08 November 2007

Fenomena ALIRAN SESAT

Fenomena maraknya gerakan “Aliran Sesat” keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini menarik untuk dikaji. Berikut ini saya postingkan lagi tulisan Pak Dr. Haidar Bagir, yang mungkin bisa sedikit menjelaskan mengenai fenomena tersebut, termasuk Isue Jamaah al-Qiyadah al-Islamiyah-ya Ahmad Musadeq, yang mengaku sebagai Rasul Tuhan terakhir.
Kembalinya yang suprarasional dan supranatural di abad posmo ini barangkali adalah salah satu di antara – meminjam istilah John Naisbitt – “paradoks global”. Jika mengikuti ramalan para filosof, sosiolog, atau antropolog yang menulis tentang agama, seperti Marx, Nietsche,Comte, Durkheim, Weber, Kahn, atau Sorokin, dan banyak lagi – maka seharusnya yang supranatural sudah lama pupus dari bumi manusia ini. Tapi, bukan hanya agama dan spiritualitas — apakah ia disebut mistisime, aliran New Age, atau Frontier Aquarian — ribuan organisasi kultus (cultic organizations) pun menjamur di seluruh bagian dunia. Kalau saya tak salah ingat, pada tahun 1974 saja Alvin Toffler telah mencatat bermunculannya lebih dari 4000-an paguyuban seperti ini di Amerika saja. Apa pasal?
Jawabannya bisa beragam. Yang paling bersimpati terhadap agama dan spiritualitas akan merujuk kepada apa yang diyakini sebagai fitrah spiritual manusia. Digebah-gebah seperti apa pun, diiming-iming dengan berbagai kenikmatan-duniawi selezat apa pun, ia tetap bercokol juga. Malah lebih kokoh lagi. William James – psikolog Amerika awal abad 20 yang disebut-sebut sebagai penganut “empirisisme- radikal” – adalah di antara yang mau bersusah-payah memahami dan mem-verifikasi” pengalaman religius demi membuktikan sifat fitri spiritualitas manusia ini. Juga Jung, Maslow, Alport. Yang lain mencari jawab pada “tirani” individualisme modern, impersonalitas teknologi maju, dan ketergesaan hidup yang diakibatkannya – hal-hal yang, pada gilirannya, mendorong orang untuk mencari kehangatan dalam pengalaman personal keagamaan. Ada juga yang mendiagnosanya sebagai semacam tetirah penuh nostalgia ke masa lampau yang, konon, memang menyusun bahan dasar psikologi manusia. Sedemikian, sehingga, bahkan sosiolog niragama sekelas Peter Berger akhirnya “dipaksa” menerbitkan The Desecularization of the World untuk merekam dan menjelaskan fenomena paradoksikal ini.
Kenyataannya, sudah lebih dari seabad lalu di negeri-negeri Barat-modern berkembang apa yang disebut sebagai Tradisionalisme. Istilah Tradisi yang menyusun kata ini merujuk kepada konsep yang menyatakan bahwa semua agama otentik berasal dari satu Tradisi Primordial. Maka, Tradisionalisme adalah sebuah faham yang berupaya untuk mengungkap Prinsip-prinsip pemersatu yang mendasari berbagai tradisi (agama) dunia. Tradisionalisme modern didirikan oleh filosof Prancis Rene Guenon (1886-1951). Di antara para tradisionalis lain termasuk para pemikir terkemuka seperti Julius Evola, Frithjof Schuon, Ananda K. Coomaraswamy, Lord Northbourne, Titus Burkhardt, Martin Lings, Seyyed Hossain Nasr, Whitall Perry, Robin Waterfield, Arthur Versluis, R.A. Schwaller deLubicz, dan William Stoddart. Mircea Eliade, Huston Smith, Jacob Needleman, Alain Danielou, and Joseph Campbell dapat pula disebut sebagai tokoh-tokoh yang bersimpati kepada faham ini.
Rene Guenon adalah seorang filosof Prancis yang sempat bekerja pada Institut Katolik di negeri itu, kemudian masuk Islam dan menggunakan nama Syaikh Abdul Wahid Yahya, dan belakangan pindah ke Kairo pada tahun 1930 hingga meninggal di sana 20 tahun kemudian. Faham Tradisionalisme itu sendiri berasal dari Perenialisme, sebuah aliran keagamaan dan filosofis yang didirikan di Florence pada masa Renesans.Memang, perenialisme Renesans meyakini bahwa seluruh agama dunia adalah ekspresi-ekspresi dari satu agama perenial asli, yang telah hilang. Agama perenial inilah yang dirujuk sebagai tradisi dalam Tradisionalisme itu.
Problem terbesar dari Tradisionalisme ini, sebagaimana diungkapkan oleh para kritikusnya, adalah absennya sikap kritis terhadap agama-agama, berlawanan dengan kritik-kerasnya terhadap modernisme, digantikan dengan kelonggaran nyaris tanpa batas terhadap data agama yang mana pun. Sikap ini membawa sedikitnya tiga konsekuensi- berkaitan yang tidak diharapkan. Pertama, kecenderungan sinkretik Kedua, adanya pembacaan yang bersifat selektif terhadap agama-agama demi mendapatkan unsur-unsur yang bisa dilihat sebagai sama di dalam semua agama. Dan, ketiga, kecenderungan untuk menerima unsur-unsur kultus primitif yang menandai agama-agama atau kepercayaan- kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya messianisme. Di luar itu, sejalan dengan kritik-kerasnya terhadap modernisme, agama perenial berpotensi mempromosikan irasionalitas dan, sebagai gantinya, memujikan perolehan kebenaran lewat semacam ilham, wangsit, atau wahyu yang tak bisa diverifikasi secara publik.
Konon, salah satu manifestasi cultic tradisionalisme ini muncul dalam tarikat yang dikembangkan oleh salah seorang murid Guenon, yakni Fritjof Schuon. Schuon awalnya adalah seorang disainer-tekstil dan visioner keturunan Franco-Swiss yang belakangan tertarik pada perenialisme. Mulai dengan bergabung dalam Tarikat Alawiyyah yang didirikan oleh Syaikh ’Alawi di Marokko, Fritjoff Schuon mendirikan sebuah Tarekat sendiri yang bernama Maryamiyyah di Amerika serikat, setelah kepindahannya ke negeri ini. Meski dibantah oleh para pengikut dan simpatisannya, dikabarkan bahwa tarikat yang berporos pada kepribadian Maryam (ibu Nabi ’Isa) ini memperkenalkan berbagai ritus yang ”aneh-aneh” termasuk dansa suku Indian, dan juga upacara yang mengharuskan para pesertanya bertelanjang badan. Akibat tuduhan ini, Schuon sempat digelandang polisi AS.
Sayangnya, kalaupun berita mengenai Schuon ini ternyata tidak benar, tersedia cukup contoh manifestasi perenialisme yang di dalamnya unsur-unsur kultus primitif ini tampil dominan. Kelompok ”Kerajaan Surga” Lia Aminuddin, tampaknya mencocoki penggambaran tentang gerakan agama perenial modern ini. Lepas dari apakah Lia dan kelompoknya mengikuti perkembangan gerakan internasional ini, kenyataannya ia menyebut diri dan pengikutnya sebagai penganut agama perenial semacam ini (Lihat Danarto, ”Sekadar Catatan tentang Lia Aminuddin”, TEMPO, …..). Di dalamnya ada kultus terhadap pemimpin yang dipercayai menerima wahyu dan diselimuti aura messianisme. Irrasionalitas, betapa pun atasnya diupayakan penjelasan-penjelas an apologetik, juga amat dominan. Hal ini antara lain tampil dalam bentuk penyandaran bukti kebenaran kepercayaan kelompok ini kepada keajaiban-keajaiban atau mu’jizat-mu’jizat yang diklaim telah diproduksi oleh Lia Aminuddin. Yang membedakan kelompok Lia dengan perenialisme a la Guenon atau Schuon adalah absennya wawasan dan elaborasi filosofis yang amat sophisticated.dalam kelompok yang disebut belakangan dalam kelompok yang dsebut terdahulu. Bahkan kritikus yang amat keras terhadap perenialisme mazhab Guenon ini, seperti Legenhausen, (Why I am not a Traditionalist) tak urung memuji kecanggihan kritik-kritik mereka terhadap modernisme serta keluasan wawasan mereka mengenai agama-agama dan berbagai aliran filsafat yang terkait dengannya.
Alhasil, kekuatan apakah yang sesungguhnya bekerja atas Lia Aminuddin? Yang paling mudah adalah mendiagnosa gejala ini sebagai sekadar kesurupan (possessed), produk delusi Freudian, atau penyimpangan- penyimpangan kognitif lainnya. Meski kemungkinan seperti ini jelas tak bisa segera disisikan, repotnya hujatan seperti ini selalu bisa ditudingkan kepada semua keyakinan keagamaan. Mengingat, kalau pun tidak irasional, unsur-unsur esensial dalam keyakinan keagamaan bersifat suprarasional dan mengandung juga hal-hal yang bersifat supranatural. Kenyataannya, memang, semua keyakinan keagamaan merupakan produk pengalaman religius yang subyektif. Padahal, (orang cenderung mengira bahwa) tak ada jalan untuk memberlakukan verifikasi publik atasnya. Bisa juga gejala ini dinisbahkan kepada kecupatan wadah spiritual untuk menerima pengalaman-pengalam an religius yang meng-”kudeta”. Sehingga, produknya adalah semburan ungkapan-ungkapan yang tak terkontrol (Meski mungkin akan banyak orang berkeberatan terhadap penjajaran Lia dengan para tokoh Sufi — yang biasa disebut sebagai Sufi ”mabuk” (sakran) — ungkapan-ungkapan seperti ini dalam terminologi tasawuf disebut sebagai syathahat atau syath-hiyat. Kenyataannya, pengalaman religius bisa, dan telah, terjadi pada banyak orang ”biasa”. Menurut penelitian, pemicunya bisa macam-macam : mulai pengaruh apresiasi karya seni, pemandangan dan keheningan alam, pelaksanaan ritual-ritual agama, hingga sekadar depresi).
Lalu, apakah menangkap Lia Aminuddin merupakan pemecahan yang bijaksana? Mengadilinya lebih problematik lagi – kecuali jika bisa dibuktikan adanya gangguan konkret yang ditimbulkannya, dan bukan sekadar ketaksepakatan orang banyak terhadap keyakinan kelompok ini (bagaimana bisa mengadili keyakinan subyektif?) Yang pasti, tindakan seperti ini hanyalah menyentuh puncak dari gunung es irasionalisme modern yang cenderung makin menggejala. Di belakang Lia Aminuddin, masih banyak, dan mungkin bertambah banyak, kelompok-kelompok kultus semacam ini. Kiranya hanyalah penanaman kemampuan berpikir rasional dan pengembangan penafsiran keagamaan yang mempunyai sifat samalah yang dapat mengurus dan mengatasi gejala ini. Dalam kaitan ini, berbagai acara ”mistik” dan ”takhyul-keagamaan” , serta praktik-praktik penyembuhan sejenis yang dikait-kaitkan dengan agama sama sekali tak membantu.
Namun, yang juga harus diingat, hendaknya kebutuhan akan rasionalitas ini tak mendorong kita untuk mencari pemecahan yang mudah dan potong kompas sedemikian, sehingga ia melucuti agama dari sifat-asasinya sebagai sumber dari kehangatan dan ketenteraman spiritual. Hal seperti ini pernah dicoba dilakukan, dan gagal, oleh proyek rasionalisme abad pencerahan atau pun modernisme religius yang puritanistik Kedua-duanya harus hadir bersama-sama dalam manifestasi agama yang sejalan dengan kebutuhan manusia dan peradabannya di masa depan : rasionalitas dan tawaran kehangatan spiritual. Dan bahan-bahannya bukannya sama sekali tak ada. Sekadar contoh, dalam Islam orang bisa belajar banyak dari tasawuf, khususnya yang filosofis (’irfan) atau pun filsafat iluministik (israqiyah atau hikmah). Dalam aliran-aliran mistiko-filosofis seperti ini, produk pengalaman religius didedahkan kepada prinsip verifikasi logis (koherensi).
Inilah sebuah pemecahan yang tampaknya tak memuaskan kaum ”liberal” yang menghendaki agama yang sepenuhnya rasional dan bebas dari misteri-misteri suprarasional dan supranatural. Apa boleh buat, tampaknya manusia – entah karena fitrahnya, atau sekadar kebutuhan-survival-nya – memang memerlukan lebih dari sekadar agama rasional yang kering, yang tak mampu menghangatkan jiwa. Dan jika keperluan ini tak terpuasi maka, persis seperti disinyalir Carl G. Jung, dikhawatirkan yang akan menyeruak dari kehidupan manusia adalah kekosongan makna, atau justru keterpurukan ke dalam irasionalitas religius.

oleh Haidar Bagir (Doktor di bidang Filsafat, salah satu pendiri dan dosen ICAS Jakarta, Pendiri Pusat Kajian Tasawuf Positif IIMaN, serta penulis Buku Saku Tasawuf dan Buku Saku Filsafat Islam.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar