
Perkawinan dilihat dari Weton
Label: Budaya |Menurut kepercayaan Jawa, arti dari suatu peristiwa (dan karakter dari seseorang yang lahir dalam hari tertentu) dapat ditentukan dengan menelaah saat terjadinya peristiwa tersebut menurut berbagai macam perputaran kalender tradisional. Salah satu penggunaan yang umum dari metode ramalan ini dapat ditemukan dalam sistem hari kelahiran Jawa yang disebut wetonan.
Weton anda merupakan gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, dll.) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa hari kelahiran anda berulang setiap lima minggu dimulai dari hari kelahiran anda.
Berdasarkan weton tersebut watak/karakter seseorang dapat dibaca, begitupun juga dengan
watak/karakter perkawinan, 2 orang yang berjodoh, membawa weton masing-masing.Berdasarkan kepercayaan orang Jawa, watak/karakter perorang yang menjadi satu dalam perkawinan juga dapat diketahui kemana arah perkawinan tersebut.
Ada 3 macam yang harus dilihat sebelum menikah berdasarkan weton;
1. Berdasarkan hari kelahiran
2. Berdasarkan Jumlah weton dibagi 9 ada sisa berapa
3. Berdasarkan waktu resepsi perkawinan
dan ada juga watak seseorang berdasarkan hari kelahiran
1. Berdasarkan hari kelahiran
Perkawinan dilihat dari Weton berdasarkan Hari Kelahiran
MINGGU KETEMU MINGGU : SERING SAKIT
MINGGU KETEMU SENEN : KAYA DENGAN PENYAKIT
MINGGU KETEMU SELASA : MELARAT/MISKIN
MINGGU KETEMU RABU : TENTREM
MINGGU KETEMU KAMIS : SERING BERTENGKAR
MINGGU KETEMU JUMAT : TENTREM
MINGGU KETEMU SABTU : MELARAT/MISKIN
SENEN KETEMU SENEN : OLO, SUSAH
SENEN KETEMU SELASA : AYEM/TENTREM/BAHAGIA
SENEN KETEMU RABU : BANYAK ANAK,ANAKNYA CEWEK
SENEN KETEMU KAMIS : SERING BIKIN MALU ORANG
SENEN KETEMU JUMAT : BAIK/BAGUS
SENEN KETEMU SABTU : BERKAH
SELASA KETEMU SELASA : OLO, SUSAH
SELASA KETEMU RABU : KAYA
SELASA KETEMU KAMIS : KAYA
SELASA KETEMU JUMAT : CERAI
SELASA KETEMU SABTU : SERING BERTENGKAR
RABU KETEMU RABU : OLO, SUSAH
RABU KETEMU KAMIS : AYEM/TENTREM/BAHAGIA
RABU KETEMU JUMAT : TENTREM
RABU KETEMU SABTU : BAIK/BAGUS
KAMIS KETEMU KAMIS : TENTREM
KAMIS KETEMU JUMAT : AYEM AYEM/TENTREM/BAHAGIA
KAMIS KETEMU SABTU : CERAI
JUMAT KETEMU JUMAT : MELARAT
JUMAT KETEMU SABTU : CELAKA
SABTU KETEMU SABTU : BAYAK SUSAHNYA
Bersambung ke 2.Berdasarkan Jumlah weton dibagi 9 ada sisa berapa
Diposting oleh indra Tgl 12.12.07
©2007@This blog best viewed with Firefox.aINDRA Studio | A Support Go Blog