oleh: Didi Kwartanada *
“. . .Indonesia, the largest country in the world with a Chinese problem”[1]
Pendahuluan: Love and Hate Relations
Di Indonesia dijumpai adanya hubungan –mengutip istilah Dr Mely G.Tan–“love and hate relations” (hubungan cinta-benci) antara orang Tionghoa dan Indonesia.[2] Sebagai contoh yang paling mudah, saat pertandingan olahraga (khususnya badminton), orang akan memuji-muji para atlet Tionghoa apabila mereka memenangkan suatu kejuaraan internasional. Namun saat media massa mengungkapkan penyelewengan dalam bidang ekonomi dan moneter yang dilakukan pengusaha Tionghoa (lengkap dengan nama Cinanya!), orang akan memaki-maki mereka.
Baru-baru ini saya mendapatkan di KITLV satu tabloid bernafaskan Islam yang cukup radikal bernama “Jurnal Islam” (selanjutnya disingkat JI) yang terbit setelah lengsernya Soeharto. Isi tabloid ini penuh dengan makian dan kekhawatiran (phobia) terhadap Yahudi-Zionis Israel–Barat–Nasrani dan Cina (Perantauan). Bahkan selalu dituduhkan adanya konspirasi mereka berempat untuk melawan Islam (sic!). Yang menarik, walaupun memaki-maki Cina, namun tabloid ini juga menyajikan satu atau lebih laporan yang simpatik tentang aktivitas Tionghoa Muslim maupun organisasi mereka, yakni PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Muncullah judul2 berita yang provokatif tentang Cina sbg berikut:
·“Awas, Cina Perantauan Ancam Umat Islam” (JI, 2-8/2 2001: 8-9);
·“Konglomerat Cina Mau Makar” (JI, 9-15/2 2001: cover);
·“Siluman Cina Ingin Jadi Presiden” (JI, 16-22/2 2001);
·“Ekonomi Umat Islam Dicengkeram Yahudi dan Cina Kafir” (JI, 8-14/12 2000: 14-15).
Namun nada dan pandangan yang berbeda muncul saat berbicara tentang Tionghoa Muslim:
·“PITI: Berpotensi Besar untuk Membesarkan Islam” (JI, 29/9-5/10 2000: 14);
·“Persaudaraan Muslim Tionghoa Indonesia: Embrio Baru dalam Syiar Islam” (JI, 3-9/11 2000: 14).
· “PITI: Menyiapkan Pemimpin yang Solid” (JI, 22-28/9 2000: 23)
Disini tampak bahwa love and hate relations sudah menjadi “us” (kita) and “them” (mereka). Ini sekedar contoh saja dan tentunya rekan-rekan dari IAIN bisa berbicara lebih dalam soal ini.
Tabu di Jaman Rezim Orde Baru
Rezim Orde Baru (1966-1998) dikenal menabukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tionghoa, bahkan disebut “mempunyai masalah Tionghoa terbesar di dunia” (lihat kutipan di atas). Rezim ini menciptakan konglomerat2 Tionghoa (mayoritas Tionghoa totok).[3] ,sehingga kesan Tionghoa sebagai economic animal yg amat serakah menjadi sangat kuat. Akan tetapi orang sering lupa, bahwa konglomerat bisa bebas beraksi karena mendapatkan dukungan dari penguasa, birokrasi dan militer (dengan kompensasi pembagian keuntungan, tentunya!).
Rezim Orba juga memarjinalkan fakta bahwa golongan Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan nasion Indonesia, khususnya dalam bidang bahasa, pers dan sastra. Pers Tionghoa dalam bahasa Melayu ikut menyebarluaskan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak 1890-an. Dari penelitian Claudine Salmon (sejarawan Perancis) dalam periode 1870-an hingga 1960an, sastrawan Tionghoa peranakan telah menerbitkan lebih dari 3,000 judul karya sastra dalam bahasaa Melayu dari berbagai bentuk: sandiwara, syair, terjemahan karya-karya Barat atau Tiongkok, novel dan cerpen.[4] Ternyata hasil sastra inipun dinikmati oleh publik non-Tionghoa.[5] Hasil penelitian Claudine ini berhasil memperkenalkan genre sastra ini ke hadapan publik internasional. Ironisnya, hingga kini Sastra Melayu Tionghoa masih belum sepenuhnya diakui sebagai kesusasteraan Indonesia modern. Buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia (SNI) pun sama sekali tidak menyinggung berbagai sumbangan tersebut.[6] Pada periode Orba juga tidak banyak literatur yang tersedia tentang golongan Tionghoa, jadi keberadaan mereka kurang banyak dipahami masyarakat umum.
Kejatuhan Orde Baru ternyata diiringi dengan kemunculan kembali minat yg besar ttg soal-soal “ketionghoaan”, dengan bermunculannya berbagai kegiatan ilmiah dan publikasi bermacam bahan tentang sejarah, adat istiadat dan budaya Tionghoa, yang sebelumnya ditabukan, seperti yang sudah kita saksikan dalam film tentang Imlek di Semarang tadi.[7] Di pihak lain, kita disadarkan pula bahwa tidak banyak akademisi dari kalangan generasi muda –baik Tionghoa maupun non-Tionghoa–yg memfokuskan diri dalam bidang ini.[8] Dengan demikian kajian tentang Tionghoa tidak banyak tersedia di toko-toko buku. Oleh karena memang para akademisi belum banyak melakukan riset tentang komunitas Tionghoa di luar Jawa,[9] maka kajian yang ada masih bersifat “Jawa sentris” dan hanya ada satu dua studi tentang Sumatra[10] dan beberapa mengenai Kalimantan Barat.[11] Dari segi jender, kajian atau sumber-sumber tentang perempuan Tionghoa Indonesia masih sangat sedikit.[12] Namun hal yang menggembirakan, ternyata di kalangan Tionghoa (non-akademisi) juga terdapat beberapa peneliti dan pengamat yang cukup handal.[13]
Siapakah orang Tionghoa itu?
Siapakah orang Tionghoa itu? Banyak jawaban yang bisa diberikan, namun menurut penulis orang Tionghoa adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tionghoa, mempunyai darah Tionghoa (walaupun sudah banyak bercampur) dan mempunyai nama Tionghoa (namun banyak Tionghoa Indonesia yang lahir dimasa Orba tidak lagi mempunyai nama Tionghoa). Satu hal yang khas dari Tionghoa peranakan dari Indonesia (khususnya Jawa), bahwa mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Banyak cerita tentang peranakan dari Jawa, saat mereka melakukan perjalanan ke Singapura, Hongkong, RRT ataupun di Barat, selalu ditanya: “anda orang Chinese, mengapa tidak mampu berbahasa Mandarin?“[14]
Bagi generasi pra-Orba, istilah “Cina” jelas berkonotasi merendahkan, oleh karena itu mereka lebih suka disebut “Tionghoa”. Sejarah pemakaian kata “Tionghoa” berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Batavia pada tahun 1900. Pada saat itu istilah “Tjina” atau “Tjienna” –yang dipakai sejak lama– mulai dianggap merendahkan. Pada tahun 1928 Gubernur Jendral Hindia Belanda secara formal mengakui penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk berbagai keperluan resmi.[15] Penggunaan istilah “Tionghoa” ini hanya bertahan selama 38 tahun saja, karena di tahun 1966 Orde Baru kembali menggunakan istilah “Cina”. Menarik sekali bahwa istilah “Tionghoa” ini sangat khas Indonesia, karena di Malaysia dan Singapura istilah “Cina” masih lazim digunakan.
Heterogenitas Golongan Tionghoa
Orang awam seringkali kurang menyadari adanya realitas, bahwa Tionghoa di Indonesia bukanlah kelompok homogen, melainkan terdiri dari berbagai latar belakang: berdasarkan dialek (Hokkian, Hakka, Tiochiu, dll), agama (Konghuchu, Protestan, Katolik, Islam), budaya (peranakan, totok). Seringkali muncul pertanyaan: “Mengapa Tionghoa tidak pernah bisa bersatu?” Soal ini adalah impian lama yang akan selalu muncul. Dengan berbagai latar belakang tersebut, “persatuan” itu susah terwujud. Ironisnya, hanya sekali dalam sejarah “persatuan” itu terwujud, yakni pada jaman Jepang. Jepang memaksa berbagai organisasi Tionghoa untuk berkumpul menjadi satu, dalam Hua Chiao Tsung Hui (HCTH) atau dalam bahasa Jepangnya Kakyoo Sokai. Hal ini cukup ironis, karena “persatuan”ini disponsori oleh musuh.
Di awal abad XX THHK juga bercita-cita untuk “menggalang persatuan orang Tionghoa perantauan tanpa membedakan asal kampong dan provinsi di Tiongkok, juga tidak membedakan peranakan dan totok”.[16] Akan tetapi seperti diketahui, cita-cita ini sulit direalisasikan, berhubung beragam latar belakang historis, budaya, dan politik yang cukup rumit. Pertikaian antara kelompok Kuomintang (Pro-Taiwan)-Kungchangtang (Pro-Beijing) di Indonesia di tahun-tahun 1950an, yang kemudian muncul lagi di akhir pemerintahan Soekarno, cukup menarik untuk diceritakan.[17]
Adalah suatu hal yang menggelikan dan naif dimasa pemilu 1999, saat seorang pimpinan parpol “Partai Bhinneka Tunggal Ika” (PBI)–suatu partai yang berasaskan ketionghoaan– mengklaim bahwa partainya akan didukung oleh seluruh warga Tionghoa, sebanyak 4 juta pemilih. Kenyataannya, PBI hanya mendapat satu kursi di parlemen dari daerah Kalimantan Barat, yang memang banyak memiliki penduduk keturunan Tionghoa. Mengutip Mary Somers Heidhues, “…Didorong oleh pemerintah kolonial untuk berpikir bahwa mereka terpisah dari mayoritas orang Indonesia, didorong oleh pemerintah Tiongkok supaya berpikir sebagai warga Tiongkok, dan dipengaruhi secara historis oleh pengalaman yang berlainan, pada akhirnya komunitas-komunitas Tionghoa di Indonesia tidak pernah bisa bersatu.”[18]
Tionghoa sebagai Minoritas Perantara (Middlemen Minority):
Sejak lama golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial. Di jaman pra-kolonial orang Tionghoa sudah bekerja pada raja-raja kerajaan maritim, misalnya sebagai syahbandar. Sultan Hamengku Buwono I menugaskan orang Tionghoa untuk menarik pajak demi mengisi kas Kasultanan Yogyakarta yang barusaja didirikannya.[19] Kolonial Belanda yang memiliki keterbatasan sumberdaya manusia, melihat bahwa Tionghoa bisa menjadi peranatara antara mereka dengan golongan pribumi. Belanda menjual berbagai macam pacht (atau hak pengelolaan) jalan tol, candu, rumah gadai, dll. Akhirnya golongan Tionghoa, beberapa diantaranya menjadi sangat kaya karena memeras rakyat (atas perlindungan penguasa!) menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, namun dibenci oleh rakyat. Inilah yang memang diinginkan oleh penguasa, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” disaat terjadi kerusuhan menentang penguasa.
Kedudukan politik etnis Tionghoa yang demikian lemah menjadikannya sasaran empuk dalam setiap tindak kekerasan. Tanpa mempunyai perlindungan sedikitpun, etnis Tionghoa selalu dijadikan kambing hitam dan korban kesewenang-wenangan. Hal ini terus terjadi berulang kali.”[20] Dalam teori ilmu sosial sebagai fenomenan ini disebut “middlemen minority”:[21]
Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara [middle status] diantara kelompok dominan yang berada di puncak hirarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut “minoritas perantara” [middlemen minorities]
Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate niche] dalam sistem ekonomi. . .Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang (mindring) dan profesional independen. Dengan demikian minoritas perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat. Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi mereka yang berada di puncak (elit) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat . . .Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka adalah. . .kambing hitam alami [natural scapegoat] . Mereka secara jumlah maupun secara politis tidak berdaya dan oleh karena itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis mereka masih dibutuhkan.
Tanpa memahami hakekat etnis Tionghoa selaku “minoritas perantara”, orang akan mudah menuding dan menyalahkan mereka, sebagai “oportunis”. Sebagai contoh, Abu Hanifah, seorang tokoh nasionalis-Islam menulis s.b.b:
“…sebagian besar Tionghoa di Indonesia benar-benar tidak mempunyai loyalitas [had no sense of loyalty]. Pada jaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah “kaum oportunitis yang tidak bisa diperbaiki” [incorrigible opportunists][22]
Pandangan serupa dengan Hanifah cukup populer di kalangan umum. Mereka melihat keberadaan Tionghoa secara hitam-putih (pahlawan atau pengkhianat), tanpa memahami mereka sebagai “minoritas perantara” yang muncul sebagai produk kolonial. Golongan perantara ini akan selalu merasa terancam dari pihak di luar kelompoknya (out-group hostility), maka siapapun yang bisa memberi jaminan keamanan dan stabilitas, dialah yang akan mereka ikuti. Tidak ada pilihan lain yang tersedia, karena ini adalah masalah “survival” dan tidak bisa ditafsirkan secara simplistis berdasarkan prasangkan hitam-putih (loyal-tidak loyal). Seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel, menggambarkan posisi “serba salah” yang dialami etnis Tionghoa:
“…Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka”.[23]
Kekerasan atas Tionghoa dan “Koloborasi”: Kasus Jaman Jepang
Saat-saat dimana “law and order” absen, adalah periode yang mengerikan bagi “middleman minority”. Sebagai ilustrasi, ijinkanlah kami mengajak anda semua ke masa penjajahan Jepang (1942-1945). Periode ini memberikan banyak contoh, bagaimana “jaminan keamanan” bisa mengalihkan loyalitas middleman minority, bahkan terhadap musuh besarnya sekalipun, selama mereka mampu menyediakan keamanan. Pada saat-saat kedatangan balatentara Jepang (Maret 1942), aparat keamanan kolonial tiba-tiba menghilang (bandingkan dengan Jakarta, Mei 1998), mereposisikan Tionghoa dari “middlemen minority” menjadi “defenceless minority” (minoritas tanpa perlindungan)
Aksi kekerasan terhadap Tionghoa muncul dalam berbagai manifestasi, antara lain: perampokan, pembunuhan. Namun ada juga kekerasan dalam bentuk lain, yakni “sunat paksa” yang terjadi di berbagai daerah: Bekasi[24], Kudus[25], pantai utara Jawa Tengah[26], Jombang[27], Kediri[28]. Di luar Jawa aksi serupa juga berlangsung dalam skala yang lebih hebat, namun dengan alasan yang berbeda. Lelaki dewasa Tionghoa di daerah Kandangan (Kalimantan Selatan) melakukan “gerakan sunat sukarela” dengan alasan supaya tidak diganggu Jepang[29]. Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya perkosaan wanita Tionghoa, misalnya di Bekasi (50 orang) dan di pantai utara Jawa Tengah[30]. Selain itu juga terdapat penyanderaan yang dilakukan oleh gerombolan perampok[31]. Puncak kekerasan adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa di masa vakum tersebut, misalnya di Kudus, Bekasi, Jombang dan Aceh[32]. Di Jawa Barat orang Tionghoa “membeli keamanan” dengan jalan membayar perampok untuk menjaga harta bendanya[33].
Di saat-saat tegang tersebut, balatentara Jepang dengan cepat dan tegas membasmi segala bentuk gangguan “kamtibmas” tanpa pandang bulu. Sebenarnya tindakan mereka itu bukan ditujukan untuk melindungi Tionghoa per se, namun demi melancarkan jalannya roda pemerintahan, khususnya perekonomian. Di mata orang Tionghoa, tentara Jepang—yang sebelumnya dianggap “musuh besar” karena menginjak-injak Tiongkok—kini secara ironis dianggap sebagai “pelindung”. Di pihak lain, sekarang mereka lebih melihat orang Indonesia sebagai “ancaman”[34] Pendeknya, “minoritas perantara” akan berkolaborasi dg penguasa atau siapapun yg mampu menawarkan rasa aman. Faktor serupa juga yang melatarbelakangi dukungan Tionghoa pada Golongan Karya (Golkar) di masa Orde Baru[35]. Namun tragisnya Peristiwa Mei 1998 membuktikan, walaupun middlemen minority telah membayar “upeti” kepada penguasa, namun mereka sama sekali tidak mempedulikannya[36].
Hubungan Pribumi–Tionghoa
Hubungan Tionghoa-pribumi diwarnai dengan pasang surut sejak jaman kolonial hingga dewasa ini. Dalam beberapa episode terjadi benturan yang cukup memprihatinkan, hingga jatuh korban jiwa. Akan tetapi tidak seluruhnya benar bahwa hubungan Tionghoa dengan pribumi, maupun Tionghoa dengan Islam selalu diwarnai dengan ketegangan. Saya akan memberikan beberapa contoh hubungan “harmonis” yang belum banyak diketahui.
Pada abad XVII banyak Tionghoa yang memluk agama Islam[37]. Hal ini terbukti dari kata “peranakan” yang pada awalnya ditujukan pada Tionghoa Muslim. Dalam sensus penduduk abad XVII Belanda membedakan antara “Tionghoa” (Chineezen) dengan “peranakan”(Tionghoa muslim) , misalnya di Sumenep (Madura) yang cukup banyak terdapat peranakan[38]. Di Batavia, berhubung jumlah penduduk Tionghoa Muslim cukup banyak, maka diangkatlah seorang opsir untuk komunitas ini. Kapten terakhir peranakan bernama Muhammad Japar (abad XIX). Beberapa Bupati dari pesisir jelas mempunyai darah Tionghoa. Ada pula beberapa Tionghoa yang karena dekat dengan aristokrasi lokal, akhirnya masuk Islam dan mengubah namanya menjadi nama Jawa. Misalnya Bupati Kota Yogyakarta pada jaman Sultan Hamengku Buwono II, Raden Tumenggung Setjadiningrat (alias Tan Jin Sing). Adipati Bangil dan Bupati Tegal adalah generasi kedua dari keluarga Han Siong Kong (lahir di Tiongkok 1673- wafat di Lasem1744). Keluarga Muslim Tionghoa bermunculan juga saat pecahnya Perang Diponegoro. Beberapa orang Tionghoa yang berjasa pada raja mendapatkan gelar dan tanah dan kemudian masuk Islam. Misalnya Keluarga Tjan dari Pajang (Surakarta). Dari keluarga ini muncul seorang inisiator pertunjukan wayang orang untuk publik, yakni Gan Kam. Dua orang diantaranya menjadi guru besar di alam Indonesia merdeka. Salah satunya adalah Prof Tjan Tjoe Siem, yang di tahun 1960an mengajar di IAIN Sunan Kalijaga. Beliau wafat saat mengambil air wudhu di tahun 1978[39].
Pada abad XVIII Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam. Pada waktu itu, Belanda mengenakan pajak untuk kucir orang Tionghoa. Apabila seorang Tionghoa memeluk Islam—apapun motivasinya—maka ia akan memotong kucir itu. Dengan demikian Belanda akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya[40]. Selain itu perkawinan antara Muslim dengan Tionghoa juga dilarang pada abad yang sama[41]. Belanda rupanya takut kalau kedua pihak itu bersatupadu, maka dicari jalan supaya mereka tetap terpisah. Berbagai peraturan itu semakin menjauhkan Tionghoa dari pribumi. Menariknya di tahun 1930an banyak bermunculan gerakan Muslim Tionghoa, yang muncul diluar Jawa. Di Sulawesi, Ong Kie Ho (kelahiran Toli-toli) mendirikan Partai Islam. Penguasa takut akan aktivitasnya dan dia dibuang ke Jawa tahun 1932. Di Medan tahun 1936, seorang Tionghoa totok, Yap A Siong dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Islam Tionghoa. Di tahun 1933 di Makassar berdirilah Partai Tionghoa Islam Indonesia (PITII). Setahun kemudian PITII mendirikan suatu “Sekolah Melayu” dan di tahun 1936 menerbitkan media bernama “Wasilah”[42].
Masih banyak lagi contoh-contoh hubungan harmonis yang kebetulan berasal dari daerah Yogyakarta, daerah dimana saya dilahirkan.
Dr Wahidin Sudirohusodo, tokoh penting dibalik berdirinya organisasi Budi Utomo, adalah sahabat baik komunitas Tionghoa di Yogyakarta. Tempat prakteknya terletak di tengah-tengah daerah Ketandan (Pecinan) Yogyakarta (Tjeng, 1958: 44-45). Obituari beliau yg ditulis oleh Ki Hajar Dewantara (Suryaningrat, 1981: 21-22) menyebutkan, Dr Wahidin dikenal juga sebagai seorang “mediator” urusan rumah tangga yang baik. Misalnya ada pasangan Tionghoa yang cekcok, beliau tidak segan-segan datang kerumah untuk mendamaikan mereka. Beliau dipandang sebagai seorang sahabat oleh kalangan Tionghoa. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, sewaktu beliau wafat, dijumpai banyak sekali pelayat Tionghoa.
Ketika di Kota Solo terjadi berbagai aksi anti Tionghoa (1913) yang dilakukan oleh Sarekat Islam, di Yogyakarta keadaan tetap tenang. Bahkan Sarekat Islam cabang Yogyakarta mementaskan suatu pertunjukan amal dengan perkumpulan drama Tionghoa, “Bok Sie Hwee”, yang separuh hasilnya akan disumbangkan pada pengajaran netral pribumi dan organisasi pribumi lainnya (Sarekat Islam Lokal, 1975: 348; Surjomihardjo, 1988: 158). Di Batavia, deklarasi Sarekat Islam setempat malah dilakukan di gedung THHK, dalam acara yang diorganisir oleh organisasi Tionghoa. Dalam acara tsb, masing2 pihak mengucapkan pidato dan harapannya akan hubungan yang lebh baik antara Indonesia-Tionghoa di masa depan (Sumartana, 1994: 202).
Hubungan Muhammadiyah dengan komunitas Tionghoa di Yogya pada masa kolonial juga cukup baik. Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari orang Tionghoa di Ngabean, daerah dimana Muhammadiyah bermarkas (Asrofie, 1983: 66-67). Sesudah terjadinya huru-hara di Kudus (1918), pada tahun selanjutnya Muhammadiyah merangkul organisasi Tionghoa di Yogya dan Insulinde (perkumpulan multi-ras dibawah pimpinan Dr Tjipto Mangunkusumo) untuk membentuk suatu front bersama untuk memajukan hubungan baik diantara ras yang berbeda (Sim, t.t., 36). Terbitan tahunan berupa Almanak Muhammadijah banyak diisi iklan yang dipasang oleh pengusaha Tionghoa dari berbagai tempat (Almanak 1358/1939-40: halaman iklan).
Pada tahun 1925 terjadi suatu persekutuan yang cukup spektakuler antara Muhammadiyah dengan Tionghoa Yogyakarta melawan penerbit Belanda, Buning (Alfian, 1989: 206-07). Dalam salah satu terbitannya, Buning memuat “Serat Darmogandul” yang isinya di satu pihak menghina Islam (yang dituduh menghancurkan Majapahit dan memunculkan kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak) serta di pihak lain menjelekkan Tionghoa, karena ibu dari Raden Patah, raja pertama Demak, adalah “Putri Cina”. Makanya dalam hal ini, orang Tionghoa dituduh ikut berperan menghancurkan Majapahit. Seorang Tionghoa melapor soal terbitan ini ke tokoh Muhammadiyah, yang lalu membawanya ke Kongres Muhammadiyah, yang kebetulan saat itu sedang berlangsung di Yogyakarta. Sebagai buahnya, kedua belah pihak mendirikan “Comite Penjegah Penghinaan”, dibawah pimpinan H.Soedja dan seorang Tionghoa. Akhirnya penerbit Buning meminta maaf dan menarik terbitan yg kontroversial tersebut. Sungguh suatu kerjasama yang unik, yang entah kapan bisa terulang lagi. Di akhir dekade 1920-an, dalam rangka menyebarkan dakwah dikalangan Tionghoa, muncul ide dari Muhammadiyah untuk membuat sekolah dasar Tionghoa berdasarkan Islam (HCS met de Koran). Namun oleh karena berbagai kendala, proyek ini tidak pernah terwujud.
Pendiri Perguruan “Taman Siswa”, yakni Ki Hadjar Dewantara, adalah sahabat dekat Dr Yap Hong Tjoen (yang kemudian terkenal dengan RS Mata “Yap” di Yogyakarta). Sewaktu tinggal di Belanda, keduanya pernah bekerja bersama-sama dalam satu majalah “Het Indonesische Verbond van Studeeren” (Perhimpunan Pelajar Indonesia) (Jonkman, 1971: 32-33). Di tahun 1970-an, putra Dr Yap menyerahkan dokumentasi mengenai Ki Hadjar kepada Museum Taman Siswa di Yogyakarta sebagai tanda persahabatan orang tuanya.
Tidak ketinggalan kaum wartawan juga berusaha menghapus garis batas rasial. Di bulan Agustus 1928 dibentuklah “Perserikatan Djurnalis Asia”, dengan anggota baik Indonesia maupun Tionghoa. Di bulan Oktober 1928 perkumpulan ini mengadakan rapat di gedung sositeit Tionghoa, dengan pembicara Mr Ali Sastroamidjojo (kemudian menjadi Perdana Menteri di tahun 1950-an), dan dihadiri oleh sekitar 150 orang Indonesia dan Tionghoa (Poeze, 1982: 391, 418, 445).
Penulis ingin menambahkan lagi ilustrasi hubungan Bung Karno dengan orang-orang Tionghoa sebelum Indonesia merdeka. Pemimpin Redaksi Sin Po, Kwee Kek Beng, menulis dalam otobiografinya, bahwa Bung Karno di akhir dekade 1920an mendatangi Sin Po dan mengharapkan dukungan atas satu majalah yang hendak diterbitkannya. Disebutkan Kwee, bahwa Bung Karno “ingin sekali rapatkan perhubungan dengan bangsa kita [Tionghoa] dan dengan Tiongkok”. Sehubungan dengan Sin Po ini, patut diingat bahwa lagu Indonesia Raya dimasyarakatkan pertama kali dalam majalah mingguan Sin Po, karena W.R. Supratman waktu itu bekerja di media tersebut[43].
Liem Seeng Tee –seorang Tionghoa totok pemilik pabrik rokok “234” (Djie Sam Soe) di Surabaya, juga pernah membantu perjuangan politik bangsa Indonesia. Di tahun 1933, saat Partindo hendak mengadakan rapat akbar di Surabaya, susah sekali mendapatkan gedung pertemuan yang bisa menampung banyak orang. Mendengar hal tsb, Liem mengijinkan gedung bioskap “Sampoerna” kepunyaannnya sebagai tempat rapat akbar tsb[44]. Pada saat dia wafat di tahun 1951, Bung Karno mengirimkan karangan bunga tanda duka cita[45].
Cerita ketiga didapat dari penuturan Riwu, anak angkat Soekarno dari tempat pembuangannya di Ende (Flores)[46]. Pada saat itu Bung Karno mempunyai beberapa “murid” Tionghoa. Salah satu diantaranya adalah seorang pedagang hasil bumi. Setiap kali dia menjadi penghubung antara Bung Karno dengan rekan-rekan pergerakan di Jawa. Bila ada surat dari Jawa, orang Tionghoa ini memasukkannya ke dalam buah semangka dan pura-pura menjual semangka itu kepada Ibu Inggit (istri Bung Karno waktu itu). Dengan demikian Bung Karno tetap bisa mendapatkan kabar uptodate tentang perkembangan politik di Jawa.
Harap diingat, waktu itu Bung Karno sama sekali belum menjadi Presiden, bahkan masih dalam keadaan susah. Jadi hubungan itu tidak bermotifkan mencari untung atau mencari komisi.
Selain hubungan yang cukup harmonis di atas, penulis akan memberikan beberapa contoh sebaliknya. Pada Jaman Jepang terjadi benturan yang membawa korban. Pemberontakan PETA di Blitar (Februari 1944) ternyata mengandung unsur anti-Tionghoa. Orang-orang Tionghoa menyuplai perempuan penghibur (jugun ianfu) kepada tentara Jepang. Entah apa motivasi mereka melakukan itu, apakah dipaksa Jepang, atau demi “menjilat” Jepang. Menurut pengakuan Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dalam memoir mereka, penguasa Jepang sering memberi perintah kepada pemimpin Hua Ch’iao Tsung Hui (HCTH), organisasi Tionghoa jaman Jepang, untuk menyuplai jugun ianfu. Sebagai akibatnya, beberapa orang Tionghoa tewas dalam pemberontakan legendaris yang dipimpin Supriyadi tersebut (Anderson, 1961: 46-47; Pakpahan, 1987: 138; Kwartanada, 1995: 34).
Di pihak lain, perlu diingat bahwa kebanyakan partai politik pada masa pergerakan menolak orang Tionghoa (maupun golongan minoritas asing lainnya) sebagai anggota penuh. Partai Nasional Indonesia (PNI, yang dipimpin Bung Karno, ironisnya hanya menerima Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hanyalah Indische Partij (IP), PKI dan Gerakan rakyat Indonesia (Gerindo) yang mau memerima golongan Tionghoa sebagai anggota penuh[47]. Kebijaksanaan partai politik waktu itu juga berakibat menjauhnya golongan Tionghao dari nasionalisme Indonesia.
Tidak Banyak Hal yg Baru dlm Soal Policy Tionghoa
A. Kantor Urusan Tionghoa dari Jaman ke Jaman
A.1. Jaman Belanda: Kantoor voor Chineeesche Zaken
Kantor ini bersikap paranoid terhadap peranakan Tionghoa dan banyak menuai protes dari kaum peranakan: misalnya H.H. Kan—seorang tokoh peranakan Pro-Belanda–menghimbau supaya KCZ lebih bersikap sebagai “kawan” daripada “mata-mata” pemerintah. Suara lain mengibaratkan KCZ bagaikan anjing penjaga yg sebaiknya “dirantai” saja (Lohanda, 2002: 230-31).
A.2. Jaman Jepang: Kakyo Han
Keberadaannya cukup misterius dan tidak banyak sumber tersedia. Orang Tionghoa menyebutnya Hua Ch’iao Pan. Pemimpinnya bernama Toyoshima, yang menguasai dengan baik budaya dan bahasa Tionghoa. Diantara stafnya terdapat juga orang Tionghoa, termasuk Liem Koen Hian dari Partai Tionghoa Indonesia (PTI) (Kwartanada, 1997: 266-68). Bung Hatta menyebut dalam memoirnya (1982: 416), bahwa Kantor ini banyak menangkapi orang Tionghoa
A.3. Jaman Orba: Badan Kordinasi Masalah Cina (BKMC)
Dalam usahanya mengontrol golongan Tionghoa, maka didalam satuan intel Orde Baru (BAKIN) didirikan satu kantor urusan Tionghoa, yang disebut BKMC. BKMC ini mengamati peredaran barang-barang cetakan berbahasa Mandarin, termasuk juga satu-satunya korang Mandarin jaman Orba, Harian Indonesia (Yindunxia Jih-pao). Pada saat kalangan beragama Budha terjadi perpecahan, BKMC juga ikut bermain didalamnya. Keberadaan BKMC (Setiono, 2003: 994) ini banyak menuai kritik dalam masa reformasi. Namun sayang sekali tidak banyak yang diketahui tentang aktivitas BKMC. Semoga akan muncul penelitian tentang institusi yang misterius ini.
B. Kebijaksanaan Budaya Tionghoa
Di tahun 2003 Megawati menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi dalam sejarah Indonesia. Jaman pendudukan Jepang diwarnai dengan berbagai usaha “resinifikasi” (pencinaan kembali) peranakan Tionghoa yang dianggap sudah terlalu banyak dipengaruhi kebudayaan Barat (Kwartanada, 1997: 306-11). Untuk itu antara lain Jepang mendorong kaum peranakan Tionghoa untuk belajar bahasa Tionghoa dan juga menghidupkan kembali berbagai bentuk budaya Tionghoa. Musik tradisional Tionghoa diijinkan untuk dimainkan di stasiun radio milik pemerintah, padahal di jaman Belanda tidak ada kesempatan seperti itu. Acara kesenian tradisonal seperti Barongsai seringkali ditampilkan adalam acara-acara resmi pada jaman Jepang (bandingkan dengan masa Reformasi ini), misalnya dalam acara peringatan pecahnya Perang Pasifik maupun peringatan pendaratan Jepang di Jawa.
Langkah yang cukup spektakuler adalah menjadikan hari raya Imlek 1943 sebagai hari libur resmi (keputusan Osamu Seirei no. 26 tanggal 1 Agustus 1942). Inilah pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, dimana Imlek menjadi hari libur resmi (bandingkan dengan di masa Reformasi). Di jaman belanda hal serupa tidak pernah terjadi Lebih hebatnya, di hari Imlek tersebut, seluruh penduduk Yogyakarta (tidak hanya Tionghoa saja!), diminta mengibarkan bendera Jepang. Seorang propagandis Tionghoa menyebut saat itu sebagai “perayaan tahun baru Imlek pertama dalam suasana baru” (Tjeng, 1943). Disini letak ironisme Jaman Jepang, yang sebelumnya dianggap sebagai musuh besar kaum Tionghoa, malah bertindak sebagai pihak yang membangkitkan kembali aktivitas budaya Tionghoa.
Di masa awal revolusi, pemerintah RI juga mengijinkan perayaan hari raya Tionghoa. Misalnya Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat supaya kantor pemerintah mengibarkan bendera nasional Republik Tiongkok disamping Sang Merah Putih pada setiap perayaan hari lahirnya Republik Tiongkok. Demikian juga orang Tionghoa “boleh mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa”. Seperti juga di jaman Jepang, Imlek dijadikan hari libur resmi. Dalam tahun ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi Konghucu dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi (Kwartanada, 1997: 485).
C. Surat Bukti Kewarganeraaan Republik Indonesia (SBKRI)
SBKRI yang masih tetap kontroversial sampai sekarang, akarnya ternyata berasal dari Jaman jepang. Pada saat itu diadakan pendaftaran bangsa asing (Undang2 no. 7, 1942), dimana orang Tionghoa lelaki membayar f. 100 dan wanita f. 50 (boleh dicicil). Dengan membayar biaya tsb, mereka akan mendapat kartu identitas dan “keamanannya akan dijamin Dai Nippon”.
D. Perbedaan antara jaman Jepang-Orde Baru
Di atas sudah kami bahas beberapa “kemiripan” antara Jm Jepang dengaan Orba. Namun ada beberapa perbedaan yg sangat mendasar, yakni Jepang menganjurkan resinifikasi (pencinaan kembali), namun Orba justru melakukan desinoisasi (melarang segala yg berbau Tionghoa), termasuk mendorong program asimilasi. Perbedaan lain, di jaman Jepang, pemerintah mendorong berkembangnya kelas menengah pribumi dan menekan pengusaha Tionghoa. Sebaliknya, Orba “merangkul” sekelompok pengusaha Tionghoa, karena ingin menghindari munculnya kelas menengah pribumi yang kuat (yang berpotensi sebagai ancaman).
Penutup
saya ingin mengutip tulisan Benny Setiono aktivis Tionghoa dari Jakarta, bahwa “untuk mencapai Indonesia Baru yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN, bersih dari segala bentuk kekerasan serta selalu menjunjung tinggi tegaknya Hukum dan HAM. . . . etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia harus secara aktif turut mengambil bagian, bergandeng tangan dan bahu-membahu bersama-sama komponen bangsa lainnya, berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut.”[48] Kami setuju dengan pendapat tersebut dan berharap, bahwa pemerintah juga akan membuka berbagai macam pekerjaan yang selama ini relatif tertutup bagi etnis Tionghoa dan vice versa, supaya etnis Tionghoa tidak terkonsentrasi di ladang ekonomi saja[49]. Selain itu golongan Tionghoa hendaknya juga berjuang demi demokrasi dan civil society. Dalam hal ini hendaknya perjuangan jangan hanya bersifat “Tionghoa-sentris” saja, namun bersifat terbuka, misalnya ikut concern dalam soal 1965, soal HAM di Aceh, Maluku, dll. Dengan demikian perjuangan tersebut tidak bersifat eksklusif. Penderitaan orang Tionghoa adalah duka Indonesia dan sebaliknya. Demikian pula kegembiraan orang Tionghoa juga kegembiraan Indonesia. Oleh karena Tionghoa adalah bagian integral, yang tak terpisahkan dari tanah air Indonesia!
Sudah saatnya semua elemen di Indonesia bergandeng tangan, bersatu padau, tanpa memandang latar belakang, demi mencapai Indonesia Baru.
Merdeka!
———————————
Notes:
* PhD candidate, History Department, FASS, 11 Arts Link, National University of Singapore (NUS), Singapore 117570.
[1] Wang Gungwu, “’Are Indonesian Chinese Unique?’: Some Obeservations”, dalam kumpulan karangannya, Only Connect! Sino-Malay Encounters (Singapore: Times Academic Press, 2001), h. 277. Artikel tsb pertama kali terbit di tahun 1976.
[2] “Mely G.Tan, “Pengantar”, dalam Mely G.Tan (ed.), Golongan Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Gramedia LEKNAS-LIPI).
[3] Nama-nama seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Proyoga Pangestu, Tommy Winata adalah dari golongan totok. William Suryadjaja adalah perkecualian, yakni dari peranakan yang berpendidikan Belanda. Bob Hasan, walaupun secara etnis adalah Tionghoa peranakan, namun diangkat anak oleh Jendral Gatot Subroto.
[4] Claudine Salmon, Literature in Malay by the Peranakan Chinese in Indonesia (Paris: EHESS, 1981). Sebagian isinya telah diterjemahkan oleh Dede Oetomo, Sastra Cina Peranakan dalam bahasa Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).
[5] Di Perpustakaan Museum Taman Siswa Yogyakarta masih tersimpan buku-buku roman Melayu Tionghoa koleksi Ki Hadjar Dewantara. Beliau membeli buku-buku tersebut dari suatu Taman Bacaan di Yogyakarta pada wal tahun 1950an.
[6] Didi Kwartanada, “Golongan Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa 1942-1945”, dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta: Kanisius-Realino, 1997).
[7] Ironisnya, pada saat yang sama kita juga melihat berlanjutnya “Amnesia Sejarah” di sebagian kalangan masyarakat Tionghoa, misalnya kasus rencana pemindahan Gedung Candra Naya dan Makam Kapten Bencon (Souw Beng Kong) yang merana.
[8] Dari kalangan peneliti senior Tionghoa, dapat disebutkan misalnya Onghokham, Mely Tan, Go Gien Tjwan, Myra Sidharta dan Mona Lohanda. Dewasa ini ada beberapa disertasi mengenai Tionghoa yang sedang dikerjakan oleh mahasiswa Indonesia di berbagai universitas di manca negara, antara lain Andreas Susanto (sosiologi, Nijmegen), Vidhyandika Perkasa (antropologi, Monash), Widjajanti Dharmowijono (Sastra, Amsterdam) dan kami sendiri (sejarah, NUS).
[9] Claudine Salmon adalah peneliti yang sangat produktif dan telah banyak melakukan riset tentang Tionghoa di luar Jawa, seperti Bali (bersama Myra Sidharta), Makassar dan Timor (bersama Anne Lombard).
[10] Adalah suatu hal yang mengherankan, walaupun cukup terkenal, namun –sejauh pengetahuan kami–belum ada satu kajian historis yang memadai tentang etnis Tionghoa di Medan atau Sumatra Utara. Semoga akan muncul satu atau lebih peneliti yang akan menulis topik tsb.
[11] Beberapa kajian tentang Tionghoa di Kalimantan Barat baru saja diterbitkan, Mary Somers. Golddiggers, Farmers, and Traders in the ‘Chinese Districts’ of West Kalimantan, Indonesia (Ithaca: SEAP Cornell, 2003), buku ini membicarakan periode abad ke-18 hingga tahun 2000. Jamie Davidson telah menulis artikel tentang kekerasan di Kalimantan Barat, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan (ditulis bersama Douglas Kammen), Indonesia 73 (April 2002), pp.53-87. Tulisan ini menjelaskan secara detil proses terjadinya pembantaian “ribuan” Tionghoa di Kalbar, yang dilakukan oleh suku Dayak yang diprovokasi oleh militer. Selain itu masih banyak Tionghoa yang tewas di dalam “kamp pengungsi” karena kelaparan.
[12] Jurnal Archipel (Paris) telah menerbitkan beberapa artikel tentang sejarah perempuan Tionghoa. Myra Sidharta sudah banyak menulis tentang perempuan Tionghoa peranakan. Baru-baru ini kami mendapatkan dua buku biografi perempuan Tionghoa Indonesia yang diterbitkan di Singapura oleh penerbit yang relatif kecil, sehingga keberadaannya kurang banyak diketahui. Freda Hatfield Tong, Sons for the Master (Singapore: Path Seekers, 2001) dan Hu Siu Ing, The Passage of Time (Singapore: Singapore Asian Publications, 2001). Memoir pertama adalah tentang seorang perempuan peranakan, ibunda dari Pendeta Stephen Tong. Memoir kedua cukup langka, karena ditulis oleh seorang perempuan Totok yang lahir di Tiongkok serta besar di Jawa Barat.
[13] Bisa disebutkan nama lain, misalnya David Kwa Kian Hauw (Jakarta), serta Budi Kho Djie Tjay (Magelang), yang menguasai dengan baik bahasa dan tulisan Mandarin.
[14] Ien Ang, seorang Tionghoa kelahiran Indonesia, yang dibesarkan di belanda dan sekarang mengajar di Australia telah menulis buku yang sangat memikat, berjudul On Not Speaking Chinese (Surrey: RoutledgeCurzon, 2001).
[15] Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 (Glencoe: 1960), p.61; Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore: 2002), h.372.
[16] Benny Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2003), h.301.
[17] Topik ini masih sangat sedikit dikaji, satu diantaranya V.Hanssens, “The Campaign Against Nationalist Chinese in Indonesia”, dalam B.H.M.Vlekke (ed.), Indonesia’s Struggle 1957-1958 (The Hague: NIIA, 1959), h.56-76; Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis (Sydney: Allen and Unwin).
[18] Terjemahan bebas oleh penulis, lihat tulisan Somers “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West Kalimantan, 1945-46”, makalah pada Konperensi NIOD, Amsterdam, 29 April 2003, h.1-2.
[19] Peter Carey, “Changing Perceptions of …”, Indonesia 1984.
[20] Benny Setiono, Tionghoa, h.611.
[21] Dikutip dari Martin N. Marger, Race and Ethnic Relations (Californis: 1994), h.51-52. Istilah “middleman minority” pertama kali dipakai oleh sosiolog AS Howard P.Becker (1940). Ada beberapa istilah lain yang dipakai misalnya “Trading Minorities” (W.F. Wertheim), “Minorities in the Middle” (Walter P. Zenner). Untuk kajian lebih lanjut lihat Walter P.Zenner, Minorities in the Middle: A Cross-Cultural Analysis (New York: SUNY Press, 1991). Beberapa ahli sudah mengkritik teori ini, lihat Mona Lohanda, Growing Pains (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002), h.19. Akan tetapi kami beranggapan teori ini bisa diterapkan bagi minoritas keturunan asing, misalnya Tionghoa di Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian ia tidak cocok diterapkan untuk semua kelompok perantara, misalnya orang Jepang di jaman Hindia Belanda (“toko Jepang”) atau orang Madura di Kalimantan Barat.
[22] Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson 1972), h.253 (terjemahan bebas dari kami)
[23] Charles Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h.53.
[24] Twang Peck Yang, “Indonesian Chinese Business Communities in Transformation, 1940-1950”, PhD Thesis (Canberra: Australian National University, 1987), h.46 catatan 28, menceritakan adanya 20 orang Tionghoa totok asal Shantung yang sedang mengungsi lewat Bekasi telah disunat secara paksa dan ditangkap.
[25] G.Pakpahan, 1261 Hari dibawah Matahari Terbit (Jakarta: Marintan Jaya, 1979), h.39.
[26] Lawrence Yoder, Tunas Kecil: Sejarah Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: 1980), h.120-122.
[27] E.Touwen-Bouwsma, “The Indonesian Nationalists and the Japanese ‘Liberation’ of Indonesia: Vision and Reactions”, JSEAS, Maret 1996, h.10. Disebutkan bahwa penyunatan paksa dilakukan oleh anggota Nahdatul Ulama (NU).
[28] Suharyo Padmodiwiryo, Memoir Haryo Kecik Volume 1 (Jakarta: Obor, 1995), h.12.
[29] Soemarno Sosroatmodjo, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (Jakarta: Gunung Agung, 1981), h.249.
[30] Twang Peck-yang, loc.cit.; Lawrence Yoder, op.cit., h.122; Victor Purcell, Chinese in Southeast Asia. Second Edition (London: Oxford, 1965), h.472.
[31] Twang Peck-yang, loc.cit., menyebutkan di Bekasi sekitar 1,000 orang Tionghoa dikurung didalam klenteng oleh ribuan orang Indonesia. Hong Po, 15-5-1942 melaporkan pertolongan Kenpeitai (polisi rahasia Jepang) atas Tionghoa Tangerang yang disandera para perampok dan sekaligus menumpasnya. Hal ini berarti para perampok masih bergentayangan selama dua bulan pertama pendudukan.
[32] Lihat berturut-turut, Pakpahan, loc.cit., Twang, op.cit., h.46 catt.28 menyebutkan dibunuhnya pemimpin Tionghoa di Bekasi. Robert Cribb, Gangsters and Revolutionaries (Honolulu: 1991), h.39 menyebutkan dibunuhnya beberapa tuan tanah di bekasi dan beberapa kaki tangannya. Di Jombang, beberapa pemilik toko ikut dibunuh, Touwen-Bouwsma, loc.cit. Di Idi (Aceh) beberapa orang Tionghoa tewas dibunuh, termasuk seorang letnan Tionghoa, A.J.Piekaar, Atjeh en de Oorlog met Japan (‘s Gravenhage: 1949), h.146.
[33] Twang, op.cit., h.44, 62.
[34] Tan Po Goan, “Chinese Problems in Indonesia”, The Voice of Free Indonesia, 1 November 1946, h.20-25.
[35] Arief Budiman, “The Emegence of the Bureaucratic Capitalist State in Indonesia”, dalam Lim Teck Ghee (ed.), Reflections on Development in Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 1988). Penguasa Orde Baru menyadari bahwa munculnya kelas menengah pribumi yang kuat akan membahayakan eksistensinya. Di pihak lain, terdapat golongan Tionghoa yang cukup mapan secara ekonomi tidak mempunyai kekuasaan politik. Maka mereka “dirangkul” dan diberi keistimewaan dalam bisnis, dan sebaliknya membantu rezim penguasa (plus oknum-oknumnya) dengan aliran dananya. Kerjasama yang “sumbang” ini bukannya mengamankan posisi mereka, bahkan semakin memperbesar kebencian massa kepada etnis Tionghoa.
[36] Bandingkan dengan peristiwa pembantaian Tionghoa 1740 yang termashur, “Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah orang-orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, namun tanpa belas kasihan dan tanpa menjunjung moral serta peri kemanusiaan, mereka menyerahkan orang-orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititipkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri”, Benny Setiono, Tionghoa, h.114.
[37] Sumber paling detil tentang subjek ini adalah Denys Lombard dan Claudine Salmon, Ïslam and Chineseness”, dalam Alijah Gordon (ed.), The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago (Kuala Lumpur: Malaysia Sociological Research Institute, 2001); Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Tunjung Sari, 1979).
[38] Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Sejarah Islam (Jakarta: Bulan Bintang)
[39] “Prof Tjan Tjoe Siem”, dalam Rosihan Anwar, Quartet: Pertemuan dengan Empat Sahabatku (Jakarta: Yayasan Soedjatmoko, 1999)
[40] Steenbrink, Beberapa Aspek,
[41] C.W.Th.Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbledam, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (Den Haag: Nijhoff, 1947), h.187-88.
[42] Lombard dan Salmon, Ïslam”, h.198.
[43] Kwee Kek Beng, Doea Poeloe Lima Taon Sebagi Wartawan (Batavia: Kuo, 1947), h.35-36.
[44] New Light Magazine, 1947
[45] Wawancara dengan Sinta Dewi Sampoerna, puteri Liem Seeng Tee, 1996.
[46] Penuturan Riwu dimuat bersambung di Jawa Pos (Surabaya) sekitar tahun 1992.
[47] Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti Pers, 1986).
[48] Benny Setiono, Tionghoa, h.1077.
[49] Kami ingin menyampaikan rasa hormat secara pribadi kepada Bpk Abdurrachman Wahid, ketika Orde Baru sedang berada di puncaknya, sudah berani menyuarakan ide tersebut di atas. Abdurrachman Wahid, “Beri Jalan Orang Cina”, Editor, 33, 21 April 1990, yang dimuat ulang dalam Junus Jahja (ed.), Nonpri di Mata Pribumi (Jakarta: Tunas Bansga, 1991), h.224-228. Penulis yang waktu itu menjadi mahasiswa di Yogyakarta merasa kagum dengan tulisan beliau tsb dan menganggapnya sebagai salah satu tulisan/dokumen politik terpenting dalam hubungan Indonesia-Tionghoa. Sayang tulisan tersebut sudah banyak dilupakan dewasa ini.
dikutip dari sini
Read More..