05 November 2007

JAGAT DAN ESTETTIKA SASTRA SUFI NUSANTARA

Melalui teori perenial atau tradisionalnya Comaraswamy membagi seni, termasuk sastra, ke dalam tiga kategori. Yang pertama, seni murni/tulen, yang dicipta sebagai simbol (misal) atas pengalaman dan penglihatan batin. Yang kedua, seni dinamik, karya-karya yang memaparkan pergulatan manusia menghadapi persoalan-persoalan dunia. Yang ketiga, seni apatetik, yang bersifat ketukangan dan tidak memberi inspirasi (Livingston 1962:56). Seni murni dihasilkan melalui proses perenungan mendalam. Sarana ruhani yang digunakan si seniman ialah intuisi intelektual, yaitu kecerdasan melihat sesuatu dengan mata kalbu (prasyati buddhi), yang dicapai melalui kontemplasi dan meditasi.
Berdasar teori yang mungkin serupa, Braginsky (1993, 1998) membagi karya-karya Melayu klasik ke dalam tiga kategori pula. Yang pertama, karya-karya yang memaparkan sfera kamal atau penyempurnaan batin. Sastra sufi termasuk ke dalam kategori ini. Yang kedua, karya-karya yang memaparkan sfera faedah. Karya-karya adab dan kemasyarakatan termasuk ke dalam kategori ini. Yang ketiga, karya-karya yang memaparkan sfera keindahan atau kenikmatan lahir. Kisah-kisah pelipur lara termasuk ke dalam kategori ini.

Penggolongan yang dikemukakan Comaraswamy dan Braginsky sangat tepat, karena tiga kategori sastra itu masing-masing diciptakan berdasar estetika atau teori seni yang berbeda. Masing-masing dicipta untuk tujuan yang berbeda dan memenuhi fungsi yang berbeda pula. Akan tetapi, dalam sejarah peradaban Islam, berbagai bentuk dan corak estetika yang kelihatannya berbeda itu, dan melahirkan tiga bentuk seni atau sastra dengan hakikat dan fungsi yang berbeda-beda itu, tidak selamanya berdiri sendiri. Tidak jarang masing-masing saling melengkapi dan mempengaruhi. Ahli-ahli tasawuf tidak jarang menggunakan peralatan estetika adab dan pelipur lara dalam menulis karya mereka yang tergolong seni murni. Sebaliknya penulis karya adab dan pelipur lara tidak jarang pula menggunakan peralatan estetika sufi dalam menulis bagian-bagian tertentu dari karya mereka.

Wawasan estetika penulis sufi pada umumnya dibangun berdasark pemikiran ahli-ahli tasawuf seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin al-`Attar, dan Jalaluddin Rumi. Dalam pelaksanaannya ia diperkuat pula dengan teori Alam Misal (`alam al-mithal) Suhrawardi al-Maqtul yang sejalan dengan teori Ibn `Arabi. Adapun dasar-dasar estetika yang digunakan penulis adab ialah teori penciptaan dari filosof mashha`iyah (peripatetic) seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Abdul Qahir al-Jurjani. Yang pertama mengatakan bahwa sastra atau puisi adalah misal (simbolisasi) dari ide-ide, penglihatan dan pengalaman keruhanian. Sedangkan yang kedua bertolak dari anggapan bahwa sastra adalah karya imaginatif (mutakhayyil) di mana bercampur unsur peniruan (mimesis) dan penciptaan (creatio). Dalam proses penciptaan karya sastra, imaginasi dikendalikan oleh apa yang disebut sebagai akal rasional. Berdasarkan ini maka kita akan dapat memahami perbedaan hakikat antara sastra sufi dan adab.

Estetika Sastra Sufi

Menurut Comaraswamy, pokok paparan seni murni berkenaan dengan pengalaman transendental dan masalah-masalah ketuhanan. Jadi wilayah garapannya adalah tatanan realitas atau kehidupan yang tidak dapat dicerap secara inderawi atau pemahaman logika rasional. Karena tidak tercerna oleh logika dan persepsi inderawi, maka pengalaman semacam itu harus disampaikan melalui ungkapan-ungkapan tertentu yang memberi peluang bagi sarana keruhanian lain untuk dapat menangkapnya. Sarana keruhanian itu ialah akal intuitif dan imaginasi kreatif, yang dapat membimbing pikiran rasional dan persepsi indera memahami bahwa ada kebenaran di seberang kebenaran yang tidak dapat dicerap secara inderawi dan rasional.

Ungkapan-ungkapan tertentu yang dimaksud bersifat simbolik. Hanya melalui simbol-simbol tertentu dan bahasa figuratif puisi, akal intuitif dan imaginasi kreatif dapat bekerja dan menyampaikan pengalaman trasendental yang dialami seorang pengarang. Seni murni, karena itu, selalu hadir dalam sejarah peradaban manusia dalam bentuk ragam tutur simbolik yang dihasilkan melalui proses perenungan yang dalam. Di dalam karya sastra yang tergolong seni murni, simbol atau mitsal berperan sebagai penghubung alam indera dengan alam keruhanian. Simbol, yang biasanya berupa imaji atau ungkapan imaginatif, merupakan wakil alam indera. Yang disimbolkan atau dimisalkan oleh sebuah simbol merupakan adalah pengalaman keruhanian tertentu pengarang. Yang pertama bersifat inderawi, dan yang kedua bersifat trasendental dan merupakan wakil dari dunia makna-makna. Fungsi simbol dengan demikian merupakan tangga naik menuju pengalaman transendental atau pesan keruhanian yang disugestikan dalam sebuah karya.

Dalam karangan-karangan sufi misalnya, teks yang biasa disebut surah merupakan ungkapan-ungkapan lahir dari sesuatu yang lebih dalam dan tidak dapat dicerna secara inderawi, Ia adalah perantara atau penghubung (barzakh) antara sesuatu yang bersifat empiris dan yang bersifat batin. Ibarat manusia, karya sufi hendaknya tidak dilihat semata-mata sebagai sebuah sosok lahir seseorang, tetapi sebagai badan halusnya, yaitu pesan moral dan keruhaniannya yang mengatasi kategori-kategori pemahaman rasional dan pengalaman empiris.Ungkapan estetik atau lahir yang disebut surah (bangunan luar) hanyalah representasi simbolik dari makna (ma`na) yang merupakan bangunan batin sebuah karya.

Semua seni yang dicipta berdasar falsafah perennial, kata Comarasway, tertuju kepada Kebenaran Tertinggi. Ia disajikan melalui ungkapan estetik tertentu dalam upaya seniman menyingkap Kehadiran-Nya yang diliputi rahasia di dunia keberadaan dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman antara lain, ”Ayat-ayat Tuhan terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia”. Juga ”Kemana pun Kau memandang akan tampak wajah-Nya”. Melalui karyanya yang bersorak simbolik atau berbentuk kias seperti alegori, si seniman ingin pula mengajak jiwa dan batin orang lain ikut merasakan dan merenungkan makna dari kehadiran-Nya, yang walaupun dirasakan dalam kalbu, namun penting sebagai jalan menuju keyakinan mendalam tentang keberadaan dan ada-Nya, yang dengan itu seseorang bisa memperoleh pencerahan dan pembebasan. Dalam peradaban Islam, seni seperti itu dijumpai dalam wujud seni khat atau kaligrafi, lukisan geometri dan hias tetumbuhan (arabesque), aneka puisi religius dan alegori-alegori mistikal.

Sastra sufi termasuk dalam klasifikasi seni yang demikian, sebab ia dicipta dalam rangka mengekspresikan pengalaman unio-mystika dan perasaan-perasan yang dialami seorang pesuluk (salik) di jalan tasawuf. Sebagaimana tasawuf yang menjadi sumbernya, sastra sufi menggambarkan upaya seorang pesuluk mencapai Yang Haqq, yang dengan demikian ia dapat merealisasikan dirinya dalam persatuan batin dengan-Nya. Dalam upayanya itu seorang pesuluk harus melalui tahapan-tahapan sebelum akhirnya mencapai tujuannya. Pada tahapan terakhir ia akan tahu bahwa Wujud Hakiki atau Kebenaran Tertinggi hanya dapat disaksikan secara kalbiah, yang hasilnya berupa keyakinan mendalam akan keberadaan-Nya.

Nasr (1980:22) menyatakan bahwa yang dibicarakan dalam tasawuf adalah tiga perkara pokok. Yaitu hakikat Tuhan, kodrat manusia dan kebajikan-kebajikan spiritual yang melaluinya seseorang dapat merealisasikan hubungannya dengan Tuhan, alam dan sesamanya. Serangkaian kebajikan spiritual yang ditempuh disebut maqamat (peringkat atau tahapan ruhani), sedangkan keadaan-keadaan yang ditimbulkan dari tercapainya masing-masing tahapan ruhani itu disebut ahwal (kata tunggalnya hal, artinya keadaan jiwa). Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sastra sufi merupakan karangan bercorak simbolik dan puitik mengenai peringkat-peringkat ruhani dan keadaan-keadaan jiwa yang dicapai atau dialami penulisnya di jalan tasawuf.

Dengan takrif yang tidak begitu berbeda, Braginsky (1994:3) mengemukakan bahwa sastra sufi adalah karagan-karangan mengenai perjalanan seorang ahli suluk dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Tujuannya ialah musyahadah, penyaksian bahwa Allah itu esa. Di tempat lain Nasr (1980:8) mengatakan, “Sastra sufi tidak lain adalah karangan ahli-ahli tasawuf berkenaan dengan peringkat-peringkat (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang mereka capai.” Setiap pengarang sufi memberi gambaran dan tanggapan berbeda tentang kedua hal yang mereka alami. Salah satu contoh terbaik karya penyair sufi yang dapat menjelaskan apa hakikat sastra sufi itu, serta bagaimana pengarangnya mengolah bahan verbal karyanya menjadi penuturan simbolik sastra, ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar.

Dalam alegorinya itu `Attar memaparkan maqam-maqam dan ahwal yang dialami ahli suluk dalam menempuh jalan tasawuf. Segala jenis burung dari seluruh dunia berkumpul. Mereka bingung karena kerajaan mereka kehilangan pemimpin. Burung Hudhud, yang merupakan lambang guru keruhanian, tampil ke depan dan mengabarkan bahwa raja mereka Simurgh berada di puncak gunung Qaf. Kawanan burung itu mencari dan menjumpai sang maharaja. Perjalanan yang harus mereka tempuh demikian berat dan sukar. Mereka melalui tujuh wadi atau lembah, yang masing-masing melambangkan tahapan dan keadaan ruhani yang harus ditempuh dan dialami di jalan tasawuf.

Setiap lembah yang dilalui burung-burung itu dijelaskan melalui kisah-kisah menarik. Tujuh lembah itu ialah talab (pencarian), `ishq (cinta), ma`rifa (makrifat), istighna (kepuasan hati), tawhid (kesaksian kalbu tentang keesaan Allah), hayrat (pesona, ketakjuban), faqr (kefakiran), fana’ dan baqa ’ (kefanaan dan kebakaan). Lembah di sini adalah lambang dari tahapan-tahapan keruhanian yang harus dilalui para penempuh suluk. Sedangkan burung-burung yang ribuan itu melambangkan jiwa para salik. Dalam penerbangannya menemui Simurgh, yang sampai di tujuan hanya tiga puluh ekor burung. Dalam bahasa Persia, Si-murgh berarti tiga puluh. Mereka yang mencapai lembah terakhir itu heran, karena yang mereka jumpai adalah hakikat diri mereka sendiri. Dalam Hikayat Burung Pingai, versi Melayu dari alegori ini, cerita diakhiri dengan kutipan hadis, “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhan (yang merupakan asal-usul kejadiannya).”

Melalui Mantiq al-Tayr kita dapat memahami bahwa wawasan estetika sufi bertitik tolak dari keyakinan bahwa suatu karya yang simbolik dan sarat dengan renungan keruhanian, dapat membawa jiwa pembaca melalukan kenaikan spiritual hingga akhirnya memperoleh pencerahan dalam Kebenaran Tertinggi. Untuk sekadar memberi gambaran bagaimana estetika sufi itu sebenarnya, cukuplah saya petik bagian-bagian dari Syair Perahu berikut ini:

Inilah gerangan suatu madah

Mengarangkan syair terlalu indah

Membetuli jalan tempat berpindah

Di sanalah i`tqad diperbuli sudah

Wahai muda kenali dirimu

Ialah perahu tamsil tubuhmu

Tiada berapa lama hidupmu

Ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda arif budiman

Hasilkan kemudi dengan pedoman

Alat perauhumu jua kerjakan

Itulah jalan membetuli insan



La ilaha illa Allah tempat mengintai

Medan yang qadim tempat berdamai

Wujud Allah terlalu bitai

Siang malam jangan bercerai

(Doorenbos 1933:35)

Dari syair ini kita dapat memetik pandangan seperti berikut: (1) Puisi merupakan sarana transendensi atau tempat berpindah ke alam keabadian; (2) karangan yang indah ditulis setelah kalbu pengarang tersucikan, yaitu setelah membentulkan aqidah dan iktikadnya; (3) Karya seni atau puisi yang baik merupakan proyeksi zikir; (4) Keindahan Tuhan dan hakikat Tauhid hanya dapat disaksikan di ‘medan yang qadim’, yaitu di alam keabadian, yang hanya bisa disaksikan melalui perenungan yang dalam (musyahadah); (5) Penyair mengharap pembaca menjadikan puisi sebagai tangga naik menuju hakikat dirinya yang sejati

Kata penulis Syair Perahu, “Wahai muda kenali dirimu/Ialah perahu tamsil tubuhmu”. Tubuh kita, bersama peralatan mental dan keruhaniannya, adalah perahu yang sedang berlayar menuju Bandar Tauhid. Selama pelayaran itu berlangsung, banyak sekali godaan dan bahaya mengancam.

Sastra Sufi di Nusantara

Dalam sejarah Islam, ahli-ahli tasawuf atau sufi telah sejak awal memainkan peranan penting dalam penyebaran agama ini di kepulauan Nusantara. Peranan mereka semakin menonjol pada abad ke-14 – 18 M, tak lama setelah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan penguasa Mongol pada tahun 1256 M yang disusul dengan terjadinya gelombang pengungsian kaum Muslimin secara besar-besaran di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dalam rentang masa yang cukup panjang itu para sufi – baik yang disebut faqir, wali, guru sufi, pemimpin tariqat, ahli makrifat, ahli suluk, dan lain-lain – telah berhasil memberi corak perkembangan Islam yang unik di Nusantara. Dalam menyebarkan dan mengajar agama, serta dalam menulis karangan keilmuan dan sastra, mereka menggunakan bahasa Melayu selain bahasa Arab. Mereka juga giat menyadur karya-karya Arab dan Persia, seperti epos, hikayat nabi-nabi, dan roman. Ini menjadikan kian meluasnya pemakaian bahasa Melayu di berbagai pelosok kepulauan Nusantara. Dengan itu bahasa ini lantas naik peran dan martabatnya dari lingua franca (bahasa gaul) di bidang perdagangan, menjadi bahasa pergaulan utama antar-etnik di kepulauan Nusantara di bidang lain seperti keilmuan, keagamaan, dan sastra.

Pengaruh tasawuf dalam kebudayaan masyarakat Nusantara yang memeluk agama Islam tidak perlu diperdebatkan lagi. Ia dapat dilihat dalam adat-istiadat, upacara-upacara keagamaan, kesenian, tradisi intelektual dan kesusastraan Nusantara, tidak hanya dalam kesusastraan Melayu. Sejak awal semua perwujudan budaya ini oleh para ahli tasawuf telah dijadikan media penyebaran dan penanaman pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) Islam. Yang perlu ditelusuri ialah bagaimana fase-fase abad ke-13 – 17 M telah memdorong para sufi atau ahli tasawuf, yang lazim disebut faqir, bisa memainkan peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan, yang melalui cara demikian Islam dimungkinkan berkembang pesat dan tradisi intelektualnya terbentuk sedemikian kokohmya.

Abad ke-13 – 17 M Asia Tenggara memasuki fase-fase akhir dari era globalisasi gelombang pertama yang telah berlangsung sejak abad ke-5 M, dan itu identik dengan era penyebaran agama-agama besar di seluruh dunia. Pada fase ini Islam muncul sebagai pemeran utama yang menonjol setelah surutnya kegiatan penyebaran agama Hindu dan Buddha disebabkan kemunduran hegemoni politik mereka, sedangkan agama Kristen dating terlambat justru ketika agama Islam tengah berkembang pesat pada abad ke-16. Pada periode ini pula tasawuf menjadi cabang ilmu Islam yang menonjol dan dalam ajaran para penganjurnya ilmu-ilmu Islam lain yang penting telah dirangkum dan diserap, termasuk falsafah. Di antara mereka tidak sedikit pula muncul para cendekiawan yang tampil sebagai pelopor penulisan kitab dan sastra dalam bahasa-bahasa setempat termasuk Melayu dan Jawa.

Dapat dikatakan bahwa pada periode ini, dari segi keagamaan dan intelektual, para sufi memainkan peranan penting dalam proses islamisasi Nusantara dan kebudayaan-kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses islamisasi ini, kesusastraan – tutur dan tulis – tidak kecil peranannya, terutama sebagai pembentuk pandangan hidup (way of life) dan gambaran dunia (Weltanschauung), pencipta dan penyebar symbol-simbol budaya Islam, peletak dasar adat istiadat dan upacara keagamaan, pembangun tradisi baru kreativitas dan intelektual. Melalui karya-karya yang mereka tulis, dan mereka tuturkan dalam ceramah dan pengajian-pengajian, mereka sebarkan nilai-nilai Islam, cara pandang Islam merespon alam dan kehidupan.

Dalam sebuah bukunya al-Attas (1969) lebih kurang mengatakan bahwa, setelah terjadinya pemelukan Islam secara formal di kalangan penduduk Melayu – masyarakat Nusantara pertama yang beramai-ramai memeluk Islam – pada abad ke-12 – 14 M, berlanjutlah tahapan berikutnya yang sangat menentukan pada abad ke-15 – 17 M, yaitu pemelukan Islam secara lebih mendalam dan menyeluruh. Pada tahapan ini, pemelukan Islam telah menyentuh inti keruhanian ajaran Islam, unsur-unsur rasional dan intelektualnya. Penafsiran terhadap ajaran Islam yang semula terpaku pada masalah yang berkenaan dengan peribadatan dan aturan formal agama, dilanjutkan dengan penafsiran di bidang metafisika falsafah (tassawuf) dan teologi rasional (ilmu kalam). Pada masa berlangsungnya tahapan ini, tasawuf dan tulisan-tulisan para sufi dan ahli kalam memainkan peranan menonjol. Gagasan-gagasan fundamental yang diperkenalkan sesuai dengan Weltanschauung atau worldview Islam, kadang-kadang dijelaskan melalui ungkapan budaya lokal agar mudah dimengerti. Pada berlangsunya tahapan ini sastra Melayu bercorak Islam mulai mencapai puncak perkembangannya. Pada abad ke-18 M, karya-karya Melayu Islam ini dijadikan cermin dan model bagi perkembangan sastra Islam di wilayah lain di Nusantara seperti di Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Palembang, Banjar, Sasak, Bugis, Makassar, Bima, dan lain-lain.

Karena menonjolnya peranan sufi dalam kegiatan penulisan sastra, maka tidak mengherankan apabila kita menyaksikan betapa khazanah sastra di Islam – terutama yang ditulis dalam bahasa Melayu dan Jawa – dipenuhi karya yang sebagian besar memperoleh corak dan bentuknya dari gagasan, pemikiran, dan estetika yang hidup di kalangan ahli-ahli tasawuf. Namun patut disayangkan, jejak tasawuf dalam sejarah kesusastraan Nusantara sering dikaburkan dan dianggap tidak penting. Dalam banyak buku kesusastraan Melayu, karya sufi yang sebenarnya tidak terbatas hanya pada risalah-risalah tasawuf dan syair-syair makrifat, diberi ruang sempit sebagai ”karangan-karangan bercorak tasawuf” dengan contoh yang begitu sedikit, sehingga timbul kesan bahwa sumbangan sufi dan pemikiran mereka sedikit saja pengaruhnya bagi perkembangan kesusastraan Melayu.

Jagat Sastra Sufi

Dalam sejarah kesusastraan Melayu, benih sastra sufi telah muncul pada awal abad ke-15 M. Ini tampak misalnya pada hadirnya sajak penyair sufi Persia Sa’di di batu nisan seorang bangsawan Pasai bertarikh 1416 M, Husamuddin al-Naini. Sebuah naskah berasal dari awal abad ke-16 M berisi terjemahan sajak-sajak penyair sufi Persia seperti Umar al-Khayyami, Jalaluddin Rumi, Sa`di, dan lain-lain juga sudah ditemukan (Iskandar 1995). Ini membuktikan bahwa kegiatan penulisan sastra sufi telah bermula sejak zaman kesultanan Samudra Pasai (1270-1500 M) dan Malaka (1400-1511 M). Namun puncak perkembangannya tampak dengan munculnya sufi besar Melayu Hamzah Fansuri pada zaman kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Kemunculan Hamzah Fansuri dan syair-syair tasawufnya sekaligus menandai puncak perkembangan sastra Melayu atau datangnya fase baru yang oleh Braginsky disebut ’periode kesadaran diri’.

Setelah hadirnya Hamzah Fansuri, dan murid-muridnya di Barus dan Aceh, penulis sufi melebarkan sayapnya. Mereka tidak hanya melahirkan apa yang disebut sebagai syair-syair tasawuf atau makrifat, dan juga tidak hanya melahirkan risalah tasawuf yang termasuk ke dalam kategori sastra kitab. Mereka juga melahirkan karya yang termasuk ke dalam genre-genre lain. Secara keseluruhan, karya-karya yang digolongkan sebagai bercorak tasawuf itu setidak-tidaknya dapat diklasifikan ke dalam enam kelompok, seperti berikut:

1. Syair Tauhid dan Makrifat. Biasanya campuran lirik dan didaktis, dancenderung naratif. Yang terkenal ialah Ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri (abad ke-16 M) dan murid-muridnya dari Barus dan Aceh seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, dan lain-lain. Dalam rangkaian itu juga terdapat syair-syair anonim seperti “Syair Dagang”, “Syair Perahu” (ada tiga versi berbeda gaya bahasa dan penulis), “Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’”, “Syair Unggas Bersoal Jawab”, “Syair Takrif al-Huruf”, “Syair Perihal Kiamat”, “Syair Alif Ba Ta”, “Syair Perkataan Alif, “Syair Makrifat”, dan masih banyak lagi. Syair-syair serupa juga terdapat banyak kesusastraan Nusantara seperti Bugis, Aceh, Makassar, Sunda, Jawa dan Madura.

Dalam sastra Jawa, khususnya yang ditulis bentuk puisi atau tembang macapat, disebut suluk. Penulis suluk terkenal pada abad ke-16 di antaranya ialah Sunan Bonang, Sunan Gunungjati, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Sela, dan lain-lain. Penulis suluk terkenal abad ke-18 dan 19 di antaranya ialah Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita, dan lain-lain. Di antara yang terkenal ialah Suluk Walisanga, Mustika Rancang, Suluk Wujil, Suluk Bentuir, Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa, Suluk Aceh, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabriz, Suluk Jati Rasa, dan lain-lain. Suluk juga ditemui dalam kesusastraan Madura, yang terkenal misalnya ialah Suluk Ontal Enom, Pancadriya, Morbing Rama, Suluk Johar Mongkin, dan lain sebagainya. Dalam kesusastraan Sunda yang paling terkenal ialah Wiwitan Hasan Mustafa.

2. Syair Pujian Kepada Nabi Muhamad s.a.w.. Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, terdapat syair pujian khusus kepada beliau. Dalam kesusastraan Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan di Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini dalam kesusastraan Melayu terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad s. a.w. Dimasukkan ke dalam kategori karya bercorak tasawuf, karena penulisnya biasa adalah sufi atau guru tariqat, dan dalam ungkapan-ungkapannya terdapat simbol-simbol yang berlaku dalam sastra sufi. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.

3. Ratib atau Agiografi Sufi. Ada yang ditulis dalam bentuk prosa berirama dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Dalam bentuk prosa dinamai hikayat. Dalam bentuk prosa berirama, yang terkenal di antaranya ialah Ratib Syekh Saman, Ratib Syekh Abdul Qadir Jailani, Ratib Syekh Hamzah Fansuri, Ratib Syekh Naqsabandi, dan lain-lain. Sedangkan yang dalam bentuk prosa ialah Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Rabi`ah al-Adawiyah, Hikayat Abu Yazid al-Bhistami, Hikayat Shamsi Tabriz, Hikayat Mansur al-Hallaj, Hikaya Syekh Abdul Kadir al-Jailani, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham, Hikayat Jumjunah, Hikayat Abu Syamah, dan lain-lain.

4. Alegori sufi atau kisah perumpamaan sufi. Para penulis sufi sering menggubah cerita-cerita yang tergolong dalam roman atau pelipur lara menjadi alegori sufi, terutama untuk melukiskan tahapan-tahapan naik perjalanan ruhani mereka secara simbolik. Model serupa dilakukan oleh penulis-penulis Arab dan Persia. Nizami al-Ganjawi, penulis Persia, menggubah hikayat Iskandar Zulkarnain (dalam Iskandar-nama) dan Layla Majenun menjadi alegori sufi. Demikian juga Jami, penulis Persia abad ke-1`5 M, yang menggubah Salaman dan Absal, Yusuf dan Zulaikha dan lain-lain. Dalam sastra Melayu hikayat yang digubah menjadi alegori sufi antara lain ialah Hikayat Inderaputra, Hikayat Syah Mardan, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Badr al-`Asyiq, Taj al-Muluk dan lain-lain.

Dalam sastra Jawa di antaranya ialah Serat Seh Malaya, Semaun lan Mariya, Masirullah, Serat Dewa Ruci, Wujud Tunggal, Suksma Winasa, Dewi Malika, dan lain-lain.

5. Risalah Tasawuf yang biasa dimasukkan ke dalam kelompok Sastra Kitab. Beberapa sufi yang sangat masyhur sebagai penulis risalah ialah Hamzah Fansuri (Syarab al-`Asyiqin, Asrar al`Arifin dan al-Muntahi); Syamsudin Pasai (Mir`at al-Mu`minin, Mir`at al-Iman, Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna, Mir`at al-Muhaqqiqin dan lain-lain); Nuruddin al-Raniri (Ma` al-Hayat, Hill al-Zill, Tybian fi Ma`rifa al-adyan, Sifat al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jawhar al-`Ulum dan lain-lain); Abdul Rauf al-Singkili (Daqa`iq al-Huruf, Umdat al-Muhtajin ila al-Suluk Maslak al-Mufridin dan lain-lain); Yusuf al-Makassari (al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdah al-Asrar, Qurat al-`Ayn, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq, dan lain-lain).

6. Karangan prosa berisi aneka corak pandangan atau ilmu sufi tentang berbagai persoalan seperti metafisika, penciptaan alam semesta, sejarah, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Kitab Seribu Masalah, Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri (Syamsuddin al-Sumatrani), Taj al-Salatin (Bukhari al-Jauhari), Bustan al-Salatin (Nuruddin al-Raniri), Risalah Turunnya Imam Mahdi (Arsyad al-Banjari), dan lain-lain.

Suluk di Jawa

Di Jawa wacana sastra sufi atau suluk diperkenalkan pada abad ke-15 dan 16 M oleh para wali yang sebagian besar berdakwah dengan menggunakan media tasawuf dan budaya lokal. Kegiatan mereka dilakukan mula-mula di pesisir, tempat munculnya pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan Muslim awal di pulau Jawa. Karena mereka melakukan kegiatan di kota-kota pelabuhan sepanjang pesisir pulau Jawa dan Madura, maka karya-karya yang mereka hasilkan disebut sebagai Sastra Pesisir. Tuban, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten, merupakan pusat-pusat awal kegiatan sastra pesisir.

Pada umumnya wali-wali sufi itu menguasai bahasa Arab dan Persia, selain bahasa Jawa dan Melayu. Tetapi berbeda dengan penulis-penulis Melayu Islam yang sezaman, yang menggunakan huruf Jawi (Arab Melayu) dalam penulisan mereka dan memadukan puitika Arab Parsi dengan puitika Melayu dalam penciptaan karya mereka. Para wali di Jawa menggunakan huruf Jawa dan tetap meneruskan bentuk persajakan lama (tembang macapat) dalam menghasilkan suluk. Di antara wali sufi yang paling produktif melahirkan suluk ialah Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Mereka hidup antara pertengahan abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M, masing-masing di Tuban dan Cirebon.

Karya Sunan Bonang yang terkenal di antaranya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Jebeng, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, dan lain sebagainya. Dalam Suluk Wujil Sunan Bonang menuturkan ajaran tasawuf yang disampaikan kepada muridnya, bekas abdi dalem Majapahit yang bernama Wujil. Dalam Suluk Khalifah dituturkan pengalaman keruhanian para wali di Jawa ketika menuntut ilmu suluk, dan pengalaman mereka mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Hindu yang ingin memeluk agama Islam.

Pada awal abad ke-17 M dengan pindahnya pusat kekuasaan Jawa ke pedalaman, kegiatan penulisan suluk berkembang pula di pedalaman, terutama di pesantren dan pusat-pusat kekuasaan. Di istana-istana raja Jawa, kegiatan penulisan sastra suluk mula-mula digalakkan oleh Panembahan Seda Krapyak pada permulaan abad ke-17 M. Perkembangan sastra suluk semakin pesat pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram. Pada masa ini sejumlah besar suluk-suluk pesisir disalin dan disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Di antaranya Suluk Wujil karya Sunan Bonang, dan Suluk Malang Sumirang karya Sunan Panggung (Poerbatjaraka 1938). Pada masa ini juga karya Jalaluddin Rumi yang masyhur Diwan-i Shamsi Tabriz disadur ke dalam bahasa Jawa di bawah judul Suluk Syamsi Tabriz. Sementara karya-karya Imam al-Ghazali, Abdul Karim al-Jili (al-Insan al-Kamil), Ibn `Arabi, dan karya sufi Arab dan Persia lain mulai dipelajari secara meluas di berbagai pesantren.

Puncak perkembangan sastra suluk mengambil waktu pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), raja Mataram terbesar sepanjang sejarah. Di bawah pemerintahannya sebagian besar pulau Jawa, kecuali Banten dan Pasundan, berhasil diintegrasikan kembali di bawah pemerintahannya. Pada masa ini sinthesa tasawuf Islam dan mistisisme Jawa mulai dilakukan secara intensif. Sultan Agung sendiri menulis karya sinthetis Sastra Gendhing yang masyhur. Dalam suluknya itu ajaran tasawuf disampaikan melalui metafora, simbol dan istilah-istilah lokal. Pada zaman pemerintahannya suluk-suluk besar banyak ditulis, antara lain Suluk Dhudha, Suluk Dalang, Prawan Mbathik, Suluk Makrifatullah, dan lain sebagainya (de Graff 1985:276).

Setelah wafatnya Sultan Agung, pusat kekuasaan Jawa mengalami berbagai kegoncangan disebabkan pembrontakan internal, perang suksesi dan campur tangan kolonial Belanda (VOC). Pusat kekuasaan dipindahkan dari ibukota Mataram ke Kartasura, sekarang kota kecil dekat Solo. Di tengah chaos, kebudayaan Jawa mengalami krisis. Peluang untuk memulihkan krisis itu baru bisa dilakukan pada awal abad ke-18 M setelah situasi politik relatif tenang, dan VOC benar-benar berkuasa di Jawa. Yaitu pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749 M)dan Pakubuwana III (1749-1788 M). Pada masa pemerintahan kedua raja inilah renaissance kesusastraan Jawa berlangsung.

Penggerak utama renaissance itu ialah seorang pujangga istana bernama Raden Mas Ngabehi Yasadipura I, penasehat utama Pakubuwana II dan Pakubuwana III. Inti utama dari renaissance kesusastraan Jawa ada dua: pertama, penyaduran karya-karya penulis Jawa Kuna secara besar-besaran ke dalam bahasa Jawa Baru; kedua, penyaduran karya-karya Melayu Islam ke dalam bahasa Jawa baru dengan memberinya ciri kejawaan. Kegiatan penyaduran karya Jawa Kuna dan Melayu Islam kemudian berlanjut pula pada abad ke-19 M di pusat-pusat kekuasaan lain di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Barat karya-karya Jawa Kuna dan Melayu disadur ke dalam bahasa Sunda, di Jawa Timur khususnya di Sumenep dan Bangkalan, karya-karya Jawa Kuna dan Melayu itu disadur ke dalam bahasa Madura.

Dari berbagai genre yang digemari ialah wiracarita (epos) dan karya-karya mistikal (suluk). Dari sastra Jawa Kuna muncul saduran-saduran kisah yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Epos Melayu yang digemari ialah Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Hikayat pahlawan Islam ini dalam sastra Jawa, Sunda, dan Madura disebut Serat Menak. Yang paling masyhur di antaranya ialah karya Yasadipura I. Peranan epos seperti ini penting dalam upaya memelihara semangat kepahlawanan. Tokoh-tokoh Jawa yang menjadi penentang kolonialisme pada abad ke-19 M, seperti Pangeran Diponegoro, adalah pengemar epos dan suluk.

Selain melahirkan berbagai epos, Yasadipura I juga melahirkan karya-karya suluk. Yang terkenal di antaranya ialah Serat Dewa Ruci dan Serat Cebolek. Melalui penelitian mendalam atas karya-karyanya kita dapat menelusuri bagaimana corak keterjalinan antara kesusastraam Jawa dan Melayu, serta aspek-aspek apa saja yang membuat karya-karya penulis Jawa itu berbeda dari karya-karya Melayu, padahal sumber dan model karangan-karangan keislaman dalam kesusastraan Jawa adalah teks-teks Melayu.

Penulis suluk Jawa lain yang terkenal selepas Yasadipra II adalah putranya Yasadipura II dan Ranggawarsita. Keduanya merupakan penulis suluk yang prolifik. Sampai awal abad ke-20 M karya-karya suluk masih banyak ditulis dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti halnya dalam kesusastraan Melayu di masa lalu, tidak sedikit alegori-alegori mistikal yang tergolong ke dalam sastra suluk ditulis berdasarkan bahan-bahan verbal yang diambil dari hikayat petualangan dan pecintaan seperti Hikayat Johar Manik, Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Angling Darma, dan lain sebagainya. Tidak sedikit pula suluk-suluk klasik digubah kembali menggunakan bahasa Jawa Baru.

Dalam konteks ini tidaklah boleh diabaikan suluk-suluk yang dikarang oleh K. H. Hasan Mustafa, seorang sufi dari tanah Sunda atau Periangan. Suluk-suluknya dihimpun dalam kitab yang diberi judul Wiwitan Haji Hasan Mustafa. Dua pengarang Madura yang hidup antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yaitu Umar Sastradiwirya dan Raden Danukusuma, telah berhasil mengubah sejumlah roman Jawa dan Melayu menjadi alegori mistikal. Raden Danukusuma juga menyadur kembali hikayat nabi-nabi (Serat `Anbiya) dalam bentuk tembang macapat dalam bahasa Madura tinggi yang indah. Nafas sufistik sangat kuat dalam Kitab Anbiya’ Madura itu.

original post by : Abdul Hadi WM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar