Fenomena maraknya gerakan “Aliran Sesat” keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini menarik untuk dikaji. Berikut ini saya postingkan lagi tulisan Pak Dr. Haidar Bagir, yang mungkin bisa sedikit menjelaskan mengenai fenomena tersebut, termasuk Isue Jamaah al-Qiyadah al-Islamiyah-ya Ahmad Musadeq, yang mengaku sebagai Rasul Tuhan terakhir.
Kembalinya yang suprarasional dan supranatural di abad posmo ini barangkali adalah salah satu di antara – meminjam istilah John Naisbitt – “paradoks global”. Jika mengikuti ramalan para filosof, sosiolog, atau antropolog yang menulis tentang agama, seperti Marx, Nietsche,Comte, Durkheim, Weber, Kahn, atau Sorokin, dan banyak lagi – maka seharusnya yang supranatural sudah lama pupus dari bumi manusia ini. Tapi, bukan hanya agama dan spiritualitas — apakah ia disebut mistisime, aliran New Age, atau Frontier Aquarian — ribuan organisasi kultus (cultic organizations) pun menjamur di seluruh bagian dunia. Kalau saya tak salah ingat, pada tahun 1974 saja Alvin Toffler telah mencatat bermunculannya lebih dari 4000-an paguyuban seperti ini di Amerika saja. Apa pasal?
Jawabannya bisa beragam. Yang paling bersimpati terhadap agama dan spiritualitas akan merujuk kepada apa yang diyakini sebagai fitrah spiritual manusia. Digebah-gebah seperti apa pun, diiming-iming dengan berbagai kenikmatan-duniawi selezat apa pun, ia tetap bercokol juga. Malah lebih kokoh lagi. William James – psikolog Amerika awal abad 20 yang disebut-sebut sebagai penganut “empirisisme- radikal” – adalah di antara yang mau bersusah-payah memahami dan mem-verifikasi” pengalaman religius demi membuktikan sifat fitri spiritualitas manusia ini. Juga Jung, Maslow, Alport. Yang lain mencari jawab pada “tirani” individualisme modern, impersonalitas teknologi maju, dan ketergesaan hidup yang diakibatkannya – hal-hal yang, pada gilirannya, mendorong orang untuk mencari kehangatan dalam pengalaman personal keagamaan. Ada juga yang mendiagnosanya sebagai semacam tetirah penuh nostalgia ke masa lampau yang, konon, memang menyusun bahan dasar psikologi manusia. Sedemikian, sehingga, bahkan sosiolog niragama sekelas Peter Berger akhirnya “dipaksa” menerbitkan The Desecularization of the World untuk merekam dan menjelaskan fenomena paradoksikal ini.
Kenyataannya, sudah lebih dari seabad lalu di negeri-negeri Barat-modern berkembang apa yang disebut sebagai Tradisionalisme. Istilah Tradisi yang menyusun kata ini merujuk kepada konsep yang menyatakan bahwa semua agama otentik berasal dari satu Tradisi Primordial. Maka, Tradisionalisme adalah sebuah faham yang berupaya untuk mengungkap Prinsip-prinsip pemersatu yang mendasari berbagai tradisi (agama) dunia. Tradisionalisme modern didirikan oleh filosof Prancis Rene Guenon (1886-1951). Di antara para tradisionalis lain termasuk para pemikir terkemuka seperti Julius Evola, Frithjof Schuon, Ananda K. Coomaraswamy, Lord Northbourne, Titus Burkhardt, Martin Lings, Seyyed Hossain Nasr, Whitall Perry, Robin Waterfield, Arthur Versluis, R.A. Schwaller deLubicz, dan William Stoddart. Mircea Eliade, Huston Smith, Jacob Needleman, Alain Danielou, and Joseph Campbell dapat pula disebut sebagai tokoh-tokoh yang bersimpati kepada faham ini.
Rene Guenon adalah seorang filosof Prancis yang sempat bekerja pada Institut Katolik di negeri itu, kemudian masuk Islam dan menggunakan nama Syaikh Abdul Wahid Yahya, dan belakangan pindah ke Kairo pada tahun 1930 hingga meninggal di sana 20 tahun kemudian. Faham Tradisionalisme itu sendiri berasal dari Perenialisme, sebuah aliran keagamaan dan filosofis yang didirikan di Florence pada masa Renesans.Memang, perenialisme Renesans meyakini bahwa seluruh agama dunia adalah ekspresi-ekspresi dari satu agama perenial asli, yang telah hilang. Agama perenial inilah yang dirujuk sebagai tradisi dalam Tradisionalisme itu.
Problem terbesar dari Tradisionalisme ini, sebagaimana diungkapkan oleh para kritikusnya, adalah absennya sikap kritis terhadap agama-agama, berlawanan dengan kritik-kerasnya terhadap modernisme, digantikan dengan kelonggaran nyaris tanpa batas terhadap data agama yang mana pun. Sikap ini membawa sedikitnya tiga konsekuensi- berkaitan yang tidak diharapkan. Pertama, kecenderungan sinkretik Kedua, adanya pembacaan yang bersifat selektif terhadap agama-agama demi mendapatkan unsur-unsur yang bisa dilihat sebagai sama di dalam semua agama. Dan, ketiga, kecenderungan untuk menerima unsur-unsur kultus primitif yang menandai agama-agama atau kepercayaan- kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya messianisme. Di luar itu, sejalan dengan kritik-kerasnya terhadap modernisme, agama perenial berpotensi mempromosikan irasionalitas dan, sebagai gantinya, memujikan perolehan kebenaran lewat semacam ilham, wangsit, atau wahyu yang tak bisa diverifikasi secara publik.
Konon, salah satu manifestasi cultic tradisionalisme ini muncul dalam tarikat yang dikembangkan oleh salah seorang murid Guenon, yakni Fritjof Schuon. Schuon awalnya adalah seorang disainer-tekstil dan visioner keturunan Franco-Swiss yang belakangan tertarik pada perenialisme. Mulai dengan bergabung dalam Tarikat Alawiyyah yang didirikan oleh Syaikh ’Alawi di Marokko, Fritjoff Schuon mendirikan sebuah Tarekat sendiri yang bernama Maryamiyyah di Amerika serikat, setelah kepindahannya ke negeri ini. Meski dibantah oleh para pengikut dan simpatisannya, dikabarkan bahwa tarikat yang berporos pada kepribadian Maryam (ibu Nabi ’Isa) ini memperkenalkan berbagai ritus yang ”aneh-aneh” termasuk dansa suku Indian, dan juga upacara yang mengharuskan para pesertanya bertelanjang badan. Akibat tuduhan ini, Schuon sempat digelandang polisi AS.
Sayangnya, kalaupun berita mengenai Schuon ini ternyata tidak benar, tersedia cukup contoh manifestasi perenialisme yang di dalamnya unsur-unsur kultus primitif ini tampil dominan. Kelompok ”Kerajaan Surga” Lia Aminuddin, tampaknya mencocoki penggambaran tentang gerakan agama perenial modern ini. Lepas dari apakah Lia dan kelompoknya mengikuti perkembangan gerakan internasional ini, kenyataannya ia menyebut diri dan pengikutnya sebagai penganut agama perenial semacam ini (Lihat Danarto, ”Sekadar Catatan tentang Lia Aminuddin”, TEMPO, …..). Di dalamnya ada kultus terhadap pemimpin yang dipercayai menerima wahyu dan diselimuti aura messianisme. Irrasionalitas, betapa pun atasnya diupayakan penjelasan-penjelas an apologetik, juga amat dominan. Hal ini antara lain tampil dalam bentuk penyandaran bukti kebenaran kepercayaan kelompok ini kepada keajaiban-keajaiban atau mu’jizat-mu’jizat yang diklaim telah diproduksi oleh Lia Aminuddin. Yang membedakan kelompok Lia dengan perenialisme a la Guenon atau Schuon adalah absennya wawasan dan elaborasi filosofis yang amat sophisticated.dalam kelompok yang disebut belakangan dalam kelompok yang dsebut terdahulu. Bahkan kritikus yang amat keras terhadap perenialisme mazhab Guenon ini, seperti Legenhausen, (Why I am not a Traditionalist) tak urung memuji kecanggihan kritik-kritik mereka terhadap modernisme serta keluasan wawasan mereka mengenai agama-agama dan berbagai aliran filsafat yang terkait dengannya.
Alhasil, kekuatan apakah yang sesungguhnya bekerja atas Lia Aminuddin? Yang paling mudah adalah mendiagnosa gejala ini sebagai sekadar kesurupan (possessed), produk delusi Freudian, atau penyimpangan- penyimpangan kognitif lainnya. Meski kemungkinan seperti ini jelas tak bisa segera disisikan, repotnya hujatan seperti ini selalu bisa ditudingkan kepada semua keyakinan keagamaan. Mengingat, kalau pun tidak irasional, unsur-unsur esensial dalam keyakinan keagamaan bersifat suprarasional dan mengandung juga hal-hal yang bersifat supranatural. Kenyataannya, memang, semua keyakinan keagamaan merupakan produk pengalaman religius yang subyektif. Padahal, (orang cenderung mengira bahwa) tak ada jalan untuk memberlakukan verifikasi publik atasnya. Bisa juga gejala ini dinisbahkan kepada kecupatan wadah spiritual untuk menerima pengalaman-pengalam an religius yang meng-”kudeta”. Sehingga, produknya adalah semburan ungkapan-ungkapan yang tak terkontrol (Meski mungkin akan banyak orang berkeberatan terhadap penjajaran Lia dengan para tokoh Sufi — yang biasa disebut sebagai Sufi ”mabuk” (sakran) — ungkapan-ungkapan seperti ini dalam terminologi tasawuf disebut sebagai syathahat atau syath-hiyat. Kenyataannya, pengalaman religius bisa, dan telah, terjadi pada banyak orang ”biasa”. Menurut penelitian, pemicunya bisa macam-macam : mulai pengaruh apresiasi karya seni, pemandangan dan keheningan alam, pelaksanaan ritual-ritual agama, hingga sekadar depresi).
Lalu, apakah menangkap Lia Aminuddin merupakan pemecahan yang bijaksana? Mengadilinya lebih problematik lagi – kecuali jika bisa dibuktikan adanya gangguan konkret yang ditimbulkannya, dan bukan sekadar ketaksepakatan orang banyak terhadap keyakinan kelompok ini (bagaimana bisa mengadili keyakinan subyektif?) Yang pasti, tindakan seperti ini hanyalah menyentuh puncak dari gunung es irasionalisme modern yang cenderung makin menggejala. Di belakang Lia Aminuddin, masih banyak, dan mungkin bertambah banyak, kelompok-kelompok kultus semacam ini. Kiranya hanyalah penanaman kemampuan berpikir rasional dan pengembangan penafsiran keagamaan yang mempunyai sifat samalah yang dapat mengurus dan mengatasi gejala ini. Dalam kaitan ini, berbagai acara ”mistik” dan ”takhyul-keagamaan” , serta praktik-praktik penyembuhan sejenis yang dikait-kaitkan dengan agama sama sekali tak membantu.
Namun, yang juga harus diingat, hendaknya kebutuhan akan rasionalitas ini tak mendorong kita untuk mencari pemecahan yang mudah dan potong kompas sedemikian, sehingga ia melucuti agama dari sifat-asasinya sebagai sumber dari kehangatan dan ketenteraman spiritual. Hal seperti ini pernah dicoba dilakukan, dan gagal, oleh proyek rasionalisme abad pencerahan atau pun modernisme religius yang puritanistik Kedua-duanya harus hadir bersama-sama dalam manifestasi agama yang sejalan dengan kebutuhan manusia dan peradabannya di masa depan : rasionalitas dan tawaran kehangatan spiritual. Dan bahan-bahannya bukannya sama sekali tak ada. Sekadar contoh, dalam Islam orang bisa belajar banyak dari tasawuf, khususnya yang filosofis (’irfan) atau pun filsafat iluministik (israqiyah atau hikmah). Dalam aliran-aliran mistiko-filosofis seperti ini, produk pengalaman religius didedahkan kepada prinsip verifikasi logis (koherensi).
Inilah sebuah pemecahan yang tampaknya tak memuaskan kaum ”liberal” yang menghendaki agama yang sepenuhnya rasional dan bebas dari misteri-misteri suprarasional dan supranatural. Apa boleh buat, tampaknya manusia – entah karena fitrahnya, atau sekadar kebutuhan-survival-nya – memang memerlukan lebih dari sekadar agama rasional yang kering, yang tak mampu menghangatkan jiwa. Dan jika keperluan ini tak terpuasi maka, persis seperti disinyalir Carl G. Jung, dikhawatirkan yang akan menyeruak dari kehidupan manusia adalah kekosongan makna, atau justru keterpurukan ke dalam irasionalitas religius.
oleh Haidar Bagir (Doktor di bidang Filsafat, salah satu pendiri dan dosen ICAS Jakarta, Pendiri Pusat Kajian Tasawuf Positif IIMaN, serta penulis Buku Saku Tasawuf dan Buku Saku Filsafat Islam.)
Fenomena ALIRAN SESAT
Label: Lain-lain, Spiritual |Diposting oleh indra Tgl 8.11.07
Suluk-suluk Sunan Bonang 1
Label: Budaya |Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
***bersambung***
Diposting oleh indra Tgl 8.11.07
Sastra Jawa
Label: Budaya |Jawa Timur adalah propinsi tempat kediaman asal dua suku bangsa besar, yaitu Jawa dan Madura, dengan tiga sub-etnik yang memisahkan diri dari rumpun besarnya seperti Tengger di Probolinggo, Osing di Banyuwangi dan Samin di Ngawi. Dalam sejarahnya kedua suku bangsa tersebut telah lebih sepuluh abad mengembangkan tradisi tulis dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pengalaman estetik mereka.
Kendati kemudian, yaitu pada akhir abad ke-18 M, masing-masing menggunakan bahasa yang jauh berbeda dalam penulisan kitab dan karya sastra – Jawa dan Madura – akan tetapi kesusastraan mereka memiliki akar dan sumber yang sama, serta berkembang mengikuti babakan sejarah yang sejajar.
Pada zaman Hindu kesusastraan mereka satu, yaitu sastra Jawa Kuno yang ditulis dalam bahasa Kawi dan aksara Jawa Kuno. Setelah agama Islam tersebar pada abad ke-16 M bahasa Jawa Madya menggeser bahasa Jawa Kuno. Pada periode ini dua aksara dipakai secara bersamaan, yaitu aksara Jawa yang didasarkan tulisan Kawi dan aksara Arab Pegon yang didasarkan huruf Arab Melayu (Jawi).
Pigeaud (1967:4-7) membagi perkembangan sastra Jawa secara keseluruhan ke dalam empat babakan:
(1) Zaman Hindu berlangsung pada abad ke-9 - 15 M. Puncak perkembangan sastra pada periode ini berlangsung pada zaman kerajaan Kediri (abad ke-11 dan 12 M, dilanjutkan dengan zaman kerajaan Singosari (1222-1292 M) dan Majapahit (1292-1478 M);
(2) Zaman Jawa-Bali pad abad ke-16 - ke-19 M. Setelah Majapahit diruntuhkan kerajaan Demak pada akhir abad ke-15 M, ribuan pengikut dan kerabat raja Majapahit pindah ke Bali. Kegiatan sastra Jawa Kuno dilanjutkan di tempat tinggal mereka yang baru ini; (3) Zaman Pesisir berlangsung pada abad ke-15 -19 M. Pada zaman ini kegiatan sastra berpindah ke kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam;
(4) Zaman Surakarta dan Yogyakarta berlangsung pada abad ke-18 - 20 M. Pada akhir abad ke-18 M di Surakarta, terjadi renaisan sastra Jawa Kuno dipelopori oleh Yasadipura I. Pada masa itu karya-karya Jawa Kuno digubah kembali dalam bahasa Jawa Baru. Lebih kurang tiga dasawarsa kemudian, karya Pesisir juga mulai banyak yang disadur atau dicipta ulang dalam bahasa Jawa Baru di kraton Surakarta.
Perkembangan sastra Jawa
Khazanah sastra zaman Hindu dan Islam Pesisir – dua zaman yang relevan bagi pembicaraan kita — sama melimpahnya. Keduanya telah memainkan peran penting masing-masing dalam kehidupan dalam masyarakat Jawa dan Madura. Pengaruhnya juga tersebar luas tidak terbatas di Jawa, Bali dan Madura. Karya-karya Pesisir ini juga mempengaruhi perkembangan sastra di Banten, Palembang, Banjarmasin, Pasundan dan Lombok (Pigeaud 1967:4-8). Di antara karya Jawa Timur yang paling luas wilayah penyebarannya ialah siklus Cerita Panji. Versi-versinya yang paling awal diperkirakan ditulis menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15 M (Purbatjaraka, 1958). Cerita mengambil latar belakang di lingkungan kerajaan Daha dan Kediri. Versi roman ini, dalam bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, Melayu, Siam, Khmer dan lain-lain, sangat banyak. Dalam sastra Melayu terdapat versi yang ditulis dalam bentuk syair, yang terkenal di antaranya ialah Syair Ken Tambuhan dan Hikayat Andaken Penurat.
Tetapi bagaimana pun juga yang dipandang sebagai puncak perkembangan sastra Jawa Kuno ialah kakawin seperti Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (Mpu Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna), Arjunawijaya (Mpu Tantular), Lubdhaka (Mpu Tanakung); atau karya-karya yang ditulis lebih kemudian seperti Negarakertagama (Mpu Prapanca), Kunjarakarna, Pararaton, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Sastra Parwa (serial kisah-kisah dari Mahabharata) dan lain-lain (Zoetmulder 1983: 80-478). Apabila sumber sastra Jawa Kuno terutama sekali ialah sastra Sanskerta, seperti diperlihatkan oleh puitika dan bahasanya yang dipenuhi kosa kata Sanskerta; sumber sastra Pesisir ialah sastra Arab, Parsi dan Melayu. Bahasa pun mulai banyak meminjam kosa kata Arab dan Parsi, terutama yang berhubungan dengan konsep-konsep keagamaan.
Kegiatan sastra Pesisir bermula di kota-kota pelabuhan Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak dan Jepara. Di kota-kota inilah komunitas-komunitas Muslim Jawa yang awal mulai terbentuk. Mereka pada umumnya terdiri dari kelas menengah yang terdidik, khususnya kaum saudagar kaya. Dari kota-kota ini kegiatan sastra Pesisir menyebar ke Cirebon dan Banten di Jawa Barat, dan ke Sumenep dan Bangkalan di pulau Madura. Pengaruh sastra Pesisir ternyata tidak hanya terbatas di pulau Jawa saja. Disebabkan mobilitas para pedagang dan penyebar agama Islam yang tinggi, kegiatan tersebut juga menyebar ke luar Jawa seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin dan Lombok. Pada abad ke-18 dan 19 M, dengan pindahnya pusat kebudayaan Jawa ke kraton Surakarta dan Yogyakarta, kegiatan penulisan sastra Pesisir juga berkembang di daerah-daerah Surakarta dan Yogyakara, serta tempat lain di sekitarnya seperti Banyumas, Kedu, Madiun dan Kediri (Pigeaud 1967:6-7).
Khazanah sastra Pesisir tidak kalah melimpahnya dibanding khazanah sastra Jawa Kuno. Khazanah tersebut meliputi karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Madya, Madura dan Jawa Baru, dan dapat dikelompokkan menurut jenis dan coraknya sebagaimana pengelompokan dalam sastra Melayu Islam, seperti berikut. (1) Kisah-kisah berkenaan dengan Nabi Muhammad s.a.w; (2) Kisah para Nabi, di Jawa disebut Serat Anbiya’. Dari sumber ini muncul kisah-kisah lepas seperti kisah Nabi Musa, Kisah Yusuf dan Zuleikha, Kisah Nabi Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Sulaiman, Yunus, Isa dan lain-lain; (3) Kisah Sahabat-sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib; (4) Kisah Para Wali seperti Bayazid al-Bhiztami, Ibrahim Adam dan lain-lain; (5) Hikayat Raja-raja dan Pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah, Muhammad Hanafiah, Johar Manik, Umar Umayya dan lain-lain. Dalam sastra Jawa, Madura dan Sunda disebut Serat Menak, serial kisah para bangsawan Islam; (6) Sastra Kitab, uraian mengenai ilmu-ilmu Islam seperti tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu fiqih, usuluddin, tasawuf, tarikh (sejarah), nahu (tatabahasa Arab), adab (sastra Islam) dan lain-lain, dengan menggunakan gaya bahasa sastra; (7) Karangan-karangan bercorak tasawuf.
Dalam bentuk puisi karangan seperti itu di Jawa disebut suluk. Tetapi juga tidak jarang dituangkan dalam bentuk kisah perumpamaan atau alegori. Dalam bentuk kisah perumpamaan dapat dimasukkan kisah-kisah didaktis, di antaranya yang mengandung ajaran tasawuf; (7) Karya Ketatanegaraan, yang menguraikan masalah politik dan pemerintahan, diselingi berbagai cerita; (8) Karya bercorak sejarah; (9) Cerita Berbingkai, di dalamnya termasuk fabel atau cerita binatang; (10) Roman, kisah petualangan bercampur percintaan; (11) Cerita Jenaka dan Pelipur Lara. Misalnya cerita Abu Nuwas (Ali Ahmad dan Siti Hajar Che’ Man:1996; Pigeaud I 1967:83-7 ).
Yang relevan untuk pembicaraan ini ialah no. 6, karangan-karangan bercorak tasawuf dan roman yang sering digubah menjadi alegori sufi. Karangan-karangan bercorak tasawuf disebut suluk dan lazim ditulis dalam bentuk puisi atau tembang. Jumlah karya jenis ini cukup melimpah. Contohnya ialah Kitab Musawaratan Wali Sanga, Suluk Wali Sanga, Mustika Rancang, Suluk Malang Sumirang, Suluk Aceh, Suluk Walih, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabris, Suluk Jatirasa, Suluk Johar Mungkin, Suluk Pancadriya, Ontal Enom (Madura), Suluk Jebeng dan lain-lain. Termasuk kisah perumpamaan dan didaktis ialah Sama’un dan Mariya, Masirullah, Wujud Tunggal, Suksma Winasa, Dewi Malika, Syeh Majenun (Pigeaud I: 84-88). Agak mengejutkan juga karena dalam kelompok ini ditemukan kisah didaktis berjudul Bustan, yang merupakan saduran karya penyair Parsi terkenal abad ke-13 M, Syekh Sa’di al-Syirazi, yang petikan sajak-sajaknya dalam bahasa Persia terdapat pada makam seorang muslimah Pasai, Naina Husamuddin yang wafat pada abad ke-14M.
Dalam khazanah sastra Pesisir juga didapati karya ketatanegaraan dan pemerintahan seperti Paniti Sastra dan saduran Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari (1603) dari Aceh. Saduran Taj al-Salatin dalam bahasa Jawa ini ditulis dalam bentuk tembang. Karya-karya kesejarahan tergolong banyak. Di antaranya ialah Babad Giri, Babad Gresik, Babad Demak, Babad Madura, Babad Surabaya, Babad Sumenep, Babad Besuki, Babad Sedayu, Babad Tuban, Kidung Arok, Juragan Gulisman (Madura) dan Kek Lesap (Madura). Ada pun roman yang populer di antaranya ialah Cerita Mursada, Jaka Nestapa, Jatikusuma, Smarakandi, Sukmadi, sedangkan dari Madura ialah Tanda Anggrek, Bangsacara Ragapadmi dan Lanceng Prabhan (Ibid). Karya-karya Pesisir lain dari Madura yang terkenal ialah Caretana Barakay, Jaka Tole, Tanda Serep, Baginda Ali, Paksi Bayan, Rato Sasoce, Malyawan, Serat Rama, Judasan Arab, Menak Satip, Prabu Rara, Rancang Kancana, Hokomollah, Pandita Rahib, Keyae Sentar, Lemmos, Raja Kombhang, Sesigar Sebak, Sokma Jati, Rato Marbin, Murbing Rama, Barkan, Malang Gandring, Pangeran Laleyan, Brangta Jaya dan lain-lain.
Penulis-penulis Pesisir yang awal pada umumnya ialah para wali dan ahli tasawuf terkemuka seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Panggung dan Syekh Siti Jenar. Yang amat disayangkan ialah karena dalam daftar yang terdapat dalam katalog-katalog naskah Jawa Timur, nama pengarang dan penyalin teks jarang sekali disebutkan. Namun sejauh mengenai teks-teks dari Madura, terdapat beberapa nama pengarang terkenal pada abad ke-17 – 19 M yang dapat dicatat. Misalnya Abdul Halim (pengarang Tembang Bato Gunung), Mohamad Saifuddin (pegarang Serat Hokomolla dan Nabbi Mosa), Ahmad Syarif, R. H. Bangsataruna, Sasra Danukusuma, Umar Sastradiwirya dan lain-lain (Abdul Hadi W. M. 1981).
Kajian terhadap karya Jawa Kuna telah banyak dilakukan baik oleh sarjana Indonesia maupun asing, sedangkan karya Pesisir masih sangat sedikit yang memberi perhatian. Padahal pengaruh karya Pesisir itu tidak kecil terdahap kebudayaan masyarakat Jawa Timur. Pengaruh tersebut meliputi bidang-bidang seperti metafisika, kosmologi, etika, psikologi dan estetika, karena yang diungkapkan karya-karya Pesisir itu mencakup persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam bidang-bidang tersebut.
Original post by Dr.Abdul Hadi W. M.
(Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia)
Diposting oleh indra Tgl 8.11.07
Mitos Penguasa Laut Selatan
Label: Supranatural |
Konsep Bahari Defensif Kerajaan Mataram
mirunggan kagem eyang resink 1)
ugi kagem ita, yuyud, mas wahana, para kadang ingkang
kesengsem
Konsep penyatu-ragaan Senapati - Lara Kidul: konsep politik
SEKITAR tujuh kilometer arah selatan desa Pleret Kotagede, terletak desa Ngrasawuni. Di arah timur dan timur laut desa ini konon dahulu menjadi tempat Sang Senapati dan Nyai Lara berkencan. Bekas bekas yang masih diingat dalam cerita tutur orang ialah: gua dan bukit yang disebut Gunung Payung. Di bukit ini terdapat dua makam. Yang satu makam kuda sembrani, kuda bersayap kendaraan Senapati, yang bekas telapak nya tercetak pada "batu gilang" di dekat situ. Yang lain "makam kama", yaitu makam sperma Senapati yang tetes di tanah di bukit itu.
Kesatu ragaan Pandawa Pandu dengan Pandawa Lelembut di Astina sejatinya merupakan kesatu ragaan politik. Begitu juga perkawinan Lara Kidul dengan Senapati pada dasarnya perkawinan politik. Senapati memperoleh kedaulatan atas wilayah Mataram, di samping Laut Selatan yang tak berbatas itu. Ini sekaligus merupakan satu deklarasi politik Sutawijaya di depan Adiwijaya, ayah angkatnya. Deklarasai, bahwa Mataram bukan penerus Pajang, baik de facto maupun de iure. Dengan itu pula,
sekaligus untuk "menggertak" lawan lawan nya, Senapati memamerkan kelebihan lelembut istrinya itu di depan segenap makhluk halus yang tak terbilang banyak nya:
'Gung pra peri perayangan ejim
sumiwi Sang Sinom
Prabu Rara yekti gedhe dhewe.
(kutipan dari "Babad Nitik")
saya terjemahkan:
segenap makhluk halus jin
bersembah pada Sang Ratu
yang besar tak bertara
Saya sependapat dengan Ben Anderson yang melihat benteng (saya tambah: juga "jagang" atau parit) di sekeliling kraton Yogya dan Solo, terutama bukan sebagai barikade terhadap tentara musuh, tapi lebih merupakan pernyataan tentang garis batas antara "krama" dan "ngoko", antara "priyagung" dan "wong cilik".*
Walaupun begitu terdapat beda, yang seperti bumi dan langit, antara dasar konsepsi pada lakon carangan "Babad Alas Wanamarta" dengan legenda "Babad Alas Mentaok". Jika pada yang pertama bersifat materiel, pada yang kedua bersifat im-
materiel. Yang pertama kenyataan dihadapi sebagai dan dengan kenyataan, yang kedua kenyataan dihadapi sebagai dan dengan impian. Maka dari itu dunia pedalangan ditutup dengan "Bratayuda Jaya Binangun", dan berakhir dengan kemenangan pihak Pandawa terlepas berapa besar pun kurban yang harus jatuh. Sedangkan babad Mataram, yang mungkin bisa dipandang sebagai "perwakilan Jawa" pada jaman nya, sejak itu tidak
pernah mengenal lagi perang untuk sesuatu nilai. Tidak pernah lagi berinisiatif ofensif. Impian nya pun impian lesu tentang Ratu Adil, yang tak berdarah dan tak berdaging, dan dibangun di atas seribu satu ramalan Jayabaya dan semacamnya, atau
tafsir tafsir yang dipaksakan atas "Jaka Lodang" dan "Kalatida" dari Ranggawarsita. Tidak bisa lain, karena keagungan kerajaan Jawa memang sudah habis bersama dengan
tahun candrasangkala jatuhnya Majapahit: "sirna hilang kartaning bumi" (hilang lenyap keagungan negri).
Mengusut latar belakang mitos
ENTAH lidah atau tangan siapa yang pertama tama mendoktrin kan mitos Lara Kidul itu. Tapi pastilah dari lidah atau tangan yang memang memenuhi syarat syarat kepujanggaan. "Wedatama", yang mem-p4-kan 6) keagungan Senapati berikut mitos Lara Kidul, berasal dari paro sampai perempat terakhir abad ke-19. Kira kira satu abad sebelumnya, tepat nya 11 November 1743, VOC memang telah menodong tanda tangan Paku
Buwana II di pembaringan sakit nya. Dan dari surat todongan itu (agaknya semacam Supersemar Suharto), didapat lah hasil hasil oleh VOC:
(1) sepanjang pantai utara Jawa, dan wilayah sejauh 6 Km
ke pedalaman dikuasai VOC;
(2) semua Bupati pesisir utara Jawa, sebelum mulai
berfungsi, harus bersumpah setia kepada VOC.
Itulah angka tahun ketika kerajaan Jawa secara definitif kehilangan kekuasaan nya atas laut utara. Dan tahun itu (1743), kira kira hanya selang dua dasawarsa saja dari "Babad Karangbolong". Oleh karenanya sejak itu, orang mengadakan
selamatan dan upacara, setiap kali sebelum turun ke gua, untuk mengutip sarang burung. Selamatan dan upacara yang dipersembah kan bagi Dewi Lampet. Upacara ini disertai dengan pergelaran wayang kulit yang mengambil lakon "Dewi Lampet", sebuah nama dan versi lain dari tokoh Dewi Laut Selatan yang satu itu juga: Nyai Lara Kidul (baca: "Histoire de Dewi Lampet: Le Mythe de la Deesse de la Mer du Sud a Karang Bolong" , Claude Guillot; Archipel 24/1982; hal. 101-06).
Tapi semuanya itu tentu tidak berarti bahwa mitos Lara Kidul ini mulai (di)timbul(kan) pada sekitar tahun tahun tersebut. Jauh jauh hari pada senja riwayat Kerajaan Demak, wawasan tentang keadaan dan pengarahan politik telah dibisik
kan Sunan Kalijaga kepada Mas Karebet alias Jaka Tingkir, kelak Sultan Adiwijaya di Pajang. Tanpa menyebut masalah armada dagang berikut ancaman meriam meriam Spanyol,
Portugis, Belanda dan Gujarat di laut utara [tapi wali yang arif ini pasti mencatat di ingatan nya dua kali pengalaman kekalahan Pati Unus di Malaka], diperintah nya Karebet: pertama, agar tidak mempertahankan Demak, tapi membangun
pusat bakal kerajaan nya di pedalaman; dan kedua, agar kerajaan nya kelak tidak bersandar pada para "dagang layar" di laut, tapi pada kaum "among tani". (baca: Atmodarminto, Babad Demak Jarwa, Penerbit "Pesat" 1954).
"Carilah bakal pusat kerajaan mu itu di dekat Prambanan,
di pinggir Kali Kuning sana!" Begitu kira kira nasihat
Kalijaga pada Mas Karebet. Tinggal kan Laut Utara, mundur dan
masuk ke pedalaman. "Arus sudah berbalik!" Kata Pramudya
Ananta Toer.
Revaluasi atas wawasan situasi objektif, yang
meninggalkan konsep wawasan nusantara bahari, diuji penjabaran nya terutama oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (1612-45). Tapi ternyata mengalami kegagalan. Dua kali ekspedisi ke Betawi dikirim (1628 dan 1629), dua kali pula gagal. Bukan saja sama
sama dedel duwel dengan VOC di Betawi (konon J.P. Coen berhasil dipenggal kepalanya oleh lasykar Mataram?), tapi juga harus menghadapi pemberontakan "golongan ketiga" yang sedang tumbuh di pedalaman Mataram. Pemicu pemberontakan ini, agaknya, jika kita mencermati dongeng rakyat "Pranacita - Rara Mendut", akibat semacam "krismon" yang dicoba hendak diatasi dengan (karena belum ada IMF!) politik perpajakan. Begitu juga
oleh sabotase besar besaran dari para "bupati pesisir", sepanjang barat Semarang sampai Rengasdengklok. Sayang "benang merah" tutur Jawa ini kurang diangkat, baik oleh YB. Mangunwijaya maupun oleh Ami Prijono, masing masing dalam
novel dan film nya tentang Rara Mendut.
Lahir dari konsep defensif
G.J.Resink benar, mensinyalir mitos Lara Kidul ini,
dengan menghubungkan nya dengan armada armada Spanyol, Portugis dan Belanda yang dalam masa itu sudah malang melintang di Laut Jawa ("Mers Javanaises"; Archipel 24/1982, hal. 97-100). Namun demikian ini tentu saja tidak berarti, bahwa kepercayaan pada ruh penguasa laut belum ada di Jawa sebelum masa itu. Sebutan "nyai" itu sendiri, bentuk feminin untuk "kyai", sejenis honorefik prefiks bagi orang tua yang
dimuliakan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Termasuk dalam yang akhir ini, terutama yaitu arwah "bahureksa" yang di lain tempat disebut "pamali" (Buru), "danyang" (tentu dari "da" dan "hyang"), dan lain lain.
Nyai Lara Kidul konon berparas cantik. Beda dengan Durga (Umayi) atau si Janda dari desa Girah, Calon Arang. Tapi wataknya? Jelas, tidak pernah melempar senyum barang secercah pada "kawula cilik". "Lampor" nya bikin takut anak anak. Ia
juga luar biasa pencemburu pada perempuan tani di desa. Jika gadis gadis desa dan gunung itu, satu kali setahun, pada kesempatan hari raya Lebaran ingin bergembira ria di laut, bukan main banyak pantangan mereka. Tidak boleh berbaju warna
"gadung", "gadung melati", "jingga", dan sebagainya; tidak boleh berkain "poleng alit", "teluh watu" dan semacam nya. Juga pada penduduk desa umumnya. Ini terjadi sangat hebat, misalnya, di sekitar tahun 1956. Dihamuk nya rakyat
Gunungkidul yang miskin tak berdaya itu. Gelombang Laut Selatan bergulung gulung menghempas pantai, sambil melepas berjuta juta balatentara yang berupa tikus tikus. Dan dimangsanya segala apa saja. Bukan saja tumbuhan dan hasil bumi, bahkan ternak dan bayi anak anak manusia juga dimakan.
Lalu, sekali lagi terjadi pada tahun 1946. Ketika itu Nyai Lara Kidul memerlukan tambahan balatentara, guna memerangi tentara Nica yang musuh Mataram, dan juga musuh Republik. Maka untuk rekrutering balatentara lelembut itu, dibunuhinya
rakyat dengan menyebar wabah pes tanpa pardon! (Yuyud! Ini positif atau negatif, coba? Ironis ya Mas Wah? Jika mitos telah berhasil ditanamkan.)
Penutup
Menghadapi mitos, legenda, saga dan sebangsanya, bukan lah "who's who" nya yang penting. Tapi "mengapa" nya, lalu "bagaimana" nya. Di situ lah soal nya. Maka itu, menurut hemat saya, bukan soal beratus nama dan beribu versi penuturan yang
masalah. Namun, karena terperangkap keasyikan mencari tahu "apa siapa" nya itu, orang terkadang lantas tergelincir berasyik masyuk di dalam "dichtung" kejadian nya saja. Bung Karno, dalam ceramah di Universitas Gajahmada (1954?) menyi- kapi legenda Nyai Lara Kidul ini dari konsep impian wawasan nusantara bahari. Juga di dalam
"Sarinah", diceritakannya tentang mitos laut bangsa bangsa Timur Tengah, yang mengandung kisah kisah perjuangan mereka dalam menunduk kan laut. Demikian juga Bima. Tak kurang gagah dan perkasa nya pula tokoh idola Bung Karno itu. Ada satu kali
ia memang kompromi dengan Nagaraja di Saptapratala. Tapi itu terjadi bukan lantaran Nagaraja berputri Nagagini yang jelita, melainkan karena keadaan darurat. Bahwa ia harus menyelamatkan empat saudara saudaranya dan Kunti, ibunya, dari pengejaran
Kurawa, sesudah kegagalan usaha pembunuhan dalam peristiwa
judi di Balai Sigalagala itu. Selebih nya paling tidak tiga kali Bima telah bertempur mati matian, dan berhasil mengalah kan tokoh tokoh bahureksa sakti: Hidimba (Arimba), raksasa penunggu pohon randu alas; dua raksasa kembar penunggu gunung;
dan seekor naga laut dalam kisah "Dewaruci". Konon kisah "Dewaruci" berasal dari jaman Mamenang (Isyanawikrama alias Empu Sindok), sekitar enam abad lebih tua dari jaman Mataran Senapati.
Kisah kisah perjuangan dan kemenangan anak manusia Jawa terhadap arwah bahureksa seperti itu, banyak terdapat baik dalam dunia wayang maupun dalam dongeng rakyat.
Adanya berbagai versi penuturan mitos tentang laut, menandakan juga adanya berbagai tokoh bahureksa laut di berbagai daerah kebudayaan. Tapi, beda dengan mitologi Hindu yang memandang laut sebagai laki laki (Dewa Waruna), di
Indonesia (seperti di Mesir) bahureksa laut mendapat bentuk sosok perempuan. Seperti halnya bumi, tanah dan air, laut merupakan unsur pengandung - pelahir - dan penyusui kehidupan.
Rakyat Buru selain mengenal Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar Teluk Kayeli, juga mempunyai tokoh Boki Ronja(ng), "pamali' atau bahureksa sungai Wai Apu.
Bentuk feminin itu barangkali juga karena, di hadapan langit, laut terletak di bawah. Dari dunia pedalangan sering kita dengar kata kata, diucap kan terhadap tokoh yang akan dikenai senjata pamungkas; "tumengaa Bapa Angkasa, tumungkula
Babu Pertiwi" (tengadah lah pada Bapa Langit, dan tunduk lah
pada Ibu Bumi". Gagasan pemikiran demikian, bahwa "bapa" (laki laki) adalah langit, dan "ibu" (perempuan) adalah bumi, sesuai dengan konsep susunan bangunan lingga dan yoni.
Kemanunggalan Mataram dan Laut Selatan adalah mutlak, karena Laut Utara tidak lagi memberi lebensraum. Kesatu- tubuhan Senapati - Lara Kidul adalah mutlak, karena itu ialah kesatuan nya antara langit dan bumi, antara lingga dan yoni.
Mitos Nyai Lara Kidul sebuah konsep yang mempunyai akar sejarah pada "Wahyu Majapahit", mempunyai dasar ideologi pada dua aspek "gender" dalam satu tubuh (bandingkan dengan sesaji "ardanareswari" di Bali), dan merupakan antropomorfi dari
wawasan bahari Kerajaan Mataram yang telah hilang.
_______________________________
1 Profesor (pensiun) G.J. Resink (Yogya 1911-Jakarta 1996).
Artikel ini ditulis dan disiarkan "Kompas Minggu" tahun 1982.
2 Dalam konsepsi Jawa, perempuan atau syakti ("sy" ini
mestinya "c cedille") yang maha hebat agaknya selalu
dilukiskan sebagai "mengerikan". Ingat: Sarpakenaka, Durga,
Calon Arang, sedikit banyak juga "Durga Umayi" YB
Mangunwijaya, dsb.; bandingkan dengan konsepsi Barat yang
sebaliknya: Maria, Aya Sofia dll. Kenapa begitu, ya!?
3 Perhatikan gelar ini: "panembahan" gelar yang biasa
disandang para wali, raja atau bangsawan tinggi, yang kuasa
atas bidang ruhani (agama) dan kenegaraan. Jadi boleh lah di
terjemahkan sebagai: Yang Suci Panglima Perang. Gelar ini
tampaknya timbul dari satu jaman, ketika "dua tangan" (ulama
dan raja) memegang "satu fungsi" yang bersegi kembar ibarat
"kupu tarung" (segi ruhani dan badani), yaitu (untuk Jawa
Tengah) di jaman kerajaan Demak; dan lebih melembaga di jaman
ketika "dwi fungsi' (agama dan politik) dipegang satu tangan,
yaitu sejak jaman Panembahan Senapti dan lebih tegas lagi
sejak Amangkurat.
4 Adat kepercayaan demikian terdapat pada banyak suku murba
(terjemahan saya untuk "primitif" yang di telinga saya
terdengar melecehkan), juga sementara suku di Irian dan Papua
Niugini.
5 Ruba, Ruang Bawah Tanah, diambil dari istilah yang dipakai o-
leh gerakan perlawanan bersenjata melawan pemerintahan rezim
$uharto tahun 1968 di sekitar Blitar Selatan. Ide sistem perta
hanan ini diambil dari pengalaman para pejuang Vietnam ketika
mereka melakukan ofensif milter mengepung benteng Dien Bien Phu
yang akhirnya membebaskan mereka dari penjajahan Prancis.
6 P4 istilah Orde $uharto "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila" tak lain istilah selubung untuk "indoktrinasi" atau
"brainwashing".
original post
Read More..
Diposting oleh indra Tgl 7.11.07
Serat Dewaruci
Label: Budaya, Spiritual, Supranatural |
Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
"angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.
Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia."Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras," begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
"Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man
Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man".Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .
Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.
Filosofi Dewa Ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:"Serat Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
Diposting oleh indra Tgl 7.11.07
TASAWWUF MODERN
Label: Spiritual |Selama ini, kebanyakan kita memahami tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll. Tasawuf lebih dicari orang dan ditujukan untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, di tengah pergulatan kehidupan duniawi yang tak tentu arah ini.Tasawuf menjadi sangat penting, karena bisa menjadi fundasi dasar bagi setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya.
Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam, harus dapat menyesuaikan di dunia modern ini karena kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik.
Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat materialisme-sekularisme ini terbukti pada akhirnya lebih bersifat destruktif ketimbang konstruktif bagi kemanusiaan – sebagaimana juga sudah sering dikritisi oleh beberapa sarjana Barat sendiri akhir-akhir ini (misalnya Anthony Giddens & Fritjof Capra). Tentu para cendikiawan Muslim lebih banyak yang mengkritisi paradigma budaya Barat.
Bila hal tersebut dibenturkan dengan agama,akan ditemukan masalah yang akut.Filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap absah (valid) ilmu pengetahuan yang semata-mata bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris & non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan (divine knowledge dan, atau Kitab Suci Allah SWT).
Paradigma materialistic-mekanistik yang berdasarkan metode Cartesian dan Newtonian (hipotesis deduktif-eksperimental-induktif) telah menyebabkan reduksi atas kenyataan hanya menjadi sekedar fakta-fakta materialisme-reduksionistik. Paradigma ini menyebar dan mempengaruhi berbagai cabang disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga kehidupan, bahkan kesadaran manusia, direduksi hanya menjadi gerak-gerak material belaka. Misalnya, Adam Smith dalam bidang ekonomi berbicara tentang prinsip ‘mekanisme pasar’; Charles Darwin dalam Biologi berbicara tentang ‘mekanisme evolusi’, dan Sigmund Freud dalam psikologi berbicara tentang ‘mekanisme pertahanan diri/psikis’. Paradigma mekanistik-materialistik telah mendepak Tuhan dari wacana keilmuan dan mempromosikan sekularisme.
Armahedi Mahzar mengatakan bahwa, paradigma Cartesian-Newtonian tersebut, walaupun telah sukses meningkatkan kesejahteraan material umat manusia, namun akhirnya menggiring umat manusia ke dalam kubangan krisis multidimensional dalam kehidupannya, seperti penghancuran masal oleh militer akibat penggunaan senjata nuklir, kimia, biologi militer; kerusakan lingkungan hidup oleh polusi, degradasi, exploitation-depletion (eksploitasi sampai habis menipisnya Sumber Daya Alam); fragmentasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi, fragmentasi & konflik sosial akut, keterasingan psikologis manusia dari hal yang alami, sosial dan tehnikal.
Di sinilah pentingnya tasafuwwuf modern, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan 3 prinsip: korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran.
Pengertian Tasawwuf (‘Irfan )
Istilah Tashawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah symbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan).
Konsep tasawuf mempunyai padanan istilah lain yang maknanya sama yaitu ‘Irfan (gnosis). Istilah Irfan – sebagaimana istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (positivisme-empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan ruhaniyah (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf)..
Sufisme/tashawuf lebih tepat digunakan untuk penyebutan irfan praktis (amali) sedangkan istilah ‘Irfan adalah untuk Irfan teoritis.
Dalam pandangan tasawuf (Irfan) , ilmu adalah salah satu nama Allah (Asma al-Husna), Menurut Nabi SAW, Ilmu adalah cahaya (nur) Alllah. Cahaya Ilahi tersebut hanya akan dapat diserap dan dipantulkan dengan sebaik-baiknya, bila ‘lensa’ dan ‘cermin’ akal & qolbu manusia yang mencari dan menerimanya cukup bening, bersih (suci) dari kotoran-kotoran dan penyakit hati. Dalam al-Qur’an ada sebuah ayat yang bercerita bahwa bila manusia hamba-hamba Tuhan sudah bertaqwa kepada-Nya, maka Dia (Tuhan) akan menjadi tangannya ketika dia (hamba-Nya) bekerja, akan menjadi matanya ketika dia melihat, dan menjadi telinganya ketika dia mendengar (QS. : ). Inilah ayat yang menjadi landasan apa yang disebut dengan ilmu huduri (presensial knowledge) atau ilmu yang dihadirkan secara langsung oleh Tuhan kepada qalbu (hati & akal) manusia tanpa perantaraan konsep ataupun proposisi-prosisi inderawi. Ilmu huduri adalah sejenis ilmu yang dicerap melalui intuisi dan kebeningan hati dan kejernihan akal. Ilmu huduri inilah yang menjadi basis utama yang melengkapi apa yang didapat melalui usaha manusiawi yaitu ilmu raihan (ilmu husuli/aquired knowledge).
Manusia yang mencintai dan dicintai Tuhan akan bersatu, dalam artian manusia tersebut telah menyerap (men-down load) sifat-sifat dan perbuatan Tuhan ke dalam kehidupan pribadinya. Ego pribadinya telah lebur (fana) ke dalam ‘Samudra Ilahiyah’. Yang Ada (Existence) hanyalah Dia Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak dari perilaku dan ucapan serta sikap-sikap hidupnya adalah Tajaliyat al-Ilahi (manifestasi Ketuhanan) atau penampakan sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Dia menjadi Khalifatullah fi al-Ardh (wakil/mandataris Tuhan Allah di muka bumi). Inilah yang disebut tentang faham Wahdah al-Wujud menurut Ibn Arabi, atau Al-Salat al-Wujud (Principality of Existence) menurut Mulla Sadra, dalam kitabnya Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asyfar al Ar’baah al Aqliyah, atau ‘manungaling kawula-Gust’ dalam tradisi Suluk Islam Kejawen (ajaran Syeikh Siti Jenar dan atau Panembahan Panggung, pada masa awal kerajaan Mataram Islam di Jawa ?)
Eksistensi kemanusiaan manusia akan semakin menyempurna bersamaan prosesnya dengan perkembangan dan pertambahan ilmu pengetahuan yang dicerapnya dari Alam semesta dan dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Antara terminology ‘alam’, ilmu, dan al-‘Alim (Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu), adalah satu akar kata, yang berunsur huruf ‘alif, lam dan mim. Alam adalah ibarat laboratorium dan buku mega-super ensiklopedia yang mempertunjukan tanda-tanda kebesaran Tuhan dan keluasan Ilmu-Nya (“Akan Aku tunjukkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran kekuasaan)-KU, pada ufuk/horizon semesta dan di dalam dirimu, sehingga jelaslah bagimu bahwa Aku adalah kebenaran/ Al-Haq”, QS. : )
Tasawuf atau Irfan sebagai sarana pensucian jiwa dan akal manusia, adalah salah satu pilar utama yang mendampingi rasionalitas untuk meraih kejernihan ilmu pengetahuan, hakikat kebenaran dan kesempurnaaan-kesejahteraaan hidup manusia. Antara aktifitas Fikir dan Zikir harus berjalan seimbang, sinergis, holistic dan integral dalam kehidupan umat manusia secara umum khususnya untuk kaum Muslim, kalau hendak mewujudkan missi suci Ilahiyah menjadi Rahmatan lil ‘Alamin.
Bid`ah kah Tasawwuf
Manusia, seperti disebutkan Ibn Khaldun, memiliki anggota tubuh/panca indra, akal pikiran, dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini, ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.
Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh. Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia.
Kedua, filsafat, berperan dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik.
Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari.
Karenanya tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia. Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya.
Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23.
“Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk 67:23).
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt.
Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebgai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan.
Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.”
Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in inibisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya.
Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad). Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw. sama sekali tidak bid’ah.
Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw. dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.
Diposting oleh indra Tgl 6.11.07
Love and Hate Relations
Label: Lain-lain |oleh: Didi Kwartanada *
“. . .Indonesia, the largest country in the world with a Chinese problem”[1]
Pendahuluan: Love and Hate Relations
Di Indonesia dijumpai adanya hubungan –mengutip istilah Dr Mely G.Tan–“love and hate relations” (hubungan cinta-benci) antara orang Tionghoa dan Indonesia.[2] Sebagai contoh yang paling mudah, saat pertandingan olahraga (khususnya badminton), orang akan memuji-muji para atlet Tionghoa apabila mereka memenangkan suatu kejuaraan internasional. Namun saat media massa mengungkapkan penyelewengan dalam bidang ekonomi dan moneter yang dilakukan pengusaha Tionghoa (lengkap dengan nama Cinanya!), orang akan memaki-maki mereka.
Baru-baru ini saya mendapatkan di KITLV satu tabloid bernafaskan Islam yang cukup radikal bernama “Jurnal Islam” (selanjutnya disingkat JI) yang terbit setelah lengsernya Soeharto. Isi tabloid ini penuh dengan makian dan kekhawatiran (phobia) terhadap Yahudi-Zionis Israel–Barat–Nasrani dan Cina (Perantauan). Bahkan selalu dituduhkan adanya konspirasi mereka berempat untuk melawan Islam (sic!). Yang menarik, walaupun memaki-maki Cina, namun tabloid ini juga menyajikan satu atau lebih laporan yang simpatik tentang aktivitas Tionghoa Muslim maupun organisasi mereka, yakni PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Muncullah judul2 berita yang provokatif tentang Cina sbg berikut:
·“Awas, Cina Perantauan Ancam Umat Islam” (JI, 2-8/2 2001: 8-9);
·“Konglomerat Cina Mau Makar” (JI, 9-15/2 2001: cover);
·“Siluman Cina Ingin Jadi Presiden” (JI, 16-22/2 2001);
·“Ekonomi Umat Islam Dicengkeram Yahudi dan Cina Kafir” (JI, 8-14/12 2000: 14-15).
Namun nada dan pandangan yang berbeda muncul saat berbicara tentang Tionghoa Muslim:
·“PITI: Berpotensi Besar untuk Membesarkan Islam” (JI, 29/9-5/10 2000: 14);
·“Persaudaraan Muslim Tionghoa Indonesia: Embrio Baru dalam Syiar Islam” (JI, 3-9/11 2000: 14).
· “PITI: Menyiapkan Pemimpin yang Solid” (JI, 22-28/9 2000: 23)
Disini tampak bahwa love and hate relations sudah menjadi “us” (kita) and “them” (mereka). Ini sekedar contoh saja dan tentunya rekan-rekan dari IAIN bisa berbicara lebih dalam soal ini.
Tabu di Jaman Rezim Orde Baru
Rezim Orde Baru (1966-1998) dikenal menabukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tionghoa, bahkan disebut “mempunyai masalah Tionghoa terbesar di dunia” (lihat kutipan di atas). Rezim ini menciptakan konglomerat2 Tionghoa (mayoritas Tionghoa totok).[3] ,sehingga kesan Tionghoa sebagai economic animal yg amat serakah menjadi sangat kuat. Akan tetapi orang sering lupa, bahwa konglomerat bisa bebas beraksi karena mendapatkan dukungan dari penguasa, birokrasi dan militer (dengan kompensasi pembagian keuntungan, tentunya!).
Rezim Orba juga memarjinalkan fakta bahwa golongan Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan nasion Indonesia, khususnya dalam bidang bahasa, pers dan sastra. Pers Tionghoa dalam bahasa Melayu ikut menyebarluaskan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak 1890-an. Dari penelitian Claudine Salmon (sejarawan Perancis) dalam periode 1870-an hingga 1960an, sastrawan Tionghoa peranakan telah menerbitkan lebih dari 3,000 judul karya sastra dalam bahasaa Melayu dari berbagai bentuk: sandiwara, syair, terjemahan karya-karya Barat atau Tiongkok, novel dan cerpen.[4] Ternyata hasil sastra inipun dinikmati oleh publik non-Tionghoa.[5] Hasil penelitian Claudine ini berhasil memperkenalkan genre sastra ini ke hadapan publik internasional. Ironisnya, hingga kini Sastra Melayu Tionghoa masih belum sepenuhnya diakui sebagai kesusasteraan Indonesia modern. Buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia (SNI) pun sama sekali tidak menyinggung berbagai sumbangan tersebut.[6] Pada periode Orba juga tidak banyak literatur yang tersedia tentang golongan Tionghoa, jadi keberadaan mereka kurang banyak dipahami masyarakat umum.
Kejatuhan Orde Baru ternyata diiringi dengan kemunculan kembali minat yg besar ttg soal-soal “ketionghoaan”, dengan bermunculannya berbagai kegiatan ilmiah dan publikasi bermacam bahan tentang sejarah, adat istiadat dan budaya Tionghoa, yang sebelumnya ditabukan, seperti yang sudah kita saksikan dalam film tentang Imlek di Semarang tadi.[7] Di pihak lain, kita disadarkan pula bahwa tidak banyak akademisi dari kalangan generasi muda –baik Tionghoa maupun non-Tionghoa–yg memfokuskan diri dalam bidang ini.[8] Dengan demikian kajian tentang Tionghoa tidak banyak tersedia di toko-toko buku. Oleh karena memang para akademisi belum banyak melakukan riset tentang komunitas Tionghoa di luar Jawa,[9] maka kajian yang ada masih bersifat “Jawa sentris” dan hanya ada satu dua studi tentang Sumatra[10] dan beberapa mengenai Kalimantan Barat.[11] Dari segi jender, kajian atau sumber-sumber tentang perempuan Tionghoa Indonesia masih sangat sedikit.[12] Namun hal yang menggembirakan, ternyata di kalangan Tionghoa (non-akademisi) juga terdapat beberapa peneliti dan pengamat yang cukup handal.[13]
Siapakah orang Tionghoa itu?
Siapakah orang Tionghoa itu? Banyak jawaban yang bisa diberikan, namun menurut penulis orang Tionghoa adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tionghoa, mempunyai darah Tionghoa (walaupun sudah banyak bercampur) dan mempunyai nama Tionghoa (namun banyak Tionghoa Indonesia yang lahir dimasa Orba tidak lagi mempunyai nama Tionghoa). Satu hal yang khas dari Tionghoa peranakan dari Indonesia (khususnya Jawa), bahwa mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Banyak cerita tentang peranakan dari Jawa, saat mereka melakukan perjalanan ke Singapura, Hongkong, RRT ataupun di Barat, selalu ditanya: “anda orang Chinese, mengapa tidak mampu berbahasa Mandarin?“[14]
Bagi generasi pra-Orba, istilah “Cina” jelas berkonotasi merendahkan, oleh karena itu mereka lebih suka disebut “Tionghoa”. Sejarah pemakaian kata “Tionghoa” berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Batavia pada tahun 1900. Pada saat itu istilah “Tjina” atau “Tjienna” –yang dipakai sejak lama– mulai dianggap merendahkan. Pada tahun 1928 Gubernur Jendral Hindia Belanda secara formal mengakui penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk berbagai keperluan resmi.[15] Penggunaan istilah “Tionghoa” ini hanya bertahan selama 38 tahun saja, karena di tahun 1966 Orde Baru kembali menggunakan istilah “Cina”. Menarik sekali bahwa istilah “Tionghoa” ini sangat khas Indonesia, karena di Malaysia dan Singapura istilah “Cina” masih lazim digunakan.
Heterogenitas Golongan Tionghoa
Orang awam seringkali kurang menyadari adanya realitas, bahwa Tionghoa di Indonesia bukanlah kelompok homogen, melainkan terdiri dari berbagai latar belakang: berdasarkan dialek (Hokkian, Hakka, Tiochiu, dll), agama (Konghuchu, Protestan, Katolik, Islam), budaya (peranakan, totok). Seringkali muncul pertanyaan: “Mengapa Tionghoa tidak pernah bisa bersatu?” Soal ini adalah impian lama yang akan selalu muncul. Dengan berbagai latar belakang tersebut, “persatuan” itu susah terwujud. Ironisnya, hanya sekali dalam sejarah “persatuan” itu terwujud, yakni pada jaman Jepang. Jepang memaksa berbagai organisasi Tionghoa untuk berkumpul menjadi satu, dalam Hua Chiao Tsung Hui (HCTH) atau dalam bahasa Jepangnya Kakyoo Sokai. Hal ini cukup ironis, karena “persatuan”ini disponsori oleh musuh.
Di awal abad XX THHK juga bercita-cita untuk “menggalang persatuan orang Tionghoa perantauan tanpa membedakan asal kampong dan provinsi di Tiongkok, juga tidak membedakan peranakan dan totok”.[16] Akan tetapi seperti diketahui, cita-cita ini sulit direalisasikan, berhubung beragam latar belakang historis, budaya, dan politik yang cukup rumit. Pertikaian antara kelompok Kuomintang (Pro-Taiwan)-Kungchangtang (Pro-Beijing) di Indonesia di tahun-tahun 1950an, yang kemudian muncul lagi di akhir pemerintahan Soekarno, cukup menarik untuk diceritakan.[17]
Adalah suatu hal yang menggelikan dan naif dimasa pemilu 1999, saat seorang pimpinan parpol “Partai Bhinneka Tunggal Ika” (PBI)–suatu partai yang berasaskan ketionghoaan– mengklaim bahwa partainya akan didukung oleh seluruh warga Tionghoa, sebanyak 4 juta pemilih. Kenyataannya, PBI hanya mendapat satu kursi di parlemen dari daerah Kalimantan Barat, yang memang banyak memiliki penduduk keturunan Tionghoa. Mengutip Mary Somers Heidhues, “…Didorong oleh pemerintah kolonial untuk berpikir bahwa mereka terpisah dari mayoritas orang Indonesia, didorong oleh pemerintah Tiongkok supaya berpikir sebagai warga Tiongkok, dan dipengaruhi secara historis oleh pengalaman yang berlainan, pada akhirnya komunitas-komunitas Tionghoa di Indonesia tidak pernah bisa bersatu.”[18]
Tionghoa sebagai Minoritas Perantara (Middlemen Minority):
Sejak lama golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial. Di jaman pra-kolonial orang Tionghoa sudah bekerja pada raja-raja kerajaan maritim, misalnya sebagai syahbandar. Sultan Hamengku Buwono I menugaskan orang Tionghoa untuk menarik pajak demi mengisi kas Kasultanan Yogyakarta yang barusaja didirikannya.[19] Kolonial Belanda yang memiliki keterbatasan sumberdaya manusia, melihat bahwa Tionghoa bisa menjadi peranatara antara mereka dengan golongan pribumi. Belanda menjual berbagai macam pacht (atau hak pengelolaan) jalan tol, candu, rumah gadai, dll. Akhirnya golongan Tionghoa, beberapa diantaranya menjadi sangat kaya karena memeras rakyat (atas perlindungan penguasa!) menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, namun dibenci oleh rakyat. Inilah yang memang diinginkan oleh penguasa, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” disaat terjadi kerusuhan menentang penguasa.
Kedudukan politik etnis Tionghoa yang demikian lemah menjadikannya sasaran empuk dalam setiap tindak kekerasan. Tanpa mempunyai perlindungan sedikitpun, etnis Tionghoa selalu dijadikan kambing hitam dan korban kesewenang-wenangan. Hal ini terus terjadi berulang kali.”[20] Dalam teori ilmu sosial sebagai fenomenan ini disebut “middlemen minority”:[21]
Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara [middle status] diantara kelompok dominan yang berada di puncak hirarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut “minoritas perantara” [middlemen minorities]
Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate niche] dalam sistem ekonomi. . .Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang (mindring) dan profesional independen. Dengan demikian minoritas perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat. Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi mereka yang berada di puncak (elit) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat . . .Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka adalah. . .kambing hitam alami [natural scapegoat] . Mereka secara jumlah maupun secara politis tidak berdaya dan oleh karena itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis mereka masih dibutuhkan.
Tanpa memahami hakekat etnis Tionghoa selaku “minoritas perantara”, orang akan mudah menuding dan menyalahkan mereka, sebagai “oportunis”. Sebagai contoh, Abu Hanifah, seorang tokoh nasionalis-Islam menulis s.b.b:
“…sebagian besar Tionghoa di Indonesia benar-benar tidak mempunyai loyalitas [had no sense of loyalty]. Pada jaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah “kaum oportunitis yang tidak bisa diperbaiki” [incorrigible opportunists][22]
Pandangan serupa dengan Hanifah cukup populer di kalangan umum. Mereka melihat keberadaan Tionghoa secara hitam-putih (pahlawan atau pengkhianat), tanpa memahami mereka sebagai “minoritas perantara” yang muncul sebagai produk kolonial. Golongan perantara ini akan selalu merasa terancam dari pihak di luar kelompoknya (out-group hostility), maka siapapun yang bisa memberi jaminan keamanan dan stabilitas, dialah yang akan mereka ikuti. Tidak ada pilihan lain yang tersedia, karena ini adalah masalah “survival” dan tidak bisa ditafsirkan secara simplistis berdasarkan prasangkan hitam-putih (loyal-tidak loyal). Seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel, menggambarkan posisi “serba salah” yang dialami etnis Tionghoa:
“…Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka”.[23]
Kekerasan atas Tionghoa dan “Koloborasi”: Kasus Jaman Jepang
Saat-saat dimana “law and order” absen, adalah periode yang mengerikan bagi “middleman minority”. Sebagai ilustrasi, ijinkanlah kami mengajak anda semua ke masa penjajahan Jepang (1942-1945). Periode ini memberikan banyak contoh, bagaimana “jaminan keamanan” bisa mengalihkan loyalitas middleman minority, bahkan terhadap musuh besarnya sekalipun, selama mereka mampu menyediakan keamanan. Pada saat-saat kedatangan balatentara Jepang (Maret 1942), aparat keamanan kolonial tiba-tiba menghilang (bandingkan dengan Jakarta, Mei 1998), mereposisikan Tionghoa dari “middlemen minority” menjadi “defenceless minority” (minoritas tanpa perlindungan)
Aksi kekerasan terhadap Tionghoa muncul dalam berbagai manifestasi, antara lain: perampokan, pembunuhan. Namun ada juga kekerasan dalam bentuk lain, yakni “sunat paksa” yang terjadi di berbagai daerah: Bekasi[24], Kudus[25], pantai utara Jawa Tengah[26], Jombang[27], Kediri[28]. Di luar Jawa aksi serupa juga berlangsung dalam skala yang lebih hebat, namun dengan alasan yang berbeda. Lelaki dewasa Tionghoa di daerah Kandangan (Kalimantan Selatan) melakukan “gerakan sunat sukarela” dengan alasan supaya tidak diganggu Jepang[29]. Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya perkosaan wanita Tionghoa, misalnya di Bekasi (50 orang) dan di pantai utara Jawa Tengah[30]. Selain itu juga terdapat penyanderaan yang dilakukan oleh gerombolan perampok[31]. Puncak kekerasan adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa di masa vakum tersebut, misalnya di Kudus, Bekasi, Jombang dan Aceh[32]. Di Jawa Barat orang Tionghoa “membeli keamanan” dengan jalan membayar perampok untuk menjaga harta bendanya[33].
Di saat-saat tegang tersebut, balatentara Jepang dengan cepat dan tegas membasmi segala bentuk gangguan “kamtibmas” tanpa pandang bulu. Sebenarnya tindakan mereka itu bukan ditujukan untuk melindungi Tionghoa per se, namun demi melancarkan jalannya roda pemerintahan, khususnya perekonomian. Di mata orang Tionghoa, tentara Jepang—yang sebelumnya dianggap “musuh besar” karena menginjak-injak Tiongkok—kini secara ironis dianggap sebagai “pelindung”. Di pihak lain, sekarang mereka lebih melihat orang Indonesia sebagai “ancaman”[34] Pendeknya, “minoritas perantara” akan berkolaborasi dg penguasa atau siapapun yg mampu menawarkan rasa aman. Faktor serupa juga yang melatarbelakangi dukungan Tionghoa pada Golongan Karya (Golkar) di masa Orde Baru[35]. Namun tragisnya Peristiwa Mei 1998 membuktikan, walaupun middlemen minority telah membayar “upeti” kepada penguasa, namun mereka sama sekali tidak mempedulikannya[36].
Hubungan Pribumi–Tionghoa
Hubungan Tionghoa-pribumi diwarnai dengan pasang surut sejak jaman kolonial hingga dewasa ini. Dalam beberapa episode terjadi benturan yang cukup memprihatinkan, hingga jatuh korban jiwa. Akan tetapi tidak seluruhnya benar bahwa hubungan Tionghoa dengan pribumi, maupun Tionghoa dengan Islam selalu diwarnai dengan ketegangan. Saya akan memberikan beberapa contoh hubungan “harmonis” yang belum banyak diketahui.
Pada abad XVII banyak Tionghoa yang memluk agama Islam[37]. Hal ini terbukti dari kata “peranakan” yang pada awalnya ditujukan pada Tionghoa Muslim. Dalam sensus penduduk abad XVII Belanda membedakan antara “Tionghoa” (Chineezen) dengan “peranakan”(Tionghoa muslim) , misalnya di Sumenep (Madura) yang cukup banyak terdapat peranakan[38]. Di Batavia, berhubung jumlah penduduk Tionghoa Muslim cukup banyak, maka diangkatlah seorang opsir untuk komunitas ini. Kapten terakhir peranakan bernama Muhammad Japar (abad XIX). Beberapa Bupati dari pesisir jelas mempunyai darah Tionghoa. Ada pula beberapa Tionghoa yang karena dekat dengan aristokrasi lokal, akhirnya masuk Islam dan mengubah namanya menjadi nama Jawa. Misalnya Bupati Kota Yogyakarta pada jaman Sultan Hamengku Buwono II, Raden Tumenggung Setjadiningrat (alias Tan Jin Sing). Adipati Bangil dan Bupati Tegal adalah generasi kedua dari keluarga Han Siong Kong (lahir di Tiongkok 1673- wafat di Lasem1744). Keluarga Muslim Tionghoa bermunculan juga saat pecahnya Perang Diponegoro. Beberapa orang Tionghoa yang berjasa pada raja mendapatkan gelar dan tanah dan kemudian masuk Islam. Misalnya Keluarga Tjan dari Pajang (Surakarta). Dari keluarga ini muncul seorang inisiator pertunjukan wayang orang untuk publik, yakni Gan Kam. Dua orang diantaranya menjadi guru besar di alam Indonesia merdeka. Salah satunya adalah Prof Tjan Tjoe Siem, yang di tahun 1960an mengajar di IAIN Sunan Kalijaga. Beliau wafat saat mengambil air wudhu di tahun 1978[39].
Pada abad XVIII Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam. Pada waktu itu, Belanda mengenakan pajak untuk kucir orang Tionghoa. Apabila seorang Tionghoa memeluk Islam—apapun motivasinya—maka ia akan memotong kucir itu. Dengan demikian Belanda akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya[40]. Selain itu perkawinan antara Muslim dengan Tionghoa juga dilarang pada abad yang sama[41]. Belanda rupanya takut kalau kedua pihak itu bersatupadu, maka dicari jalan supaya mereka tetap terpisah. Berbagai peraturan itu semakin menjauhkan Tionghoa dari pribumi. Menariknya di tahun 1930an banyak bermunculan gerakan Muslim Tionghoa, yang muncul diluar Jawa. Di Sulawesi, Ong Kie Ho (kelahiran Toli-toli) mendirikan Partai Islam. Penguasa takut akan aktivitasnya dan dia dibuang ke Jawa tahun 1932. Di Medan tahun 1936, seorang Tionghoa totok, Yap A Siong dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Islam Tionghoa. Di tahun 1933 di Makassar berdirilah Partai Tionghoa Islam Indonesia (PITII). Setahun kemudian PITII mendirikan suatu “Sekolah Melayu” dan di tahun 1936 menerbitkan media bernama “Wasilah”[42].
Masih banyak lagi contoh-contoh hubungan harmonis yang kebetulan berasal dari daerah Yogyakarta, daerah dimana saya dilahirkan.
Dr Wahidin Sudirohusodo, tokoh penting dibalik berdirinya organisasi Budi Utomo, adalah sahabat baik komunitas Tionghoa di Yogyakarta. Tempat prakteknya terletak di tengah-tengah daerah Ketandan (Pecinan) Yogyakarta (Tjeng, 1958: 44-45). Obituari beliau yg ditulis oleh Ki Hajar Dewantara (Suryaningrat, 1981: 21-22) menyebutkan, Dr Wahidin dikenal juga sebagai seorang “mediator” urusan rumah tangga yang baik. Misalnya ada pasangan Tionghoa yang cekcok, beliau tidak segan-segan datang kerumah untuk mendamaikan mereka. Beliau dipandang sebagai seorang sahabat oleh kalangan Tionghoa. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, sewaktu beliau wafat, dijumpai banyak sekali pelayat Tionghoa.
Ketika di Kota Solo terjadi berbagai aksi anti Tionghoa (1913) yang dilakukan oleh Sarekat Islam, di Yogyakarta keadaan tetap tenang. Bahkan Sarekat Islam cabang Yogyakarta mementaskan suatu pertunjukan amal dengan perkumpulan drama Tionghoa, “Bok Sie Hwee”, yang separuh hasilnya akan disumbangkan pada pengajaran netral pribumi dan organisasi pribumi lainnya (Sarekat Islam Lokal, 1975: 348; Surjomihardjo, 1988: 158). Di Batavia, deklarasi Sarekat Islam setempat malah dilakukan di gedung THHK, dalam acara yang diorganisir oleh organisasi Tionghoa. Dalam acara tsb, masing2 pihak mengucapkan pidato dan harapannya akan hubungan yang lebh baik antara Indonesia-Tionghoa di masa depan (Sumartana, 1994: 202).
Hubungan Muhammadiyah dengan komunitas Tionghoa di Yogya pada masa kolonial juga cukup baik. Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari orang Tionghoa di Ngabean, daerah dimana Muhammadiyah bermarkas (Asrofie, 1983: 66-67). Sesudah terjadinya huru-hara di Kudus (1918), pada tahun selanjutnya Muhammadiyah merangkul organisasi Tionghoa di Yogya dan Insulinde (perkumpulan multi-ras dibawah pimpinan Dr Tjipto Mangunkusumo) untuk membentuk suatu front bersama untuk memajukan hubungan baik diantara ras yang berbeda (Sim, t.t., 36). Terbitan tahunan berupa Almanak Muhammadijah banyak diisi iklan yang dipasang oleh pengusaha Tionghoa dari berbagai tempat (Almanak 1358/1939-40: halaman iklan).
Pada tahun 1925 terjadi suatu persekutuan yang cukup spektakuler antara Muhammadiyah dengan Tionghoa Yogyakarta melawan penerbit Belanda, Buning (Alfian, 1989: 206-07). Dalam salah satu terbitannya, Buning memuat “Serat Darmogandul” yang isinya di satu pihak menghina Islam (yang dituduh menghancurkan Majapahit dan memunculkan kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak) serta di pihak lain menjelekkan Tionghoa, karena ibu dari Raden Patah, raja pertama Demak, adalah “Putri Cina”. Makanya dalam hal ini, orang Tionghoa dituduh ikut berperan menghancurkan Majapahit. Seorang Tionghoa melapor soal terbitan ini ke tokoh Muhammadiyah, yang lalu membawanya ke Kongres Muhammadiyah, yang kebetulan saat itu sedang berlangsung di Yogyakarta. Sebagai buahnya, kedua belah pihak mendirikan “Comite Penjegah Penghinaan”, dibawah pimpinan H.Soedja dan seorang Tionghoa. Akhirnya penerbit Buning meminta maaf dan menarik terbitan yg kontroversial tersebut. Sungguh suatu kerjasama yang unik, yang entah kapan bisa terulang lagi. Di akhir dekade 1920-an, dalam rangka menyebarkan dakwah dikalangan Tionghoa, muncul ide dari Muhammadiyah untuk membuat sekolah dasar Tionghoa berdasarkan Islam (HCS met de Koran). Namun oleh karena berbagai kendala, proyek ini tidak pernah terwujud.
Pendiri Perguruan “Taman Siswa”, yakni Ki Hadjar Dewantara, adalah sahabat dekat Dr Yap Hong Tjoen (yang kemudian terkenal dengan RS Mata “Yap” di Yogyakarta). Sewaktu tinggal di Belanda, keduanya pernah bekerja bersama-sama dalam satu majalah “Het Indonesische Verbond van Studeeren” (Perhimpunan Pelajar Indonesia) (Jonkman, 1971: 32-33). Di tahun 1970-an, putra Dr Yap menyerahkan dokumentasi mengenai Ki Hadjar kepada Museum Taman Siswa di Yogyakarta sebagai tanda persahabatan orang tuanya.
Tidak ketinggalan kaum wartawan juga berusaha menghapus garis batas rasial. Di bulan Agustus 1928 dibentuklah “Perserikatan Djurnalis Asia”, dengan anggota baik Indonesia maupun Tionghoa. Di bulan Oktober 1928 perkumpulan ini mengadakan rapat di gedung sositeit Tionghoa, dengan pembicara Mr Ali Sastroamidjojo (kemudian menjadi Perdana Menteri di tahun 1950-an), dan dihadiri oleh sekitar 150 orang Indonesia dan Tionghoa (Poeze, 1982: 391, 418, 445).
Penulis ingin menambahkan lagi ilustrasi hubungan Bung Karno dengan orang-orang Tionghoa sebelum Indonesia merdeka. Pemimpin Redaksi Sin Po, Kwee Kek Beng, menulis dalam otobiografinya, bahwa Bung Karno di akhir dekade 1920an mendatangi Sin Po dan mengharapkan dukungan atas satu majalah yang hendak diterbitkannya. Disebutkan Kwee, bahwa Bung Karno “ingin sekali rapatkan perhubungan dengan bangsa kita [Tionghoa] dan dengan Tiongkok”. Sehubungan dengan Sin Po ini, patut diingat bahwa lagu Indonesia Raya dimasyarakatkan pertama kali dalam majalah mingguan Sin Po, karena W.R. Supratman waktu itu bekerja di media tersebut[43].
Liem Seeng Tee –seorang Tionghoa totok pemilik pabrik rokok “234” (Djie Sam Soe) di Surabaya, juga pernah membantu perjuangan politik bangsa Indonesia. Di tahun 1933, saat Partindo hendak mengadakan rapat akbar di Surabaya, susah sekali mendapatkan gedung pertemuan yang bisa menampung banyak orang. Mendengar hal tsb, Liem mengijinkan gedung bioskap “Sampoerna” kepunyaannnya sebagai tempat rapat akbar tsb[44]. Pada saat dia wafat di tahun 1951, Bung Karno mengirimkan karangan bunga tanda duka cita[45].
Cerita ketiga didapat dari penuturan Riwu, anak angkat Soekarno dari tempat pembuangannya di Ende (Flores)[46]. Pada saat itu Bung Karno mempunyai beberapa “murid” Tionghoa. Salah satu diantaranya adalah seorang pedagang hasil bumi. Setiap kali dia menjadi penghubung antara Bung Karno dengan rekan-rekan pergerakan di Jawa. Bila ada surat dari Jawa, orang Tionghoa ini memasukkannya ke dalam buah semangka dan pura-pura menjual semangka itu kepada Ibu Inggit (istri Bung Karno waktu itu). Dengan demikian Bung Karno tetap bisa mendapatkan kabar uptodate tentang perkembangan politik di Jawa.
Harap diingat, waktu itu Bung Karno sama sekali belum menjadi Presiden, bahkan masih dalam keadaan susah. Jadi hubungan itu tidak bermotifkan mencari untung atau mencari komisi.
Selain hubungan yang cukup harmonis di atas, penulis akan memberikan beberapa contoh sebaliknya. Pada Jaman Jepang terjadi benturan yang membawa korban. Pemberontakan PETA di Blitar (Februari 1944) ternyata mengandung unsur anti-Tionghoa. Orang-orang Tionghoa menyuplai perempuan penghibur (jugun ianfu) kepada tentara Jepang. Entah apa motivasi mereka melakukan itu, apakah dipaksa Jepang, atau demi “menjilat” Jepang. Menurut pengakuan Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dalam memoir mereka, penguasa Jepang sering memberi perintah kepada pemimpin Hua Ch’iao Tsung Hui (HCTH), organisasi Tionghoa jaman Jepang, untuk menyuplai jugun ianfu. Sebagai akibatnya, beberapa orang Tionghoa tewas dalam pemberontakan legendaris yang dipimpin Supriyadi tersebut (Anderson, 1961: 46-47; Pakpahan, 1987: 138; Kwartanada, 1995: 34).
Di pihak lain, perlu diingat bahwa kebanyakan partai politik pada masa pergerakan menolak orang Tionghoa (maupun golongan minoritas asing lainnya) sebagai anggota penuh. Partai Nasional Indonesia (PNI, yang dipimpin Bung Karno, ironisnya hanya menerima Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hanyalah Indische Partij (IP), PKI dan Gerakan rakyat Indonesia (Gerindo) yang mau memerima golongan Tionghoa sebagai anggota penuh[47]. Kebijaksanaan partai politik waktu itu juga berakibat menjauhnya golongan Tionghao dari nasionalisme Indonesia.
Tidak Banyak Hal yg Baru dlm Soal Policy Tionghoa
A. Kantor Urusan Tionghoa dari Jaman ke Jaman
A.1. Jaman Belanda: Kantoor voor Chineeesche Zaken
Kantor ini bersikap paranoid terhadap peranakan Tionghoa dan banyak menuai protes dari kaum peranakan: misalnya H.H. Kan—seorang tokoh peranakan Pro-Belanda–menghimbau supaya KCZ lebih bersikap sebagai “kawan” daripada “mata-mata” pemerintah. Suara lain mengibaratkan KCZ bagaikan anjing penjaga yg sebaiknya “dirantai” saja (Lohanda, 2002: 230-31).
A.2. Jaman Jepang: Kakyo Han
Keberadaannya cukup misterius dan tidak banyak sumber tersedia. Orang Tionghoa menyebutnya Hua Ch’iao Pan. Pemimpinnya bernama Toyoshima, yang menguasai dengan baik budaya dan bahasa Tionghoa. Diantara stafnya terdapat juga orang Tionghoa, termasuk Liem Koen Hian dari Partai Tionghoa Indonesia (PTI) (Kwartanada, 1997: 266-68). Bung Hatta menyebut dalam memoirnya (1982: 416), bahwa Kantor ini banyak menangkapi orang Tionghoa
A.3. Jaman Orba: Badan Kordinasi Masalah Cina (BKMC)
Dalam usahanya mengontrol golongan Tionghoa, maka didalam satuan intel Orde Baru (BAKIN) didirikan satu kantor urusan Tionghoa, yang disebut BKMC. BKMC ini mengamati peredaran barang-barang cetakan berbahasa Mandarin, termasuk juga satu-satunya korang Mandarin jaman Orba, Harian Indonesia (Yindunxia Jih-pao). Pada saat kalangan beragama Budha terjadi perpecahan, BKMC juga ikut bermain didalamnya. Keberadaan BKMC (Setiono, 2003: 994) ini banyak menuai kritik dalam masa reformasi. Namun sayang sekali tidak banyak yang diketahui tentang aktivitas BKMC. Semoga akan muncul penelitian tentang institusi yang misterius ini.
B. Kebijaksanaan Budaya Tionghoa
Di tahun 2003 Megawati menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi dalam sejarah Indonesia. Jaman pendudukan Jepang diwarnai dengan berbagai usaha “resinifikasi” (pencinaan kembali) peranakan Tionghoa yang dianggap sudah terlalu banyak dipengaruhi kebudayaan Barat (Kwartanada, 1997: 306-11). Untuk itu antara lain Jepang mendorong kaum peranakan Tionghoa untuk belajar bahasa Tionghoa dan juga menghidupkan kembali berbagai bentuk budaya Tionghoa. Musik tradisional Tionghoa diijinkan untuk dimainkan di stasiun radio milik pemerintah, padahal di jaman Belanda tidak ada kesempatan seperti itu. Acara kesenian tradisonal seperti Barongsai seringkali ditampilkan adalam acara-acara resmi pada jaman Jepang (bandingkan dengan masa Reformasi ini), misalnya dalam acara peringatan pecahnya Perang Pasifik maupun peringatan pendaratan Jepang di Jawa.
Langkah yang cukup spektakuler adalah menjadikan hari raya Imlek 1943 sebagai hari libur resmi (keputusan Osamu Seirei no. 26 tanggal 1 Agustus 1942). Inilah pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, dimana Imlek menjadi hari libur resmi (bandingkan dengan di masa Reformasi). Di jaman belanda hal serupa tidak pernah terjadi Lebih hebatnya, di hari Imlek tersebut, seluruh penduduk Yogyakarta (tidak hanya Tionghoa saja!), diminta mengibarkan bendera Jepang. Seorang propagandis Tionghoa menyebut saat itu sebagai “perayaan tahun baru Imlek pertama dalam suasana baru” (Tjeng, 1943). Disini letak ironisme Jaman Jepang, yang sebelumnya dianggap sebagai musuh besar kaum Tionghoa, malah bertindak sebagai pihak yang membangkitkan kembali aktivitas budaya Tionghoa.
Di masa awal revolusi, pemerintah RI juga mengijinkan perayaan hari raya Tionghoa. Misalnya Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat supaya kantor pemerintah mengibarkan bendera nasional Republik Tiongkok disamping Sang Merah Putih pada setiap perayaan hari lahirnya Republik Tiongkok. Demikian juga orang Tionghoa “boleh mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa”. Seperti juga di jaman Jepang, Imlek dijadikan hari libur resmi. Dalam tahun ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi Konghucu dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi (Kwartanada, 1997: 485).
C. Surat Bukti Kewarganeraaan Republik Indonesia (SBKRI)
SBKRI yang masih tetap kontroversial sampai sekarang, akarnya ternyata berasal dari Jaman jepang. Pada saat itu diadakan pendaftaran bangsa asing (Undang2 no. 7, 1942), dimana orang Tionghoa lelaki membayar f. 100 dan wanita f. 50 (boleh dicicil). Dengan membayar biaya tsb, mereka akan mendapat kartu identitas dan “keamanannya akan dijamin Dai Nippon”.
D. Perbedaan antara jaman Jepang-Orde Baru
Di atas sudah kami bahas beberapa “kemiripan” antara Jm Jepang dengaan Orba. Namun ada beberapa perbedaan yg sangat mendasar, yakni Jepang menganjurkan resinifikasi (pencinaan kembali), namun Orba justru melakukan desinoisasi (melarang segala yg berbau Tionghoa), termasuk mendorong program asimilasi. Perbedaan lain, di jaman Jepang, pemerintah mendorong berkembangnya kelas menengah pribumi dan menekan pengusaha Tionghoa. Sebaliknya, Orba “merangkul” sekelompok pengusaha Tionghoa, karena ingin menghindari munculnya kelas menengah pribumi yang kuat (yang berpotensi sebagai ancaman).
Penutup
saya ingin mengutip tulisan Benny Setiono aktivis Tionghoa dari Jakarta, bahwa “untuk mencapai Indonesia Baru yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN, bersih dari segala bentuk kekerasan serta selalu menjunjung tinggi tegaknya Hukum dan HAM. . . . etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia harus secara aktif turut mengambil bagian, bergandeng tangan dan bahu-membahu bersama-sama komponen bangsa lainnya, berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut.”[48] Kami setuju dengan pendapat tersebut dan berharap, bahwa pemerintah juga akan membuka berbagai macam pekerjaan yang selama ini relatif tertutup bagi etnis Tionghoa dan vice versa, supaya etnis Tionghoa tidak terkonsentrasi di ladang ekonomi saja[49]. Selain itu golongan Tionghoa hendaknya juga berjuang demi demokrasi dan civil society. Dalam hal ini hendaknya perjuangan jangan hanya bersifat “Tionghoa-sentris” saja, namun bersifat terbuka, misalnya ikut concern dalam soal 1965, soal HAM di Aceh, Maluku, dll. Dengan demikian perjuangan tersebut tidak bersifat eksklusif. Penderitaan orang Tionghoa adalah duka Indonesia dan sebaliknya. Demikian pula kegembiraan orang Tionghoa juga kegembiraan Indonesia. Oleh karena Tionghoa adalah bagian integral, yang tak terpisahkan dari tanah air Indonesia!
Sudah saatnya semua elemen di Indonesia bergandeng tangan, bersatu padau, tanpa memandang latar belakang, demi mencapai Indonesia Baru.
Merdeka!
———————————
Notes:
* PhD candidate, History Department, FASS, 11 Arts Link, National University of Singapore (NUS), Singapore 117570.
[1] Wang Gungwu, “’Are Indonesian Chinese Unique?’: Some Obeservations”, dalam kumpulan karangannya, Only Connect! Sino-Malay Encounters (Singapore: Times Academic Press, 2001), h. 277. Artikel tsb pertama kali terbit di tahun 1976.
[2] “Mely G.Tan, “Pengantar”, dalam Mely G.Tan (ed.), Golongan Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Gramedia LEKNAS-LIPI).
[3] Nama-nama seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Proyoga Pangestu, Tommy Winata adalah dari golongan totok. William Suryadjaja adalah perkecualian, yakni dari peranakan yang berpendidikan Belanda. Bob Hasan, walaupun secara etnis adalah Tionghoa peranakan, namun diangkat anak oleh Jendral Gatot Subroto.
[4] Claudine Salmon, Literature in Malay by the Peranakan Chinese in Indonesia (Paris: EHESS, 1981). Sebagian isinya telah diterjemahkan oleh Dede Oetomo, Sastra Cina Peranakan dalam bahasa Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).
[5] Di Perpustakaan Museum Taman Siswa Yogyakarta masih tersimpan buku-buku roman Melayu Tionghoa koleksi Ki Hadjar Dewantara. Beliau membeli buku-buku tersebut dari suatu Taman Bacaan di Yogyakarta pada wal tahun 1950an.
[6] Didi Kwartanada, “Golongan Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa 1942-1945”, dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta: Kanisius-Realino, 1997).
[7] Ironisnya, pada saat yang sama kita juga melihat berlanjutnya “Amnesia Sejarah” di sebagian kalangan masyarakat Tionghoa, misalnya kasus rencana pemindahan Gedung Candra Naya dan Makam Kapten Bencon (Souw Beng Kong) yang merana.
[8] Dari kalangan peneliti senior Tionghoa, dapat disebutkan misalnya Onghokham, Mely Tan, Go Gien Tjwan, Myra Sidharta dan Mona Lohanda. Dewasa ini ada beberapa disertasi mengenai Tionghoa yang sedang dikerjakan oleh mahasiswa Indonesia di berbagai universitas di manca negara, antara lain Andreas Susanto (sosiologi, Nijmegen), Vidhyandika Perkasa (antropologi, Monash), Widjajanti Dharmowijono (Sastra, Amsterdam) dan kami sendiri (sejarah, NUS).
[9] Claudine Salmon adalah peneliti yang sangat produktif dan telah banyak melakukan riset tentang Tionghoa di luar Jawa, seperti Bali (bersama Myra Sidharta), Makassar dan Timor (bersama Anne Lombard).
[10] Adalah suatu hal yang mengherankan, walaupun cukup terkenal, namun –sejauh pengetahuan kami–belum ada satu kajian historis yang memadai tentang etnis Tionghoa di Medan atau Sumatra Utara. Semoga akan muncul satu atau lebih peneliti yang akan menulis topik tsb.
[11] Beberapa kajian tentang Tionghoa di Kalimantan Barat baru saja diterbitkan, Mary Somers. Golddiggers, Farmers, and Traders in the ‘Chinese Districts’ of West Kalimantan, Indonesia (Ithaca: SEAP Cornell, 2003), buku ini membicarakan periode abad ke-18 hingga tahun 2000. Jamie Davidson telah menulis artikel tentang kekerasan di Kalimantan Barat, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan (ditulis bersama Douglas Kammen), Indonesia 73 (April 2002), pp.53-87. Tulisan ini menjelaskan secara detil proses terjadinya pembantaian “ribuan” Tionghoa di Kalbar, yang dilakukan oleh suku Dayak yang diprovokasi oleh militer. Selain itu masih banyak Tionghoa yang tewas di dalam “kamp pengungsi” karena kelaparan.
[12] Jurnal Archipel (Paris) telah menerbitkan beberapa artikel tentang sejarah perempuan Tionghoa. Myra Sidharta sudah banyak menulis tentang perempuan Tionghoa peranakan. Baru-baru ini kami mendapatkan dua buku biografi perempuan Tionghoa Indonesia yang diterbitkan di Singapura oleh penerbit yang relatif kecil, sehingga keberadaannya kurang banyak diketahui. Freda Hatfield Tong, Sons for the Master (Singapore: Path Seekers, 2001) dan Hu Siu Ing, The Passage of Time (Singapore: Singapore Asian Publications, 2001). Memoir pertama adalah tentang seorang perempuan peranakan, ibunda dari Pendeta Stephen Tong. Memoir kedua cukup langka, karena ditulis oleh seorang perempuan Totok yang lahir di Tiongkok serta besar di Jawa Barat.
[13] Bisa disebutkan nama lain, misalnya David Kwa Kian Hauw (Jakarta), serta Budi Kho Djie Tjay (Magelang), yang menguasai dengan baik bahasa dan tulisan Mandarin.
[14] Ien Ang, seorang Tionghoa kelahiran Indonesia, yang dibesarkan di belanda dan sekarang mengajar di Australia telah menulis buku yang sangat memikat, berjudul On Not Speaking Chinese (Surrey: RoutledgeCurzon, 2001).
[15] Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 (Glencoe: 1960), p.61; Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore: 2002), h.372.
[16] Benny Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2003), h.301.
[17] Topik ini masih sangat sedikit dikaji, satu diantaranya V.Hanssens, “The Campaign Against Nationalist Chinese in Indonesia”, dalam B.H.M.Vlekke (ed.), Indonesia’s Struggle 1957-1958 (The Hague: NIIA, 1959), h.56-76; Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis (Sydney: Allen and Unwin).
[18] Terjemahan bebas oleh penulis, lihat tulisan Somers “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West Kalimantan, 1945-46”, makalah pada Konperensi NIOD, Amsterdam, 29 April 2003, h.1-2.
[19] Peter Carey, “Changing Perceptions of …”, Indonesia 1984.
[20] Benny Setiono, Tionghoa, h.611.
[21] Dikutip dari Martin N. Marger, Race and Ethnic Relations (Californis: 1994), h.51-52. Istilah “middleman minority” pertama kali dipakai oleh sosiolog AS Howard P.Becker (1940). Ada beberapa istilah lain yang dipakai misalnya “Trading Minorities” (W.F. Wertheim), “Minorities in the Middle” (Walter P. Zenner). Untuk kajian lebih lanjut lihat Walter P.Zenner, Minorities in the Middle: A Cross-Cultural Analysis (New York: SUNY Press, 1991). Beberapa ahli sudah mengkritik teori ini, lihat Mona Lohanda, Growing Pains (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002), h.19. Akan tetapi kami beranggapan teori ini bisa diterapkan bagi minoritas keturunan asing, misalnya Tionghoa di Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian ia tidak cocok diterapkan untuk semua kelompok perantara, misalnya orang Jepang di jaman Hindia Belanda (“toko Jepang”) atau orang Madura di Kalimantan Barat.
[22] Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson 1972), h.253 (terjemahan bebas dari kami)
[23] Charles Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h.53.
[24] Twang Peck Yang, “Indonesian Chinese Business Communities in Transformation, 1940-1950”, PhD Thesis (Canberra: Australian National University, 1987), h.46 catatan 28, menceritakan adanya 20 orang Tionghoa totok asal Shantung yang sedang mengungsi lewat Bekasi telah disunat secara paksa dan ditangkap.
[25] G.Pakpahan, 1261 Hari dibawah Matahari Terbit (Jakarta: Marintan Jaya, 1979), h.39.
[26] Lawrence Yoder, Tunas Kecil: Sejarah Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: 1980), h.120-122.
[27] E.Touwen-Bouwsma, “The Indonesian Nationalists and the Japanese ‘Liberation’ of Indonesia: Vision and Reactions”, JSEAS, Maret 1996, h.10. Disebutkan bahwa penyunatan paksa dilakukan oleh anggota Nahdatul Ulama (NU).
[28] Suharyo Padmodiwiryo, Memoir Haryo Kecik Volume 1 (Jakarta: Obor, 1995), h.12.
[29] Soemarno Sosroatmodjo, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (Jakarta: Gunung Agung, 1981), h.249.
[30] Twang Peck-yang, loc.cit.; Lawrence Yoder, op.cit., h.122; Victor Purcell, Chinese in Southeast Asia. Second Edition (London: Oxford, 1965), h.472.
[31] Twang Peck-yang, loc.cit., menyebutkan di Bekasi sekitar 1,000 orang Tionghoa dikurung didalam klenteng oleh ribuan orang Indonesia. Hong Po, 15-5-1942 melaporkan pertolongan Kenpeitai (polisi rahasia Jepang) atas Tionghoa Tangerang yang disandera para perampok dan sekaligus menumpasnya. Hal ini berarti para perampok masih bergentayangan selama dua bulan pertama pendudukan.
[32] Lihat berturut-turut, Pakpahan, loc.cit., Twang, op.cit., h.46 catt.28 menyebutkan dibunuhnya pemimpin Tionghoa di Bekasi. Robert Cribb, Gangsters and Revolutionaries (Honolulu: 1991), h.39 menyebutkan dibunuhnya beberapa tuan tanah di bekasi dan beberapa kaki tangannya. Di Jombang, beberapa pemilik toko ikut dibunuh, Touwen-Bouwsma, loc.cit. Di Idi (Aceh) beberapa orang Tionghoa tewas dibunuh, termasuk seorang letnan Tionghoa, A.J.Piekaar, Atjeh en de Oorlog met Japan (‘s Gravenhage: 1949), h.146.
[33] Twang, op.cit., h.44, 62.
[34] Tan Po Goan, “Chinese Problems in Indonesia”, The Voice of Free Indonesia, 1 November 1946, h.20-25.
[35] Arief Budiman, “The Emegence of the Bureaucratic Capitalist State in Indonesia”, dalam Lim Teck Ghee (ed.), Reflections on Development in Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 1988). Penguasa Orde Baru menyadari bahwa munculnya kelas menengah pribumi yang kuat akan membahayakan eksistensinya. Di pihak lain, terdapat golongan Tionghoa yang cukup mapan secara ekonomi tidak mempunyai kekuasaan politik. Maka mereka “dirangkul” dan diberi keistimewaan dalam bisnis, dan sebaliknya membantu rezim penguasa (plus oknum-oknumnya) dengan aliran dananya. Kerjasama yang “sumbang” ini bukannya mengamankan posisi mereka, bahkan semakin memperbesar kebencian massa kepada etnis Tionghoa.
[36] Bandingkan dengan peristiwa pembantaian Tionghoa 1740 yang termashur, “Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah orang-orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, namun tanpa belas kasihan dan tanpa menjunjung moral serta peri kemanusiaan, mereka menyerahkan orang-orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititipkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri”, Benny Setiono, Tionghoa, h.114.
[37] Sumber paling detil tentang subjek ini adalah Denys Lombard dan Claudine Salmon, Ïslam and Chineseness”, dalam Alijah Gordon (ed.), The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago (Kuala Lumpur: Malaysia Sociological Research Institute, 2001); Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Tunjung Sari, 1979).
[38] Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Sejarah Islam (Jakarta: Bulan Bintang)
[39] “Prof Tjan Tjoe Siem”, dalam Rosihan Anwar, Quartet: Pertemuan dengan Empat Sahabatku (Jakarta: Yayasan Soedjatmoko, 1999)
[40] Steenbrink, Beberapa Aspek,
[41] C.W.Th.Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbledam, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (Den Haag: Nijhoff, 1947), h.187-88.
[42] Lombard dan Salmon, Ïslam”, h.198.
[43] Kwee Kek Beng, Doea Poeloe Lima Taon Sebagi Wartawan (Batavia: Kuo, 1947), h.35-36.
[44] New Light Magazine, 1947
[45] Wawancara dengan Sinta Dewi Sampoerna, puteri Liem Seeng Tee, 1996.
[46] Penuturan Riwu dimuat bersambung di Jawa Pos (Surabaya) sekitar tahun 1992.
[47] Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti Pers, 1986).
[48] Benny Setiono, Tionghoa, h.1077.
[49] Kami ingin menyampaikan rasa hormat secara pribadi kepada Bpk Abdurrachman Wahid, ketika Orde Baru sedang berada di puncaknya, sudah berani menyuarakan ide tersebut di atas. Abdurrachman Wahid, “Beri Jalan Orang Cina”, Editor, 33, 21 April 1990, yang dimuat ulang dalam Junus Jahja (ed.), Nonpri di Mata Pribumi (Jakarta: Tunas Bansga, 1991), h.224-228. Penulis yang waktu itu menjadi mahasiswa di Yogyakarta merasa kagum dengan tulisan beliau tsb dan menganggapnya sebagai salah satu tulisan/dokumen politik terpenting dalam hubungan Indonesia-Tionghoa. Sayang tulisan tersebut sudah banyak dilupakan dewasa ini.
dikutip dari sini
Read More..
Diposting oleh indra Tgl 6.11.07
©2007@This blog best viewed with Firefox.aINDRA Studio | A Support Go Blog