Bacaan yang menarik, bikin makin enggak pede untuk merried. nih aku post dari sitenyaPAMAN TYO
“Kamu kan dapet voucher belanja, udah abis belon?” tanya Bung Bajigur.
“Langsung disamber bini-ku. Yah batal deh niat beli micro Hi-Fi,” sahut Mat Marsupial yang kantungnya selalu berisi macam-macam.
Yang lain terbahak. Ditambah bumbu ledekan. Ujung-ujungnya adalah estafet keluhan berbalut humor — tepatnya mentertawakan diri sendiri. Ajaran mulia telah menyesatkan lelaki untuk tak gampang meratap, dan kudu sok tegar, terutama jika menyangkut pasangan hidupnya.
Mat Jebrot lain lagi. Dia sudah siapkan uang dalam amplop untuk iuran THR satpam perumahan. Pembawa map belum datang uang itu udah habis.
“Pertama,” katanya, “pembantu minta lima puluh (ribu) buat belanja dari Abang Sayur, katanya dipesen Ibu ambil dari laci Bapak.” Belum ada tawa.
“Kedua,” lanjutnya, “bini mau berangkat kerja butuh beli bensin, ngambil seratus lima puluh (ribu), katanya sih minjem, belon sempet ke ATM.”
So? “Yah biasanya nggak dibalikin tuh duit. Gpp seh ngalah aja…” Mulai ada tawa.
“Tapi kemaren betul-betul tak tagih. Sore kemarin duit dibalikin.”
“Fair dong?” sela seorang penanggap.
“Entar dulu, Jack. Duit emang dibalikin, tapi tadi pagi sebelum berangkat, pembantu bilang dipesen Ibu buat ke Indomaret, uangnya ambil di laci Bapak. Seratus lima puluh menguap…”
“Trus sisa berapa tuh duit di laci?”
“Buat THR RT/RW dan iuran lain tak siapin empat ratus (ribu). Di amplop kedua ada dua ratus (ribu) buat bayar koran dan lain-lain. Ternyata udah abis. tak call bini eh… dia bilang, ‘Biar aku pakai dulu, Say…’ Huh!”
Hahaha! Lantas?
“Yah tak isi lagi soalnya akan pulang malam. Udah nasib jadi ATM yang punya tong** buat bini!” Meledaklah tawa afirmatif berbau pengakuan dalam kepasrahan.
“Dalam keluarga tradisional, lelaki kan jadi bread winner, jadi ya kudu siap diplorotin istri. Kesetaraan mah ideologi wanita lajang, kalau sudah nikah boleh ganti haluan,” kata Sokbijaktapingeselin.
“Wah, sleeping with tukang palak judulnya. Hahaha!” celetuk Markuwat.
“Nggak ada kemajuan, kita nerusin nasib bokap ama engkong kita,” sahut entah siapa.
Ternyata soal ATM (dan kartu debet, serta kartu kredit) menjadi menjadi pembuka keluh kesah lima pria — yang satu lainnya cuma menanggap dan memancing, yang lainnya lagi cuma urun senyum dan tawa sambil garuk-garuk padahal kepala tak gatal.
Bukan paduan suara, bukan a cappella dengan canon lima suara, tapi lagunya sama. Tepatnya sama-sama sumbang, tapi bagi para biduan itu indah (dan ekspresif) banget, penuh penghayatan.
“Kalo ke Carrefour apa Hero gitu, trus dia tahu kalo yang bakalan bayar saya, busyet dah, ambil belanjaan banyak banget. Pernah dia nyesel waktu tiba-tiba saya yang gesek, sampe bilang, ‘Tau gitu aku tadi belanja banyak, Mas!’,” ungkap Plekthowanto.
Semua tertawa. Dan secara bergantian mengalirlah kesaksian — dari soal bayar makan sampai belanja buku, yang intinya suami dapat beban lebih besar.
Aku nyeletuk, “Wah aku jadi takut married kalau caranya gini.” Maklum bujangan, Paling muda pula.
“Begini Nak,” kata sang penanggap-dan-pemancing dengan sok bijak sekaligus sok tua, “nggak usah takut nikah; yang penting di rumah jinak tapi di luar galak, di rumah selalu tanggung jawab tapi di luar selalu jadi alap-alap.”
Apa benar ???sebanding??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar