Tampilkan postingan dengan label Spiritual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spiritual. Tampilkan semua postingan

Akal dan Konsep Ketuhanan

|

oleh Yayasan Al-Jawad

Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah Fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan padam.

Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para Ahli ma'rifat berkata,"Jalan-jalan menuju ma'rifatullah sebanyak nafas makhluk." Salah satu jalan ma'rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur'an dan hadis). Merka beralasan dengan adanya sejumlah ayat atau riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra'yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi berikutnya, Insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur'an, hadis dan konsep ketuhanan.

Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.

Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ?

Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.

Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan yang sangat naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur'an, sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur'an itu sendiri, yaitu Allah Ta'ala.

Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.

Mereka menjawab,"Karena Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau pendekatan filosofis.

Pemahaman

Selama ini kita paham akan maksud Ghaib.
Kita semua sering mendengar, membaca bahkan kita sendiri menceritakan dan menulis perihal Ghaib. Satu sisi berurai segala sesuatu yang diluar kemampuan panca indera kita, adalah Ghaib. Sisi lainnya berurai, segala sesuatu yang dianggap diluar kemampuan panca indera, disebabkan kita belum mempunyai kemampuan untuk berurai, dan menyatakan itu bukan Ghaib.

Kita acapkali alpa perihal sesuatu yang mengetahui perihal Ghaib. Adalah sudah dijelaskan didalam kitab/Alquran, bahwasanya yang mengetahui perihal Ghaib adalah DIA.

Lalu, apa sebenarnya selain dari Ghaib yang dimaksud diatas? Tidak lain adalah sesuatu yang diciptakanNYA dan sesuatu itu merupakan Kalam DIA. Terdapat dua sesuatu yang sangat-sangat tipis bila kita belum memahami keduanya, yaitu Ghaib dan Kalam Allah.

Tanpa disadari kita semua tergelincir dalam hal pengenalan yang kita kenal dengan kata Makrifat. Apakah salah bila kita mengatakan diri kita telah Mengenal Allah?

Jawabannya tentulah tidak. Sebab; banyak jalan untuk mengenal DIA. Salah satu jalan yang umum lakukan adalah mengenal DIA melalui segala ciptaannya, yang mana juga merupakan Kalam Allah, bukan Ghaib. Demikian halnya, bila kita mengenal DIA, melalui segala yang ada diluar kemampuan panca indera kita, yang juga merupakan Kalam Allah. Kesemua ini, adalah Mengenal DIA dengan sistem perantara, yaitu Kalam DIA.

Sebab itu; kita harus dapat memahami perbedaan antara Kalam DIA dan apa/siapa yang Ghaib. Sehingga kita sadar akan sifat dari kata "Mengenal DIA".

Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala

N.B: Burrhan yaitu Bukti yang nyata

1. Burhan Nidham (Keteraturan)

Burhan ini dibangun atas beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.

Kedua, bahwa alam bendawi (tabi'at) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.

Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas ('ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal).

Keempat, "sebab" atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.

Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab" yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.

Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?
Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan "sebab" tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai "sebab" segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta'ala.

2. Burhan al-Huduts (Kebaruan)

Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdri atas beberapa hal :

Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.

Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena "sebab" sesuatu.

Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan sebutan Allah Ta'ala.

Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala

A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu :

Wajib, yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan 'adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika 'ada' disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika 'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).

Mumtani' atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima'un naqidhain).
Daur (siklus atau lingkaran setan). Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ad tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan ada tanpa B dan pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini berarti ijtima'un naqidhain (lihat Mumtani').

Contoh lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, dan B kebradaannya tergantung membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih dahulu, demikin pula C tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Daur adalah suatu yang mustahil adanya.

Tasalsul, yaitu susunan sejumlah 'illat dan ma'lul, dengan pengertian bahwa yang terdahulu menjadi 'illat bagi yang kemudian, dan seterusnya tanpa berujung. Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya.
Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa point berikut ini :

Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin.

Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil.

Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah 'sebab' dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau 'illatul 'ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta'ala.

B. Burhan ash-Shiddiqin

Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan dari ungkapan Ahlibait as. yang berbunyi,"Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya." (Doa Shabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.) Artinya, burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya sendiri. Para ahli mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi. Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan.

Ada beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini. Di antaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan, "Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang pertama adalah wujud yang wajib, yaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna dari-Nya dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan kekurangan. Sedangkan yang kedua , adalah selain wujud yang wajib, yaitu perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan -Nya. (Nihayah al-Hikmah, hal. 269).

Allamah al-Hilli , dalam kitab Tajrid al-'I'tiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan, "Diluar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta'ala) , dan jika yang wujud itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (ntuk keberadaannya). Jika faktor itu wajib , maka itulah yang dimaksud (Allah Ta'ala). Tetapi jika faktor itu mumkin juga, maka dia membutuhkan faktor lain dan seterusnya (tasalsul) atau daur. Dan keduanya mustahil adanya.

Pemahaman
Surat Al Hajj ayat 8 (XVII; 22; 8).
Dan Sebagian manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tiada petunjuk, dan tiada kitab yang menerangi.

Dari ayat tersebut diatas, dapatlah dilihat bahwasanya kita-kita masih sering berbantahan perihal DIA. Semua itu disebabkan karena ilmu yang dipahaminya. Hampir semua kita menganggap kenal langsung akan DIA.
Kalau kita tidak memahami apa/siapa yang ghaib, menunjukkan bahwasanya kita kenal DIA melalui segala ciptaannya (kalam). Sebagai contoh; Kita dapat berkomunikasi dengan DIA, apapun bentuknya, adalah benar mengenal DIA, hanya saja mengenal DIA melalui sesuatu, misalnya kita berurai padaNYA, akan DIA uraikan pada kita melalui sesuatu, yaitu rasa, dengar, lihat, cium, berkata (Alquran, manusia).

Mari kita memahami Surat Al 'Alaq, ayat 3 dan 4 (96: 3;4)
Dan tiadalah bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara wahyu atau dibelakang tabir, atau dengan seorang rosul lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNYA apa yang DIA kehendaki. Sesungguhnya DIA Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

Apa yang Ghaib, adalah sesuatu yang sangat-sangat tidak bisa dipikirkan oleh kemampuan kita dan hanya bisa sebatas disaksikan tanpa pikiran.

Siapa yang Ghaib, adalah Zat DIA, yang mana Alquran menyebutnya Allah.

Mari kita memahami surat An Naml ayat 65
Bukankah, sudah dijelaskan "Katakanlah tidak ada seorang pun yang mengetahui yang ghaib di langit dan bumi kecuali Allah.

Jelas sudah segala sesuatu selain dari Zat DIA (Allah) adalah bukan Ghaib, melainkan CiptaanNYA yang juga merupakan Kalam DIA.

Banyak diantara kita alpa akan ayat diatas dan berurai Ghaib bisa dibuktikan. Bila kita memahami ayat diatas, jelas sudah yang kita buktikan selama ini adalah bukan ghaib, akan tetapi CiptaanNYA yang merupkan Kalam DIA

Kita sebagai ciptaanNYA diwajibkan untuk mengenal DIA, dalam cara/bentuk apapun. Baik itu Mengenal Dia melalui ciptaanNYA yang kasat panca indera ataupun tidak kasat panca indera.
Inilah yang dimaksudkan Awal beragama adalah mengenal DIA.

Mengenal DIA memalui tidak kasat panca indera, juga banyak cara dan sistemnya. Hasilnya juga beraneka ragam. Namun kesemuanya kembali lagi pada kemampuan kita dalam menterjemahkannya kedalam bentuk panca indera kita; ada yang melalui getaran, gerakan, rasa, gambaran, tulisan bahkan bertemu diri pribadi.

Melihat itu; jelas sudah Bagi yang memiliki kemampuan memahami segala ciptaanNYA, adalah telah menjalani perintahNYA, yaitu mau belajar dari segala ciptaaNYA, dengan cara/sistem yang berbeda..

Mari kita semua untuk berhenti menghujat apa/siapa yang ada didalam katagori dukun/paranormal khususnya, ustadz,kyai atau nama lainnya yang setara. Mereka semua hanya memiliki kemampuan dalam hal membaca segala Ciptannya (kalam). Kita tidak usah mereka-reka lagi perihal mereka.

Bagaimana perihal Kalam? Mari kita bersama mencoba mengungkap Kalam DIA didalam Thread Kalam Allah.

Kesimpulan kita semua yang mengakui adanya DIA, adalah telah melaksanakan Awal beragama adalah mengenal DIA. Hanya saja mengenal DIA melalui segala ciptaanNYA.

Inilah beda antara Ghaib dan Ciptaannya. Ghaib hanya bisa sebatas disaksikan tanpa pikiran. Apa/siapa yang Ghaib adalah Zat DIA (Allah).

Selama kita belum mengenal Zat DIA, menunjukkan kita telah mengenal DIA melalui Kalam DIA.

Alhamdulillahi.....

Misal ;

Kita semua tahu perihal Syahadat, bahkan kita semua menyatakannya, terlepas salah/benar pemahaman kita perihal Syahadat.

Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Aku bersaksi MUhammad itu utusan Allah.

Bila kita belum memahami apa/siapa yang Ghaib, tetapi kita telah memahami Kalam DIA, akanlah didapat sebuah kesaksian yang bersumber dari Kalam DIA.

Kita bersaksi perihal Allah dan MUhammad adalah bersumber dari Alquran, kitab lainnya, guru, orang tua atau segala ciptaanNYA, yangmana merupakan Kalam DIA. Inilah katagori orang-orang yang mau berfikir terlepas siapa, apakah kyai, ustad, orang tua, dan lainya, bahkan dukun atau paronormal.

Adalah sangat berbahagia, bila kita telah memahami apa/siapa yang Ghaib. Kesaksiannya adalah langsung dari sumber yang hakiki. Tiada kata/kalimat yang dapat diuraikan, bila kita telah mengenal apa/siapa yang Ghaib.

Alif lam mim, alif lam ro, Allahu.
Kaf, ha, ya, ain, sot, ha, mim, ain sin, kof
Bismillaahir rohmaanir rohiim
Alhamdulillahi, subhanahu.

pemahaman by Rizkyka from kaskus.us

Read More..

Asal Usul dan Keberlangsungan kehidupan

|

Menurut Al-Quran dan Sains
oleh Dr. Maurice Bucaille
Penerbit Mizan, Cetakan VII, 1994
==========================
Salah satu sifat asli Al-Quran, adalah bahwa untuk
mengilustrasikan penegasan yang berulang-ulang tentang
ke-Mahakuasaan Tuhan, Kitab tersebut merujuk kepada suatu
keragaman gejala alam. Dalam hal sejumlah besar fenomena ini
ia juga memberikan suatu uraian terinci tentang cara
fenomena-fenomena itu berevolusi -penyebab-penyebab dan
akibat-akibatnya. Kesemua rincian ini pantas untuk
diperhatikan. Pernyataan-pernyataan yang dikandung oleh
Al-Quran tentang manusia, adalah di antara yang paling
mengejutkan saya ketika saya membaca kitab tersebut untuk
pertama kalinya dalam bahasa Arab aslinya. Hanya yang
aslinya sajalah yang bisa menjelaskan makna sejati
pernyataan-pernyataan yang amat sering disalahterjemahkan
disebabkan alasan-alasan yang disebut di atas.

Yang menjadikan penemuan-penemuan ini sangat penting adalah
bahwa kesemuanya itu merujuk pada banyak pengertian yang
belum dikenal pada saat-saat Al-Quran diwahyukan kepada
manusia dan yang -baru empat belas abad kemudian- terbukti
sepenuhnya selaras dengan sains modern. Dalam konteks ini
sama sekali tak perlu mencari-cari penjelasan-penjelasan
palsu yang cenderung muncul di beberapa publikasi dan bahkan
di dalam sejarah-sejarah ilmu kedokteran yang di dalamnya
Muhammad dianggap sebagai memiliki kemampuan-kemampuan
kedokteran (sebagaimana juga Al-Quran disebut-sebut sebagai
mengandung resep-resep kedokteran, suatu gagasan yang
sepenuhnya tidak tepat).[1]

Asal-Usul Kehidupan
Al-Quran memberikan jawaban yang amat jelas pada pertanyaan:
Pada titik manakah kehidupan bermula? Dalam bagian ini, saya
akan mengajukan ayat-ayat Al-Quran yang di dalamnya
dinyatakan bahwa Asal Manusia adalah (bersifat) air.
Ayat pertama di bawah ini juga menunjuk kepada pembentukan
alam semesta.

"Tidakkah orang-orang kafir itu melihat bahwa lelangit dan
bumi disatukan, kemudian mereka Kami pisahkan dan Kami
menjadikan setiap yang hidup dari air. Lantas akankah mereka
tak beriman?" (QS 21:30)

Pengertian 'menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang lain'
sama sekali tidak menimbulkan keraguan. Ungkapan tersebut
bisa juga berarti bahwa setiap sesuatu yang hidup dibuat
dari air (sebagai komponen pentingnya) atau bahwa semua
benda hidup berasal dari air. Kedua makna itu sepenuhnya
sesuai dengan data saintifik. Pada kenyataannya, kehidupan
berasal dari yang bersifat air dan air adalah komponen yang
paling penting dari seluruh sel-sel hidup. Tanpa air hidup
menjadi tidak mungkin. Jika kemungkinan kehidupan pada
planet lain diperbincangkan, maka pertanyaan yang pertama
selalu: Adakah cukup air untuk mendukung kehidupan di tempat
tersebut?

Data modern membawa kita untuk berpikir bahwa wujud hidup
yang paling tua barangkali termasuk dalam dunia
tumbuh-tumbuhan: ganggang telah ditemukan sejak periode
pra-Cambria yaitu saat dikenalinya daratan yang paling tua.
Organisme yang termasuk dalam dunia hewan barangkali muncul
sedikit lebih kemudian: mereka muncul dari laut.

Kata yang di sini diterjemahkan sebagai 'air' pada
kenyataannya adalah ma'[2] yang berarti baik air di langit
maupun air di lautan atau segala jenis cairan. Dalam arti
yang pertama air merupakan unsur yang penting bagi seluruh
kehidupan tumbuh-tumbuhan:

"(Tuhan sajalah) yang telah menurunkan air dari langit. Maka
Kami[3] tumbuhkan (dari air itu) berpasang-pasang
tumbuh-tumbuhan yang berbeda-beda." (QS 20:53)

Inilah perujukan pertama kepada suatu 'pasangan'
tumbuh-tumbuhan. Nanti kita akan kembali kepada pengertian
ini.

Dalam arti keduanya yang merujuk pada segala jenis cairan,
kata tersebut dipergunakan dalam bentuk tak-tentunya untuk
menunjukkan zat yang berada pada dasar pembentukan seluruh
kehidupan hewan:

"Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air."
(QS 24:45)

Sebagaimana akan kita lihat nanti, kata tersebut juga bisa
diterapkan pada cairan mani.[4]

Jadi, pernyataan-pernyataan dalam Al-Quran tentang asal-usul
kehidupan, apakah itu merujuk kepada kehidupan secara umum,
unsur yang melahirkan tumbuh-tumbuhan di dalam tanah ataupun
benih hewan-hewan, seluruhnya sepenuhnya sesuai dengan data
saintifik modern. Tak satu pun mitos tentang asal-usul
kehidupan yang lazim dianggap benar oleh orang pada saat
Al-Quran diwahyukan kepada manusia disebutkan dalam teks
tersebut.

Keberlangsungan Kehidupan

Al-Quran merujuk pada banyak aspek kehidupan di dalam dunia
hewan dan tetumbuhan. Saya telah menguraikan kesemuanya itu
dalam karya saya sebelum ini yang diterbitkan pada tahun
1976 (edisi bahasa Inggris, 1978). Dalam studi ini saya
ingin memusatkan perhatian pada ruang yang diberikan dalam
Al-Quran kepada tema keberlangsungan kehidupan.

Berbicara secara umum, komentar-komentar yang diberikan atas
pembiakan (reproduksi) dalam dunia tumbuh-tumbuhan bersifat
lebih panjang daripada yang merujuk kepada pembiakan dalam
dunia hewan. Meskipun demikian, ada banyak pernyataan yang
menggarap tema reproduksi manusia, sebagaimana akan kita
lihat di bawah ini.

Sudah merupakan suatu pengetahuan yang diakui bahwa ada dua
metode reproduksi di dalam dunia tumbuh-tumbuhan: yaitu yang
bersifat seksual dan aseksual (contohnya, pelipatgandaan
spora-spora atau proses menyetek yang merupakan kasus-khusus
pertumbuhan). Perlu kita perhatikan, bahwa Al-Quran merujuk
kepada bagian-bagian jantan dan betina tetumbuhan tersebut:

"(Tuhan sajalah) yang telah menurunkan air dari langit. Maka
Kami tumbuhkan (dari air itu) berpasang-pasang
tumbuh-tumbuhan yang saling terpisah." (QS 20:53)

"Satu dari sepasang" merupakan penerjemahan dari kata zauj
(jamaknya azwaj) yang arti aslinya adalah "yang bersama-sama
dengan yang lainnya membentuk satu pasangan." Kata tersebut
bisa juga langsung diterapkan pada pasangan kimpoi (artinya,
manusia), sebagaimana juga pasangan sepatu.

"Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-
pasangan." (QS 13:3)

Pernyataan ini berarti kemaujudan organ-organ jantan dan
betina dalam seluruh beragam spesies buah-buahan. Hal ini
sepenuhnya sesuai dengan data yang ditemukan pada kurun
waktu yang jauh lebih kemudian berkenaan dengan pembentukan
buah, karena seluruh tipe berasal dari tetumbuhan yang
memiliki organ-organ seksual (sekalipun beberapa varietas,
seperti pisang, berasal dari bunga-bungaan yang tidak
dibuahi).

Pada umumnya, reproduksi seksual di dunia hewan hanya
digarap secara ringkas dalam Al-Quran. Pengecualian dalam
hal ini adalah berkenaan dengan manusia. Karena, seperti
yang akan kita lihat kemudian dalam bab berikut ini,
pernyataan-pernyataan mengenai topik ini berjumlah banyak
dan sangat terinci.

-------------
Catatan kaki:

1 Seluruh kandungan Al-Quran merupakan ketentuan-ketentuan
tertentu mengenai kebiasaan-kebiasaan yang sehat seperti:
kebersihan diri, larangan minum alkohol; suatu ketentuan
seperti berpuasa di bulan Ramadhan juga merupakan bagian
yang jelas dari aturan-aturan ini. Penyebutan madu di dalam
Al-Quran tidak mencakup indikasi apa pun mengenai
kasus-kasus khusus yang di situ madu ternyata bermanfaat
bagi kesehatan manusia.
2 Pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut transliterasi
bahasa Arab ke Latin, hendaknya melihat bagan dalam Bibel,
Quran, dan Sains Modern (Edisi Prancis).
3 Perubahan dalam struktur gramatikal suatu ungkapan ini
bersifat umum atau lazim dalam Al-Quran. Tuhan adalah yang
mula pertama dirujuk secara tak langsung, kemudian teks
tersebut mengaitkan Firman-Firman Langsung-Nya, sebab 'Kami'
dengan jelas berarti Tuhan.
4 Disimpan oleh kelenjar reproduksi, cairan mani mengandung
spermatozoa.

Asal-usul Manusia Dan Transformasi-transformasi Bentuk

Beberapa ayat di dalam Al-Quran berikut ini tidak mengandung
sesuatu pun kecuali makna spiritual mendalam. Yang lainnya,
dalam pandangan saya, merujuk kepada
transformasi-transformasi yang tampaknya menunjukkan
perubahan-perubahan di dalam morfologi manusia. Yang
terkemudian ini menguraikan fenomena yang sepenuhnya
bersifat material, yang terjadi di dalam berbagai fase tapi
selalu dalam susunan yang tepat. Campur tangan kehendak
Tuhan, yang mengatasi segalanya, disebutkan beberapa kali
dalam ayat-ayat ini. Hal tersebut tampak dimaksudkan untuk
mengarahkan transformasi-transformasi yang terjadi selama
suatu proses yang hanya bisa diuraikan sebagai suatu
'evolusi.' Di sini, kata tersebut dipergunakan dengan maksud
untuk menunjukkan satu rangkaian modifikasi-modifikasi yang
tujuannya adalah untuk sampai kepada satu bentuk definitif
(tetap). Tambahan pula, penekanan diberikan kepada gagasan
bahwa ke-Mahakuasaan Tuhan tampil pada kenyataan bahwa Ia
memusnahkan populasi manusia untuk memberi jalan bagi
populasi baru lainnya: hal ini tampak bagi saya sebagai
tema-tema utama yang muncul dari himpunan ayat Al-Quran yang
disatukan di dalam bab ini.

Tak syak lagi, para pengulas terdahulu tidak mampu melihat
adanya gagasan bahwa bentuk manusia bisa jadi telah
mengalami transformasi. Meskipun demikian, mereka
berkehendak untuk mengakui bahwa perubahan-perubahan mungkin
saja benar-benar telah terjadi dan mereka mengakui
kemaujudan tahapan-tahapan di sepanjang perkembangan
embrionik -suatu gejala yang biasa teramati pada seluruh
kurun waktu dalam sejarah. Meskipun demikian, hanya pada
masa kita inilah, sains modern mengizinkan kita untuk
sepenuhnya memahami arti ayat-ayat Al-Quran yang menunjuk
kepada tahapan-tahapan berturutan dari perkembangan
embrionik di dalam rahim.

Pada saat ini kita memang bisa bertanya-tanya apakah
perujukan-perujukan di dalam Al-Quran kepada tahap-tahap
yang berurutan dari perkembangan manusia, paling tidak pada
beberapa ayat, tidak melampaui sekadar pertumbuhan embrionik
sedemikian sehingga mencakup transformasi-transformasi
morfologi manusia yang terjadi selama berabad-abad.
Kemaujudan perubahan-perubahan seperti itu telah secara
resmi dibuktikan oleh paleontologi dan buktinya sangat
banyak sehingga tak perlu lagi untuk mempertanyakannya.

Para penafsir Al-Quran terdahulu barangkali tak punya
firasat bakal adanya penemuan-penemuan pada berabad-abad
kemudian. Mereka hanya bisa memandang ayat-ayat khusus ini
dalam konteks perkembangan embrio, tak ada alternatif lain
pada masa itu.

Kemudian tibalah bom Darwin yang -melalui pemuntiran
terang-terangan teori Darwin oleh para pengikut awalnya-
mengekstrapolasikan pengertian tentang suatu evolusi yang
bisa diterapkan atas manusia, meskipun tingkat evolusinya
belum lagi dibuktikan di dalam dunia hewan. Dalam hal
Darwin, teori tersebut didorong sampai ke tingkat ekstrem
sedemikian sehingga para peneliti mengklaim sebagai telah
memiliki bukti bahwa manusia berasal dari kera -suatu
gagasan yang, bahkan pada masa sekarang, tak seorang ahli
paleontologi terhormat sekalipun mampu membuktikannya. Meski
demikian jelas terdapat satu jurang yang sangat senjang di
antara konsep tentang manusia yang berasal dari kera (suatu
teori yang sepenuhnya tak bisa dipertahankan) dengan gagasan
transformasi-transformasi bentuk manusia di sepanjang waktu
(yang telah sepenuhnya dibuktikan). Kerancuan antara
keduanya telah mencapai puncaknya ketika mereka digabungkan
menjadi satu -dengan hujjah-hujjah yang sangat dicari-cari-
di bawah panji kata EVOLUSI. Kerancuan yang tidak
menguntungkan ini telah menyebabkan beberapa orang secara
salah mengkhayalkan bahwa karena kata tersebut dipergunakan
untuk menunjuk manusia, maka ia mesti berarti bahwa, menurut
kenyataan itu sendiri, Asal Manusia bisa dilacak hingga
kera.

Adalah amat penting untuk memahami dengan gamblang perbedaan
di antara keduanya; kalau tidak, ada risiko timbulnya
kesalahpahaman tentang makna yang dikaitkan kepada beberapa
ayat Al-Quran tertentu yang akan saya kutip. Di dalam
ayat-ayat ini tak ada satu isyarat yang paling samar-samar
pun berkenaan dengan bukti untuk mendukung teori
materialistis tentang asal-usul manusia yang amat
mengguncangkan kaum Muslim, Yahudi dan Nasrani tersebut.

Makna Spiritual Mendalam Penciptaan Manusia dari Tanah
------------------------------------------------------------

Sebagaimana ditunjukkan oleh kedua ayat berikut ini, manusia
ditampilkan di dalam Al-Quran sebagai suatu wujud yang amat
erat berkaitan dengan tanah (perujukan pertama):

"Dan Allah menumbuhkan kamu sebagai suatu tumbuhan dari
tanah, dan kemudian Dia akan mengembalikan kamu kepadanya,
Dia akan mengeluarkan kamu lagi, sebagai suatu keluaran
baru." (QS 71 :17-18)

Ayat berikut ini menyebutkan tentang tanah (perujukan nomor
2):

"Dari (tanah) itulah Kami,[5] membentuk kamu dan kepadanya
Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan
mengeluarkan kamu pada kali yang lain. " (QS 20:55)

Aspek spiritual asal manusia dari tanah ini ditekankan oleh
kenyataan bahwa kita mesti kembali ke tanah setelah kematian
dan juga oleh gagasan bahwa Tuhan akan mengeluarkan kita
lagi pada Hari Pengadilan, suatu makna spiritual yang,
sebagaimana telah kita lihat, juga ditegaskan oleh Bibel.

Sehubungan dengan penerjemahan di atas, berkenaan dengan
perujukan nomor 2, saya ingin menunjukkan kepada baik para
pembaca berbahasa Arab maupun yang menguasai bahasa Arab di
Barat, kata bahasa Arab khalaqa biasa diterjemahkan dengan
kata kerja 'menciptakan'. Tetapi, penting untuk diketahui,
bahwa sebagaimana ditunjukkan oleh kamus yang amat baik yang
disusun oleh Kasimirski, arti asli kata tersebut adalah
'memberikan suatu proporsi kepada sesuatu atau membuatnya
memiliki proporsi atau jumlah tertentu.' Bagi Tuhan (saja),
penerjemahan tersebut telah dimudahkan dengan penggunaan
kata 'menciptakan,' yakni mewujudkan sesuatu yang sebelumnya
tidak maujud. Dengan berbuat demikian, orang-orang yang
secara eksklusif menggunakan istilah 'menciptakan' sebagai
merujuk kepada tindakan itu, telah gagal menerjemahkan
gagasan tentang 'proporsi' yang menyertainya. Penerjemahan
yang lebih tepat, barangkali, adalah dengan menggunakan kata
'membentuk' atau 'membentuk dalam proporsi tertentu.' Hal
ini akan membawa kita lebih dekat kepada makna asli kata
bahasa Arabnya. Inilah sebabnya, kenapa saya telah memilih
menggunakan kata 'membentuk' di dalam sebagian besar
terjemahan-terjemahan saya, dengan makna yang disiratkan
oleh kata bahasa Arab primitifnya.

Komponen-Komponen Bumi (Tanah) Dan Pembentukan Manusia
------------------------------------------------------------

Makna spiritual utama asal-usul manusia dari tanah tidak
menyingkirkan pengertian, yang ada di dalam Al-Quran,
tentang apa yang pada masa kini disebut sebagai
'komponen-komponen' kimiawi tubuh manusia yang bisa
ditemukan di tanah[6] agar bisa membawakan pengertian ini
yang pada masa kini diakui sebagai tepat secara saintifik
kepada orang-orang yang hidup ketika Al-Quran diwahyukan,
maka terminologi yang sesuai dengan tingkat pengetahuan pada
masa itu harus digunakan. Manusia dibentuk dari
komponen-komponen yang dikandung di dalam tanah. Gagasan ini
muncul dengan sangat jelas dari berbagai ayat yang di
dalamnya elemen-elemen pembentuk tersebut ditunjukkan dengan
berbagai nama (perujukan nomor 3):

"Dia telah menyebabkan kamu tumbuh dari bumi (tanat)." (QS
11.61)

Gagasan tentang tanah (ardh di dalam bahasa Arab) diulangi
pada surah 53 ayat 32.

Tuhan berbicara kepada manusia (perujukan nomor 4):

"Maka sesungguhnya Kami telah membentukmu dari tanah gemuk
(soil)." (QS 22 :5)

Asal manusia dari tanah gemuk (thurab di dalam bahasa Arab)
diulangi dalam surah 18 ayat 37, surah 30 ayat 20, surah 35
ayat 11 dan surah 40 ayat 67. Selanjutnya (perujukan nomor
5):

"Dialah yang membentuk kamu dari lempung." (QS 6 :2)

Lempung (thin dalam bahasa Arab) dipergunakan dalam beberapa
ayat untuk mendefinisikan komponen-komponen pembentuk
manusia.

Selanjutnya (perujukan nomor 6):

"(Tuhan) memulai penciptaan manusia dari lempung." (QS 32:7)

Penting untuk dicatat dalam hal ini bahwa Al-Quran menunjuk
kepada 'awal' suatu penciptaan dari lempung. Hal ini jelas
bermakna bahwa tahap yang lain akan segera mengikuti.

Meskipun tampak tidak memberikan data baru bagi studi masa
kini, kutipan berikut ini diberikan demi kelengkapan. Ayat
ini merujuk kepada manusia (perujukan nomor 7):

"Sesungguhnya Kami telah membentuk mereka dari lempung yang
pekat." (QS 37:11)

Selanjutnya (perujukan nomor 8):

"Dia membentuk manusia dari lempung, seperti tembikar." (QS
55:14)

Citra di atas menunjukkan bahwa manusia 'dimodelkan',
sebagaimana ditunjukkan dalam ayat berikut ini. Kita juga
bisa menemukan gagasan tentang 'pencetakan' manusia, yang
merupakan subyek sub-bagian berikut (perujukan nomor 9):

"Dan sesungguhnya Kami telah membentuk manusia dari lempung,
dari lumpur yang dicetak." (QS 15:26)

Gagasan yang sama diulangi (perujukan nomor 10):

"Dan sesungguhnya Kami telah membentuk manusia dari suatu
saripati lempung." (QS 23 :12)

Saya menggunakan kata 'saripati' untuk menerjemahkan istilah
bahasa Arab sulalat yang berarti 'sesuatu yang disarikan
dari sesuatu yang lain' sebagaimana akan kita lihat nanti.
Kata tersebut muncul di bagian lain Al-Quran, yang di
dalamnya dinyatakan bahwa Asal Manusia adalah sesuatu
yang disarikan dari cairan mani; (pada masa kini diketahui
bahwa komponen aktif cairan mani adalah organisme sel
tunggal yang disebut 'spermatozoon' ).

Saya membayangkan bahwa 'saripati lempung' pasti merujuk
pada berbagai komponen kimiawi yang menyusun lempung yang
disarikan dari air yang dalam hal bobotnya merupakan unsur
utama.

Air yang di dalam Al-Quran dianggap sebagai asal-usul
seluruh kehidupan, disebutkan sebagai unsur penting dalam
ayat berikut (perujukan nomor 11):

"Dan Dia (pula) yang membentuk manusia dan air, maka Dia
jadikan pertalian keturunan (oleh laki-laki) dan
kekeluargaan oleh wanita." (QS 25:54)

Sebagaimana di tempat lain dalam Al-Quran, 'manusia' yang
dirujuk di sini adalah Adam.

Beberapa ayat menyinggung penciptaan wanita (perujukan nomor
12):

"Tuhanmu sajalah) yang telah membentuk kamu dari setunggal
diri dan darinya menciptakan istrinya." (QS 4:1)

Ayat ini diulangi pada surah 7 ayat 189 dan surah 39 ayat 6.
Topik yang sama dirujuk dalam peristilahan yang kurang lebih
sama dalam surah 30 ayat 21 dan surah 42 ayat 11.

Tak akan timbul keraguan bahwa di dalam kedua belas
perujukan di atas banyak ruang diberikan kepada perenungan
simbolis tentang Asal Manusia, termasuk suatu isyarat
yang jelas tentang apa yang akan terjadi atasnya setelah
kematiannya, dan mengandung penunjukan-penunjukan kepada
fakta bahwa manusia akan kembali ke bumi demi dimunculkan
kembali pada Hari Pengadilan. Meskipun demikian, di sana
juga tampak adanya perujukan kepada komposisi kimiawi tubuh
manusia.

-------------
Catatan kaki:

5 Kami menunjukkan Tuhan.
6 Yang dimaksud komponen, atau 'unsur' (istilah-istilah yang
digunakan untuk lebih mempermudah membaca teks), ialah
materi yang dapat diekstraksi dari bumi dan yang tidak
merusak bentuk, yakni berbagai komponen atom yang membentuk
molekul; seluruh unsur yang membentuk bagian tubuh manusia
ada dalam jumlah yang lebih sedikit atau lebih banyak di
bumi.

Transformasi-Transformasi Manusia Sepanjang Berabad-Abad

Bertentangan dengan di atas, komentar yang diberikan
terhadap beberapa ayat Al-Quran, yang akan saya kutip di
bawah ini, terutama mengandung pengertian-pengertian
material. Kita di sini berada di dalam lingkungan
transformasi-transformasi morfologis tulen yang terjadi
dalam cara yang selaras dan seimbang berkat adanya suatu
organisasi yang amat terencana, mengingat fenomena-fenomena
tersebut terjadi dalam tahap-tahap yang berturutan. Dengan
demikian, kehendak Tuhan yang terus-menerus memimpin nasib
masyarakat manusia, ditampakkan dalam keseluruhan kekuatan
dan keagungan-Nya melalui peristiwa-peristiwa ini.

Al-Quran, pertama kali, berbicara tentang suatu
'penciptaan', tetapi ia meneruskan dengan menguraikan suatu
tahap kedua, yang di dalamnya Tuhan memberikan bentuk kepada
manusia. Tak syak lagi, penciptaan dan organisasi morfologis
manusia dilihat sebagai peristiwa-peristiwa yang berturutan.

Tuhan berbicara kepada manusia (perujukan nomor 13):

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami
memberimu bentuk, kemudian Kami katakan kepada para
Malaikat: 'Bersujudlah kamu kepada Adam'." (QS 7:11)

Karenanya, adalah mungkin untuk membedakan tiga peristiwa
berturutan yang dua di antaranya penting bagi studi kita:
Tuhan menciptakan manusia dan kemudian memberinya suatu
bentuk (Shawwara dalam bahasa Arab).

Di bagian-bagian lain dinyatakan bahwa bentuk manusia akan
bersifat selaras (perujukan nomor 14):

"Ketika Tuhan mereka berfirman kepada para malaikat: Aku
hendak membentuk seorang manusia dari lempung, dari lumpur
yang diacu; bila Aku telah membentuknya secara selaras dan
meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka sujudlah kepadanya." (QS
16 :28-29)

Ungkapan 'membentuk dengan selaras' (sawwai) diulangi dalam
surah 38 ayat 72.

Ayat lain menguraikan bagaimana bentuk selaras manusia
didapat melalui adanya keseimbangan dan kompleksitas
struktur. Kata kerja rakkaba dalam bahasa Arab berarti
'membuat sesuatu dari komponen-komponen' (perujukan nomor
16):

"(Tuhanlah) yang telah menciptakan kamu lalu membentukmu
secara selaras dan dalam proporsi yang tepat, dalam bentuk
apa saja yang Dia kehendaki, Dia membuatmu dari
komponen-komponen." (QS 82 :73)

Manusia diciptakan dalam bentuk apa pun yang Tuhan
kehendaki. Ini adalah suatu hal yang amat penting.

Tuhan berbicara kepada manusia (perujukan nomor 16):

"Sesungguhnya Kami telah membentuk manusia menurut rencana
organisasional yang sebaik-baiknya." (QS 95 :4)

Kata bahasa Arab taqwim berarti 'mengorganisasikan sesuatu
dengan cara terencana' yang, oleh karena itu, berarti suatu
susunan kemajuan yang telah lebih dahulu didefinisikan
secara cermat. Kebetulan sekali para spesialis evolusi,
ketika menguraikan transformasi-transformasi yang terjadi
sepanjang waktu, menggunakan ungkapan itu pula: perencanaan
organisasional itu sudah benar-benar terbukti dari
studi-studi saintifik mengenai masalah ini.

Konteks surah 95, yang darinya ayat di atas diambil, adalah
penciptaan manusia secara umum dengan merujuk kepada
kenyataan bahwa begitu manusia telah diberi bentuk yang
sedemikian terorganisasikan oleh kehendak Tuhan, ia terbenam
ke dalam kondisi yang amat buruk (yang berarti jompo dalam
usia tua). Surah tersebut sama sekali tidak menyebut-nyebut
perkembangan embrionik melainkan hanya menguraikan
penciptaan makhluk manusia secara umum. Dalam kerangka
struktur, perencanaan organisasional tersebut jelas merujuk
kepada spesies manusia sebagai suatu keseluruhan.

Penafsiran yang telah saya berikan atas ayat ini
mencerminkan pentingnya konteks sebagai sarana untuk
menyampaikan apa yang dirujuk oleh suatu kata tertentu
(perujukan nomor 17):

"Dia sesungguhnya telah membentukmu dalam tahap-tahap
(tingkat-tingkat)." (QS 71:14)

Kata bahasa Arab yang diterjemahkan di sini sebagai
'tahap-tahap' atau 'tingkat-tingkat', adalah athwar (kata
tunggalnya thaur). Inilah satu-satunya ayat di dalam
Al-Quran yang di dalamnya kata tersebut muncul dalam bentuk
majemuknya. Tidak mungkinlah untuk mencari-cari di tempat
lain di dalam teks tersebut kepastian mengenai apakah
'tahap-tahap' atau 'tingkat-tingkat' itu -yang jelas merujuk
kepada manusia- berkenaan dengan perkembangan manusia di
dalam rahim (yakni, seperti yang diduga oleh para pengulas
terdahulu dan yang juga merupakan anggapan saya sendiri di
dalam buku saya terdahulu), ataukah kesemuanya itu menunjuk
kepada transformasi-transformasi yang dialami oleh spesies
manusia di sepanjang waktu. Ini adalah satu masalah yang
patut direnungkan.

Untuk memperoleh jawabannya, sudah pasti pertama sekali kita
mesti membahas tema tersebut sebagaimana diuraikan di dalam
Al-Quran. Demikianlah kita melihat bahwa surah 7l, yang
darinya ayat di atas kita ambil, terutama berhubungan dengan
tanda-tanda ke-Mahakuasaan dan Kekuasaan Tuhan sebagai
Pencipta secara umum. Bagian di dalam Al-Quran yang mencakup
ayat 14 (satu bagian yang merujuk pada khutbah Nuh kepada
kaumnya) secara esensial tertanam di dalam rahmat Tuhan,
kerahiman-Nya di dalam memberi manusia karunia-karunia-Nya
dan ke-Mahakuasaan-Nya di dalam menciptakan manusia, langit,
matahari, bulan, dan bumi. Berkenaan dengan masalah
penciptaan, Al-Quran menyebut aspek spiritual penciptaan
manusia dari tanah (perujukan nomor 1 di dalam ayat-ayat
yang dikutip di atas).

Sama sekali tak ada penunjukan, di dalam surah 71, kepada
perkembangan bayi yang belum lahir, suatu persoalan yang
oleh para pengulas terdahulu diduga sebagai ditunjukkan oleh
kata 'tahap-tahap.' Meskipun kata tersebut tidak
dipergunakan di tempat lain dalam teks tersebut, namun
Al-Quran tak syak lagi menunjuk secara terinci pada banyak
surat lain berkenaan dengan 'tahap-tahap' perkembangan
embrionik ini (lihat bab selanjutnya). Meskipun demikian,
tak ada perujukan di dalam surah ini. Meskipun demikian,
kita tidak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa bagian dari
Al-Quran yang kita perbincangkan di sini boleh jadi
benar-benar menambahkan perkembangan ber-'tahap' embrio di
dalam rahim kepada topik-topik lain yang disebutkan di atas:
tak ada satu isyarat pun yang menunjukkan bahwa hal tersebut
boleh diabaikan.

Kenyataannya, perkembangan individu dan spesies-spesies yang
memilikinya, berkesesuaian dengan faktor-faktor penentu itu
juga sepanjang waktu; faktor-faktor tersebut merupakan
gen-gen yang memainkan peran yang amat menentukan di dalam
pengelompokan warisan keayahan atau keibuan di dalam
tingkatan mula reproduksi. Apakah kita memilih menghubungkan
fase-fase ini dengan perkembangan individual atau
spesies-spesies itu, konsep yang diungkapkan tetap
sepenuhnya selaras dengan data saintifik modern mengenai
masalah ini.

Kemudian ayat-ayat yang mendahului perujukan nomor 17 secara
memadai menyatakan dengan jelas bahwa bentuk manusia
mengalami transformasi-transformasi sedemikian sehingga
sekalipun jika kita menghilangkan perujukan nomor 17 makna
umumnya tidak akan terpengaruh.

Dua ayat berikut ini menunjuk pada penggantian suatu
masyarakat manusia oleh masyarakat manusia lainnya
(perujukan nomor 18)

"Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan mereka, dan
apabila Kami kehendaki, maka Kami mengganti mereka
sepenuhnya dengan orang-orang yang serupa dengan mereka."
(QS 76:28)

Amatlah mungkin bahwa 'penguatan' yang disebutkan di dalam
ayat di atas menunjuk kepada susunan fisik manusia.
(perujukan nomor 19):

"Jika (Dia) menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan
menggantimu dengan yang dikehendaki-Nya setelah kamu
(musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari
keturunan orang-orang lain." (QS 6:133)

Kedua ayat di atas menekankan kesirnaan
masyarakat-masyarakat manusia tertentu dan penggantiannya
oleh masyarakat-masyarakat lainnya, sesuai dengan kehendak
Tuhan, sepanjang waktu tertentu.

Para pengulas terdahulu, terlebih-lebih, memandang ayat-ayat
ini sebagai hukuman yang ditimpakan oleh Tuhan atas
masyarakat-masyarakat yang penuh dosa. Secara umum, aspek
religiuslah yang terutama ditekankan. Meskipun demikian, di
sana pun ada fakta material dan hal ini jelas diungkapkan
dalam bentuk sirnanya berbagai masyarakat (yang ukurannya
tidak disebutkan) dan penggantian pada kurun waktu tertentu
dari suatu masyarakat-masyarakat tertentu oleh
keturunan-keturunan bangsa-bangsa launnya.

Oleh karena itu, kesimpulannya ialah bahwa kelompok-kelompok
manusia yang telah maujud sepanjang waktu kiranya mempunyai
morfologi yang beragam, tetapi modifikasi-modifikasi ini
telah berlangsung sesuai dengan rencana organisasional yang
ditetapkan oleh Tuhan; masyarakat musnah dan digantikan oleh
kelompok-kelompok lainnya: inilah yang dengan berbagai
ungkapan harus disampaikan oleh Al-Quran kepada kita. Adalah
sia-sia untuk mencari kesenjangan-kesenjangan di antara
Al-Quran dan data palentologi atau dengan informasi yang
memungkinkan kita untuk membayangkan adanya suatu evolusi
kreatif, karena tidak ada hal demikian.

Read More..

Hukum Sihir Berdasarkan Alquran Dan Sunnah

|

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia edisi terbaru dikeluarkan oleh Tim Prima Pena; Sihir adalah perbuatan yang tidak dapat diterima oleh akal, dilakukan untuk berbagai keperluan.
Melihat definisi sihir tersebut, terbesitlah pertanyaan apa/siapa yang tidak dapat diterima oleh akal kita? Untuk menjawab ini, kita harus berintropeksi diri. Sebab diterima atau tidaknya, kembali pada seberapa pengetahuan yang kita ketahui.
Belum lagi bila zaman semakin berkembang, besar kemungkinan akan terjawab semuanya. Bila kita melihat ini, berarti kita tidak dapat membuktikan akan kebenaran Alquran yang merupakan kitab hingga akhir zaman.


Macam-macam Sihir :

1 )Sihir yang terjadi melalui tipuan dan ilusi yang tidak mempunyai hakikat sama sekali, seperti apa yang dilakukan para pesulap yang memalingkan pandangan dari apa yang sedang dilakukannya dengan kecepatan tangan.

2) Sihir yang berlangsung dengan bantuan syaitan dengan cara melakukan pendekatan kepada mereka. Hal itu telah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala
"Artinya : Hanya saja syitan-syaitan itu sajalah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia." [Al-Baqarah : 102]

Bertolak dari hal tersebut, Ada beberapa orang mereka memasukan kedalam sihir ini berbagai penemuan yang menakjubkan dan yang dihasilkan dari kecepatan tangan, serta usaha penggunjingan diantara umat manusia serta berbagai hal lain yang sebabnya tidak terlihat dan pintu masuknya sangat samar.

Hukum Sihir

oleh : Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Firman Allah Ta'ala (artinya): "Demi Allah, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu telah meyakini bahwa barang siapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir, maka tidak akan mendapatkan bagian (keuntungan) di akherat." (Al-Baqarah: 102)
"Mereka beriman kepada jibt dan thaghut." (An-Nisa': 51)
Menurut 'Umar Radhiyallahu 'anhu: "Jibt ialah sihir, sedangkan thaghut ialah syaitan."
Kata Jabir: "Thaghut-thaghut ialah para tukang ramal yang didatangi syaitan; pada setiap kabilah ada seorang tukang ramal."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran." Para sahabat bertanya: "Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu: syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakai harta anak yatim, membelot (desersi) dalam peperangan dan melontar tuduhan zina terhadap wanita yang terjaga dari perbuatan dosa, tidak tahu-menahu dengannya dan beriman (kepada Allah)." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan hadits marfu' dari Jundab:
"Hukuman bagi tukang sihir ialah dipenggal lehernya dengan pedang." (HR At-Tirmidzi, dan katanya: "Yang benar bahwa hadits ini mauquf.")
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Bajalah bin 'Abdah, ia berkata:
"Umar bin Al-Khaththab telah menetapkan perintah, yaitu: "Bunuhlah tukang sihir laki-laki maupun perempuan." Kata Bajalah selanjutnya: "Maka kami pun melaksanakan hukuman mati terhadap tiga tukang sihir perempuan."
Dan diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Hafshah Radhiyallahu 'anha telah memerintahkan agar seorang budak perempuan miliknya yang telah menyihirnya dihukum mati, maka dilaksanakanlah hukuman tersebut terhadap budak perempuan itu. Demikian pula diriwayatkan dari Jundab.
Kata Imam Ahmad: "Diriwayatkan dalam hadits shahih, bahwa hukuman mati terhadap tukang sihir, telah dilakukan oleh tiga orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Mereka itu ialah: 'Umar, Hafshah, dan Jundab)
Kandungan tulisan ini:

1. Tafsiran ayat dalam surah Al-Baqarah. Ayat pertama menunjukkan bahwa sihir haram hukumnya dan pelakunya kafir; disamping mengandung suatu ancaman berat bagi orang yang berpaling dari Kitabullah dan mengamalkan amalan yang tidak bersumber darinya.
2. Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa'. Ayat yang kedua menunjukkan bahwa ada diantara umat ini yang beriman kepada sihir (jibt), sebagaimana Ahli Kitab beriman kepadanya; karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa akan ada di antara umat ini yang mengikuti (dan meniru) umat-umat sebelumnya.
3. Pengertian jibt dan thaghut, serta perbedaan antara keduanya.
4. Thaghut, bisa jadi dari jenis jin dan bisa jadi dari jenis manusia.
5. Mengetahui tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran, yang telah dilarang secara khusus.
6. Tukang sihir adalah kafir. Tukang sihir menjadi kafir karena dua sebab: pertama, menggunakan syaitan; dan kedua karena mengaku tahu perkara ghaib.
7. Tukang sihir dihukum mati tanpa diminta untuk bertaubat.
8. Jika praktek sihir telah ada di kalangan kaum muslimin pada masa khilafah 'Umar, bisa dibayangkan bagaimana pada masa sesudahnya?

Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sumber http://www.assunnah.or.id/artikel/tauhid/24sihir.php

uraian by Rizkyka ;

Mari kita lihat Al-Baqarah: 102, Kita sama membaca yang lengkap secara seksama, agar ada kejelasan yang dimaksudkan. Didalamnya diterangkan antara kebenaran dan diluar kebenaran. Padukan dengan tujuh perkara tersebut pada uraian saudara diatas, kenapa pada urutan kedua? Kalau kita fahami maksud dan pengertiannya, akan terjawab perihal Ghaib.

Kembali untuk surat An Nisaa 51 dan uraian diatas; Kemungkinan besar uraian tersebut menunjukan contoh dari Jibt dan thagut. Sebab kedua kata ini memiliki hubungan yang erat, Jibt adalah sesembahan selain Allah dan thagut adalah berhala.

Mari kita mencoba untuk memadukan pengertian sihir dan jibt yang kemudian kita hubungkan dengan thagut. Mungkin kita dapat memahami, bahwa kelebihan atau kemampuan individu bukanlah termasuk sihir, besar kemungkinannya adalah karunia Allah.

Kita masuk pada uraian saudara "Dalilnya Jelas Buat Dukun atau paranormal yg menggunakan syaitan atau Jin Adalah Kafir dan Dihukum mati tanpa diminta untuk bertaubat"
Dalil siapapun selama berisikan kebenaran harus kita junjung, namun kita harus berusaha untuk memahaminya terlebih dahulu.
Bukankah kita sebagai orang yang beriman dilarang untuk me_reka2 apalagi menuduh. Bila kita senang me_reka2 berarti kita juga termasuk yang melanggar perintahNYA, ditambah lagi kalau kita menuduh, bukankah ini bagian dari fitnah.

from kaskus.us



Read More..

AS SUNNAH

|

Hampir pada sebagian besar umat Islam saat ini, semboyan “…Berdasarkan Al Qur’an dan sunnah…” dampaknya nyaris seperti semboyan yang sangat beken di zaman P Harto dulu “… berdasarkan Pancasila dan UUD 45…”, yaitu sama-sama seperti menjual lamunan. Dampaknya ternyata hanyalah sebatas kepatuhan artificial dan dengan nuansa keterpaksaan pula.
As Sunnah adalah sebuah potret yang memuat, cara bertindak atau perilaku KEPATUHAN, KETAKLUKKAN, dan KETUNDUKAN seorang manusia istimewa terhadap FITRAH atau KEHENDAK dari tubuhnya, masyarakatnya, dan zamannya. Manusia istimewa itu adalah Rasulullah Muhammad SAW. Memang kalau dilihat sikap Beliau dan perbuatan Beliau sekilas mata, seakan-akan Nabi Muhammad SAW lah yang TAKLUK terhadap kehendak (fitrah) lingkungan dimana Beliau berada. Akan tetapi kalau diperhatikan dengan jeli dan seksama, maka yang terjadi sebenarnya adalah Muhammad SAW berhasil “membaca (iqra)” FITRAH umat manusia secara universal, lalu Beliau (dengan dibimbing oleh Allah, karena Beliau selalu wa’tasimubillah, bergantung kepada Allah) BERHASIL menundukkan kehendak (fitrah) dari lingkungan Beliau itu.

Bentuk dari ketaklukkan Beliau terhadap kehendak zaman ini secara garis besar bisa dibagi menjadi 3 jenis:

1. TUTUR KATA (Qauliyah) Beliau tatkala “membaca” suasana demi suasana alam semesta dan diri Beliau sendiri, baik untuk masa lalu sekarang dan yang akan datang.
2. SIKAP, PERILAKU (Fi’liyah) Beliau terhadap keadaan demi keadaan yang Beliau hadapi selama Beliau menjadi Rasul Allah.
3. KETETAPAN (Taqririyah) Rasulullah atas berbagai perkara.


Dari paling tidak tiga jenis ketaklukkan Nabi Muhammad SAW terhadap lingkungan Beliau ini saja, orang lalu mencoba untuk membukukannya. Dan usaha membukukannya baru dilakukan orang beberapa ratus tahun setelah Beliau wafat. Buku tentang UCAPAN dan WEJANGAN Beliau, ataupun KATA-KATA PARA SAHABAT yang mengungkapkan kesaksian mereka akan SIKAP, PERILAKU, dan KETETAPAN Nabi Muhammad SAW ini lalu dikenal luas dengan nama Al Hadits.

Tapi percaya atau tidak, kalaulah mau dituliskan semua Al Hadits itu untuk selama rentang masa kenabian Beliau (sekitar 23 tahun), maka akan terkumpul Al Hadits dalam jumlah jutaan. Ya… jutaan hadits. Nggak percaya..???. Mari kita kira-kira sejenak.

Andaikan kita dekat Rasulullah, lalu kita amati, kita ikuti, kita catat seluruh kegiatan Beliau menit per menit hanya dalam SATU HARI saja. Misalnya, tentang bagaimana berbicara Beliau, duduk Beliau, tidur Beliau, menguap Beliau, melihat Beliau, perilaku Beliau, ketawa Beliau, bercanda Beliau, makan Beliau, minum Beliau, berbicara dan diam Beliau kepada sahabat-sahabat. Begitu juga tentang bagaimana ketetapan-ketetapan Beliau. Berapa banyak Al Hadits itu yang akan terkumpul ??.

Nah…, kalau pengamatan itu dilakukan selama hidup Beliau, kira-kira berapa juta hadits yang bisa dan harus terkumpul…??. Lalu kira-kira berapa bagian pula yang tak bisa kita kumpulkan dan tuliskan karena keterbatasan akses kita untuk selalu mengamati dan mencatat apapun yang Beliau lakukan…???. Semua tidak akan jauh dari angka jutaan…..!!!.


Ketaklukan Muhammad SAW…

Pada bagian berikut ini akan digambarkan bagaimana ketaklukkan Nabi Muhammad terhadap FITRAH (Sunnah).

1. Suatu kali pernah kaum COVERED (terhijab) Quraish berencana untuk membunuh Nabi Muhammad selagi beliau tidur dimalam hari. Lalu dibuatlah rencana untuk mengepung rumah Beliau. Berita pengepungan itu ternyata diketahui oleh Nabi Muhammad, silahkan memaknai sendiri kata “diketahui” (bagaimana Beliau mengetahuinya) sesuai dengan data yang ada di otak masing-masing. Mengetahui bahwa kaum Quraish dengan jumlah yang besar akan mengepung rumahnya, beliau TAKLUK terhadap keinginan tubuhnya. Bahwa tubuh Beliau ternyata hanyalah terbuat dari bahan yang bisa berdarah-darah. Beliau sendirian tidak mungkin mampu berhadapan dengan sekian puluh orang yang sedang kalap. Karena Beliau hanyalah seorang manusia yang mempunyai kekuatan terbatas. Mentang-mentang Beliau adalah seorang Rasul Allah, yang dijaga oleh Allah, Beliau tidak mau gagah-gagahan menantang puluhan orang seperti yang pernah dilakukan oleh Pasukan Berani Mati pembela GUS DUR beberapa waktu yang lalu. Yang Beliau lakukan adalah Beliau bersembunyi di dalam gua bersama Abu Bakar. Lalu dalam persembunyian Beliau itulah Allah menjaganya. Manusiawi dan fitrah sekali suasana saat itu …

2.Saat terjadi perang UHUD. Rasulullah takluk terhadap kehendak alam peperangan. Fitrahnya adalah bahwa orang yang berada di ketinggian akan punya keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan orang yang berada di tempat rendah. Maka Beliau memerintahkan kepada pasukan panahnya untuk menempati posisi di tebing bukit Uhud. Dan ternyata memang saat itu umat Islam berhasil memukul mundur kaum Quraish dengan meninggalkan pampasan perang. Karena lupa diri melihat pampasan perang dibawah sana, maka sahabat-sahabat yang berada di bukit Uhud turun ke bawah untuk meramaikan perebutan harta di bawahnya. Dan kaum Quraish melihat kekosongan pasukan penyerang diatas bukit itu, lalu mereka ganti yang menduduki bukut Uhud. Dari atas bukit kaum Quraish menghujani pasukan Rasulullah dengan anak panah, sehingga Rasulullah sempat terluka, dan puluhan sahabat penghafal Al Qur’an juga syahid disana. Artinya apa…?. Allah tidak peduli kepada siapa pun yang coba-coba berperilaku tidak sesuai dengan FITRAH, walau saat itu ada Nabi sekali pun, walau disitu juga banyak sahabat yang hafal Al Qur’an, akan tetapi apabila fitrah terlanggar, maka saat itu juga Allah tidak mau merubah hukum-hukum yang telah di tetapkan-Nya untuk dipatuhi oleh siapa pun.

Makanya saat perang Teluk I-II dengan agresi Amerika dan sekondan-sekondannya menyerang Irak, maka Amerika dengan mudah mengalahkan bangsa Irak. Karena Amerika tinggal menjatuhkan ribuan ton bom dari tempat ketinggian ke sasaran-sasaran strategis Irak. Duaarrr…, MATI. Begitu juga saat Alm. Syekh Yasin dari Hamas Palestina dibunuh oleh Isreal, ya lewat serangan dari udara juga… MATI. Walaupun di Irak banyak (kuburan) wali-wali Tuhan, banyak tempat suci, Tuhan nggak peduli itu. Bangsa Irak itu akan tetap jadi bulan-bulanan Amerika yang dari hari ke hari selalu menyesuaikan kemampuannya dengan permintaan zaman, FITRAH….

3.Dalam masalah poligami, ketaklukan Nabi terhadap zaman Beliau juga tak kalah indahnya. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab ketika itu untuk punya istri lebih dari 15 orang. Budaya poligami itu sudah sangat mendarah daging bagi bangsa Arab saat itu. Lalu turun ayat Al Qur’an yang memangkas poligami itu hanya sampai empat saja. Tetapi dari makna ayat poligami itu ada suatu message yang tidak semua orang yang bisa melihatnya. Message-nya adalah bahwa tujuan yang akan dicapai nantinya adalah monogami, yaitu satu istri saja. Karena Al Qur’an sudah memvonis duluan bahwa “kalian wahai kaum laki-laki TIDAK akan pernah bisa berlaku Adil, walau kalian ingin sekali untuk adil itu…”, padahal syarat poligami itu disebutkan haruslah kalian itu bersikap adil.


Keberhasilan Rasulullah merubah sebuah budaya poligami dari punya puluhan istri menjadi hanya empat orang istri saja sudah merupakan prestasi yang sangat hebat. Kalaulah Nabi langsung diperintahkan untuk menuju monogami, maka ketika itu akan terjadi kekacauan budaya. Orang akan menjauh dari Nabi, karena yang direkonstruksi Nabi ini adalah termasuk masalah yang enak-enak bagi kaum lelaki. Begitulah indahnya Al Qur’an. Al Qur’an sampai kapan pun mengizinkan poligami, bisa dengan dua, tiga, atau empat orang istri. Bahkan ada juga yang mengartikannya menjadi poligami dengan 4+3+2+1, yaitu sembilan istri seperti yang dilakukan oleh Nabi. Masalah Nabi beristri sembilan inipun telah jadi bahan pembicaraan dari dulu sampai sekarang. Akan tetapi ya itulah FITRAH NABI. Sedangkan FITRAH peradaban manusia akan berubah dari budaya poligami menuju kepada monogami saja. Dan perubahan itu tengah terjadi di seluruh dunia.

Lalu ada yang berpoligami…, ya biarkan saja. Mereka berarti menganggap diri mereka bisa berlaku adil. Kalau mereka ternyata tidak adil, maka FITRAH lain akan berbicara. Bisa saja rumah tangga mereka menjadi rumah neraka dunia. Ribut dan cekcok terus…, dan akhirnya suami menderita, istri menderita, anak menderita. Dan bahkan akhirnya perceraian tidak terhindarkan lagi. Taroklah ada yang berhasil dengan poligaminya, empat istri dia punyai, tampak luarnya rukun-rukun pula. Akan tetapi dihadapan masyarakat umum dia akan menjadi barang langka yang aneh, ya jadi tontonan juga orang juga. “Kok bisa yah…?”, celetuk beberapa orang.

Lalu ada pula yang baru mampu bermonogami..., ya biarkan jugalah mereka begitu. Yang keliru adalah, lagaknya saja bisa bermonogami, akan tetapi dia sebenarnya masih ngiler melihat wanita lain. Mereka sebenarnya ingin untuk poligami, akan tetapi apalah daya kantong dan keberanian tidak ada. Kalau sudah begini fitrah lain akan berkata pula, misalnya saja si suami menjadi sangat tersiksa dengan perilaku ngilernya itu.

Ah…, masalah poligami dan monogami hanyalah masalah sederhana saja yang dibesar-besarkan orang. Ada yang pakai ngancam bahwa yang tidak poligami berarti tidak ikut sunnah Nabi. Begitu juga yang monogami melecehkan pelaku poligami dengan label si pengejar kepemuasan nafsu seks. Bisa-bisanya berkesimpulan begitu. Padahal monogami dan poligami itu dua-duanya sesuai dengan Al Qur’an. Kalau begitu benang merahnya dimana….??. Kembali ke FITRAH. Dan nantinya Akal lah yang akan menjadi Sang Hakim bagi fitrah yang telah kita pilih. Nanti tentang Akal Sang Hakim ini akan diulas pada bahasan tersendiri.

Al Hadits sudah Habis…, sedangkan As Sunnah adalah Abadi

Kumpulan kitab-kitab hadits yang sampai kepada kita saat ini telah mengalami sejarah kodifikasi yang sangat panjang dan ruwet. Disini tidak akan dibahas bagaimana ruwetnya dan siapa-siapa yang terlibat di dalamnya. Silahkan cari sendiri di buku-buku lain tentang sejarah itu. Banyak sekali. Saya hanya akan membahasnya dari segi makna atas terpangkasnya jutaan hadits akibat dari pengelompokan hadits oleh Bukhari Muslim, Abu Daud, Turmidzi, dsb., dan juga hadits dari kelompok Syi’ah.

Sungguh beragam sekali kualitas hadits itu setelah dikotak-kotakkan berdasarkan “periwayatannya”. Pada tingkatan yang dianggap baik ada yang mutawatir, ada yang shahih, ada yang hasan. Sedangkan pada tingkatan yang kurang baik ada musalsal, muqati', gharib, mu'an'an, matrub, masyhur, mudarraj, mu'allaq, dan banyak lagi kelas hadits itu yang telah dibuat oleh “ahlinya”, tentu saja ada yang dikelompokan sebagai hadits palsu. Dan dari beragamnya pemahaman Al Hadits inilah sebenarnya masalah LATEN antar sesama umat Islam bertahan dari zaman ke zaman.

Begitu juga…, SEGERA setelah Rasulullah wafat, maka muncullah konflik perebutan kekuasaan kekhalifahan antara “pengikut dan pendukung” Ali Bin Abi Thalib di satu pihak dengan kelompok sahabat-sahabat lainnya, misalnya dengan “para pendukung” Abu Bakar Siddiq. Saat itu memang belum dikenal adanya sistem PEMILU seperti sekarang ini. Dari konflik kekuasaan ini, lahir pulalah ribuan hadits yang sengaja dipalsukan oleh para pendukung masing-masing kubu yang bertikai. Hadits-hadits palsu itu apalagi kalau bukan untuk saling menjelekkan lawan politiknya dan saling memuji akan keutamaan dan kebagusan kelompoknya sendiri. Pertikaian politik dan dampak buruknya terhadap perkembangan (baca kemunduran) perjalanan peradaban Islam ini akan dibahas dalam sub bab “Mengupas Kulit Bawang Sejarah”.

Yang menarik adalah…, Rasulullah semasa hidupnya telah menjalankan FITRAH DIRI Beliau sendiri dengan begitu enak dan bebasnya. Setiap permasalahan Beliau tuntaskan sesuai dengan kondisi bangsa Arab saat itu. Setiap ada sahabat yang datang kepada Beliau membawa masalah, lalu Beliau selesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat kecerdasan, keimanan, kekayaan, keilmuan sahabat tersebut. Saat Beliau berhadapan dengan sebuah keadaan atau suasana baru, maka Beliau lalu bertindak dan takluk terhadap keadaan baru itu, akan tetapi dengan ketaklukan yang mengikuti FITRAH. Kalaulah dibuat sebuah FILM DOKUMENTER tentang menit ke menit dalam hidup Beliau, maka film itu akan MENGALIR dengan enak, mulus, dan smooth. Film itu akan memuat semua suka, duka, derita, bahagia Beliau selama memperkenalkan ISLAM, IMAN, IHSAN, kepada bangsa ARAB yang sangat jahiliyah saat itu. Mengalirnya perbuatan dan perkataan Beliau dengan sangat smooth inilah yang saya namakan sebagai As Sunnah (sunatullah). Dan ESENSI dari As Sunnah ini akan ABADI sepanjang zaman, karena semua memang merupakan FITRAH manusia itu sendiri. Dan ESENSI (KONTEKTUAL) dari As Sunnah sebagai cara-cara Nabi takluk terhadap fitrah Beliau inilah yang ditinggalkan oleh Rasulullah untuk diikuti oleh umat penerus Beliau di belakang hari, yaitu agar umat di belakang Beliau juga TAKLUK terhadap fitrah mereka masing-masing.

Yang tak kalah luar biasanya cara Rasulullah dalam memotivasi umat adalah:

*Untuk hal-hal BURUK, sebelum kejadian buruk itu terjadi atau dilakukan oleh para sahabatnya, Rasulullah seakan-akan menakut-nakuti mereka dengan hukuman yang sangat keras, dengan dosa yang sangat besar. Akan tetapi tatkala keburukan itu sudah atau terjadi juga, bisa lantaran kebodohan maupun ketidaktahuan mereka, maka Rasulullah hanya menyuruh umat itu untuk bertobat, untuk minta ampun, dan berbagai sikap pemaafan lainnya. Kalau tidak sangat terpaksa, Beliau tidak akan menjatuhkan hukuman bagi yang berbuat buruk itu.

*Sedangkan untuk hal-hal yang BAIK, Rasulullah seakan-akan mengiming-imingi umat dengan pahala dan ganjaran yang sangat menggiurkan bagi umat untuk melaksanakannya dan hukuman yang sangat keras bagi umat yang meninggalkannya. Akan tetapi tatkala umat tidak mampu melaksanakan kebaikan itu, maka Beliau juga menggembirakan umat dengan kata-kata pemaafan yang sangat arif. Ya…, sudah, Tuhan tidak akan menyusahkan umat di luar kemampuan umat itu sendiri …


Sungguh Rasulullah itu adalah sebuah buku hidup yang sangat luar biasa.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad…..



MENGUPAS KULIT BAWANG SEJARAH…

Di sini akan di bahas secara gamblang tapi ringan lapis demi lapis kulit bawang sejarah tentang munculnya kelompok-kelompok dalam perjalanan sejarah Islam yang nantinya akan berdampak pada kerancuan pemahaman Al Hadits. Mungkin kita selama ini bingung terhadap kenapa begitu banyaknya aliran dan kelompok-kelompok yang ada dalam ajaran Islam. Selama ini kita terombang ambing dengan klaim berbagai aliran dan kelompok bahwa HANYA aliran atau kelompok merekalah YANG BENAR..., dan yang di luar kelompok mereka itu adalah SALAH, kafir, atau sesat. Luar biasanya lagi…, setiap kelompok itu seperti punya dasar yang sangat kuat dari berbagai Al Hadits.

Kondisi ini benar-benar membuat sebagian besar, sekali lagi hampir sebagian besar umat Islam, tidak hanya di Indonesia tapi juga hampir di seluruh dunia seperti berada dalam FASE KEBINGUNGAN, FASE MAMPET, bahkan sudah sampai pada tahap FASE BERJALAN MUNDUR dalam menghadapi gejolak zaman yang sungguh dahsyat ini. Jadinya umat Islam secara keseluruhan saat ini seperti ditertawakan orang, dilecehkan orang.

Artikel ini akan mencoba mencari akar penyebab munculnya pertentangan demi pertentangan itu. Setelah membaca artikel ini pembaca mungkin akan berada dalam fase kebingungan, atau mungkin malah sebaliknya bisa menjadi insan yang mampu mereposisi sikap diri dalam menghadapi parahnya sentimen anti kelompok seperti saat ini. It is up to you... . By the way, ini adalah salah satu wujud dari belajar agama sambil MIKIR.

Nanti kalau anda tahu akar sejarah ini, maka mungkin anda akan tertawa saja melihat proses gilas-menggilas pemikiran dan perlakuan antar kelompok-kelompok ini. Sampai-sampai tiap kelompok saling mengklaim bahwa syorga itu hanya milik kelompok mereka saja. Bagi saya, biarin syorga itu mereka saling klaim sebagai hanya milik kelompok mereka, ambilah tuh semua. Saya sih nanti cukup kemping saja di pinggir syorga.

Titik Awal Pertikaian Hitam…

Kulit bawang terluar yang patut dikelupasi terlebih dahulu adalah waktu beberapa saat setelah Rasulullah wafat.

Kala itu, jasad Rasulullah SAW sudah terbujur kaku sekitar dua-tiga hari di rumah Beliau. Abu Bakar, Umar, Usman, dan sahabat-sahabat lainnya ra., masih sibuk di luar rumah membicarakan siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan. Perundingan dan lobi-lobi para pihak masih terlalu alot untuk sebuah keputusan politik yang bisa diterima semua pihak. Di dalam sana jenazah Rasulullah hanya ditunggui oleh Ali bin Abi Thalib ra. Sudah tiga hari jenazah Beliau belum dikuburkan juga. Sedangkan Ali ra. tidak diikutsertakan dalam pembicaraan politik tingkat tinggi itu. Akibatnya timbul ketidakpuasan dari pendukung Ali ra.

Padahal dalam banyak hadits, Rasulullah SAW seakan-akan mengistimewakan Ali ra. Misalnya disebut sebagai "pintu ilmu", gudang ilmu, yang selalu menggantikan Nabi sebagai imam shalat jika Nabi berhalangan. Sungguh banyak keutamaan-keutamaan ini diriwayatkan baik oleh kelompok Syiah maupun Ahlussunnah.

Lalu menurut kelompok Ali, keutamaan-keutamaan itu mengindikasikan bahwa Ali pantas untuk memegang tampuk pemerintahan pengganti Rasulullah. Karena maksud ini tidak kesampaian, maka akibatnya pendukung Ali menjadi sakit hati yang berkepanjangan.

Singkat kata, keputusan politik jatuh bahwa Abu Bakar ra ditetapkan sebagai khalifah pertama. Umar ra. menyambut estafet pemerintahan berikutnya. Masa-masa Abu Bakar dan Umar Bin Khattab ra. tidak akan dibahas dulu. Saya akan mencoba melihat secara kritis dan singkat kondisi politik saat pemerintahan Usman Bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra.

Saat Usman ra. memerintah terjadilah kondisi dimana beberapa orang keluarga dekat Usman diberikan kekuasaan di daerah-daerah lain yang berada dalam kekuasaan Khalifah Usman ra. Sejenis KKN dalam pengangkatan pejabat pemerintahan mulai merebak dan mendapat protes dari kelompok lainnya. Akibatnya lahir kelompok baru penentang sistem pemerintahan Usman bin Affan ini. Kelompok ini terkenal dengan istilah kelompok "KHAWAARIJ". Kelompok ini melakukan oposisi yang keras terhadap pemerintahan Usman.

Seiring dengan itu dari kubu Ali masih tertanam rasa "di-kudeta" atas tampuk kekuasaan yang seharusnya jatuh ke tangan Ali. Puncaknya adalah terjadinya pembunuhan Usman bin Affan yang dilakukan oleh anak angkat Ali bin Abi Thalib. Saat itu Usman sedang shalat lho..!!. Seorang sahabat dibunuh oleh anak angkat sahabatnya sendiri. Sungguh kenyataan
yang sulit bagi kita untuk tidak merasa malu.

Di lain pihak terjadi juga gesekan antara mertua dan menantu yaitu antara Aisyah dengan Ali. Awalnya adalah saat suatu kali jatuh fitnah kepada Aisyah bahwa beliau berselingkuh. Lalu Rasulullah minta pendapat kepada Ali. Dengan lantang Ali menyarankan "CERAIKAN". Kata-kata ini didengar langsung oleh Aisyah dan ini membuat beliau juga memendam bara dendam kepada Ali.

Puncak perseteruan mertua dan menantu ini mencapai puncaknya saat mana onta yang sedang ditunggangi Aisyah disembelih oleh pendukung Ali. Peristiwa ini melecut peperangan yang dikenal dengan nama perang Jamal (perang onta).

Kala itu terjadi sejarah perburuan Siti Ai’syah ra. dan rombongannya (diantaranya yang terkenal adalah Abu Talhah, Zubair, Muawwiyah, Abu Sofyan, dan keluarga Usman) terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dan sahabat-sahabatnya di Irak sana. Kulit terluar ini ditandai dengan terjadinya saling berbunuh-bunuhan secara besar-besaran antara sesama kaum muslimin sendiri. Nantinya ternyata di negara Irak itu sejak dari zaman dulu, zaman sahabat-sahabat Rasulullah, bahkan sampai sekarang, sudah menjadi tempat ajang pembantaian sesama manusia. Sesama umat yang bernabikan Muhammmad SAW, dan bertuhankan Allah SWT.

Suatu ketika, rombongan Siti Ai’syah, Muawwiyah, Abu Sofyan, keluarga Ustman berbondong-bondong datang hanya ingin untuk menuntut rasa keadilan Ali bin Abi Thalib atas terbunuhnya Ustman bin Affan oleh Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkat Ali bin Abi Thalib sendiri. Kan keterlaluan itu. Bayangkan…, sahabat beliau sendiri dibiarkan dibunuh. Dessss…, meninggal.

Singkat kata…, setelah Ustman bin Affan terbunuh, kemudian Ali diangkat menjadi khalifah. Dalam perjalanan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, keluarga Ustman lalu menuntut balas atas terbubuhnya Ustman beberapa waktu yang lalu. Keinginan yang wajar saja sebenarnya. Secara otomatis keluarga ini ingin mencari keadilan dong; “Tolong Ali, yang membunuh bapak saya agar di adili”. Setuju kan…?. Karena memang Ustman dibunuh oleh anak angkatnya Ali bin Abi Thalib. Tapi anehnya oleh Sayyidina Ali, anak angkat beliau itu diangkat menjadi Gubernur di Mesir. Bukannya di adili, ee… sang pembunuh Ustman itu malah diangkat menjadi Gubernur.

Nguamuklah keluarga Ustman dan simpatisannya ketika itu. Inilah persoalan utama kenapa keluarga Muawwiyah dan keluarga Ai’syah marah kepada Ali dan kelompok yang mendukung beliau. Kemarahan kalangan Muawwiyah dan keluarga Usman yang tidak bisa dibendung inilah nantinya yang akan memicu terjadinya sebuah pertempuran sengit antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan penentang beliau. Lalu Ai’syah dan rombongan beliau datang dengan sekian puluh ribu pasukan ke Irak untuk menyerang Ali.

Terjadilah pertempuran yang sangat sengit di Shiffin, atau ada juga orang menyebutnya dengan perang Jamal (cammel). Duuaar…, perang pun terjadi, darah mengalir menganak sungai. Pasukan Ali tewas sekitar 5000 orang dan dipihak Ai’syah tewas sekitar 10.000 orang. Kalau dibandingkan skala penduduk sekarang dengan dulu itu, mati 15.000 orang itu buuaanyaak sekali. Kalau sekarang mungkin padanannya yang mati itu adalah orang sekotamadya Cilegon di Banten sana. Yang mati itu manusia semua. Masak kalau itu dianggap fitnah, mereka tidak “telpon-telponan” dulu: “Ali kenapa kamu begitu…”. Wong namanya dengan mertua, ya… mbok ya dengerin. Masak sih dua-duanya nggak sadar. Kan dua-duanya bisa mikir; “Ini mau bunuh-bunuhan kita ini”. Dua-duanya bunuh-bunuhan ini..!. Tapi itulah…, semuanya ngotot. Lalu jedaaaaar… tewas.

Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan di Shiffin ini, tentara Ali dapat menumpas mundur tentara “pembangkang”. Tetapi tangan kanan (kepercayaan) Muawiyah bernama Amr ibn ‘As dengan cara yang sangat licik menyatakan menyerah dengan mengangkat Al Qur’an di atas kepalanya, sehingga pertempuran dihentikan oleh Ali. Qurra’ yang dipihak Ali mendesak Ali untuk menerima tawaran untuk berdamai. Sehingga terbentuklah kesepakatan damai antara kedua belah pihak, sebagai pengantara diangkat dua orang : ‘Amr ibn al ‘As dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa Al Asy ‘ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr ibn al ‘As mengalahkan perasaan Abu Musa. Sejarah mengatakan antara keduannya bersepakat untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Muawwiyah. Namun kenyataannya dalam pengumuman yang dibacakan oleh Abu Musa sebagai orang yang tertua, hanya Ali yang disepakati untuk dijatuhkan.

Bagaimana pun peristiwa ini merugikan bagi pihak Ali dan menguntungkan Muawwiyah. Padahal Ali sebagai khalifah yang legal sedangkan Muawwiyah hanyalah sebagai Gubernur.

Dengan adanya arbitrase ini kedudukan Muawwiyah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Sedangkan Ali tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah sehingga ia harus mati terbunuh tahun 661 M oleh Abdul Rahman Ibn Muljam, dari pihak Ali yang kecewa atas keputusan yang dianggap salah. Ali di bunuh…, di tikam…, seeeet… tewas. Jadi dulu itu, kalau marah itu dilanjutkan dengan membunuh orang. Kalau sekarang ya paling teriak-teriak di DPR. Kalau dulu itu malah nyembelih orang. Orang yang dinilai salah itu di sembelih. Apa ndak memiriskan hati itu…!?. Dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib ini, maka Muawwiyah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercokol sebagai penguasa baru.

Persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan politik sebagaimana digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang melakukan bid’ah dan khurafat. Kekacauan terjadi sepeninggal Ali. Mereka-mereka saling mengkhianati dan gelap mata. Dan yang sangat luar biasa adalah, mereka tidak lagi menghargai Rasulullah dengan membunuh cucunya yang paling dicintainya, Hasan dan Husein, di padang Karbala.

Hasan-Husein (cucu Rasulullah) dipotong kepalanya oleh kelompok Mu’awiyah. Mu’awiyah itu siapa…?. Beliau dalam hadits adalah termasuk 10 besar sahabat yang masuk syorga. Bingung lagi kan?. Sahabat yang masuk 10 besar orang yang masuk syorga kok tega membunuh cucu Rasulullah gitu lho. Sang 10 besar masuk syurga kok mau membunuh saudaranya sendiri. Saya yang hanya ndak mau pakai celana “ngatung” ini saja, saya yang kadang-kadang salaman dengan cewek saja, masih dihakimi orang telah melakukan ma’siat. Oalah…, cucu Nabi disembeleh pak. Apa itu ndak disebut ma’siat pak…?. Maka wajarlah kalau pendukung Ali (baca: kaum Syiah) sangat membenci kelompok Muawwiyah, Usman dan Khawarij.

Lalu…, kecintaan mereka (kaum Syiah) terhadap cucu Rasulullah dan Ahlul Bait mengubah sistem politik dari bentuk kekhalifahan yang diprakarsai oleh Abu Bakar, menjadi sistem Imamah. Kekacauan politik semakin meruncing tajam sehingga muncul di sana-sini kelompok-kelompok yang mengatasnamakan kebenaran untuk kepentingan politiknya. Bahkan pada masa itu dikenal pengarang-pengarang hadits palsu untuk dijadikan dalil menyesatkan lawannya. Karakter itu masih terasa sampai pada masa sekarang yang berkembang menjadi saling menyesatkan antara golongan dan aliran.

Inilah awal pertentangan terpanas antara sesama pemeluk agama Islam sendiri. Kemudian pertumpahan darah itu akan melahirkan saling tuding di antara keduanya. “Ali salah…”, kata kelompok Aisyah. Dan tudingan itu dibalas pula oleh kelompok Ali: “Ai’syah yang salah…”. Dan sejak saat itulah ditanamkan oleh para penerus Nabi itu pertentangan demi pertentangan yang nantinya akan melahirkan pertentangan ALIRAN-ALIRAN dalam Islam.

Nanti sejarah akan bercerita bahwa diantara kelompok-kelompok itu, jika satu kelompok berkuasa maka kelompok oposannya seringkali "dihabisi". Dan ini terjadi silih berganti. Sampai sekarang pun begitu. Sebelum Dinasti Fahd memerintah, kelompok Habaib masih bisa hidup di Arab Saudi. Akan tetapi secara perlahan para Habaib ini tersingkir dari Arab Saudi. Yang paling lawas adalah geliat politik pasca Saddam Husein di Irak sana dimana
sebentar lagi kita mungkin akan melihat kelompok Syi'ah mendesak kelompok Sunni, atau mungkin sebaliknya (karena disana sedang terjadi reposisi masing-masing kelompok di bawah bayang-bayang provokasi dan hasutan Amerika dan koleganya.

Kenapa saya harus membuka sejarah ini…?. Ya…, karena banyak sekali umat Islam saat ini yang tidak mengetahui kenapa mereka harus saling menyalahkan. Mungkin sudah banyak juga yang mengetahui sejarah ini, cuma belum bisa memetik pelajaran dari sejarah perjalanan kelam tersebut. Kalau kita belajar agama tidak dari sejarah ini, kita nggak akan pernah tahu apa persoalan yang sebenarnya, kenapa Syiah disalahkan, kenapa Mu’tazilah disalahkan, kenapa ini…, kenapa itu… Dan anehnya setiap aliran lain dibilang KAFIR oleh kelompok lainnya. Jadi puncak penyebab masalahnya adalah dari peperangan di atas.

MUNCULNYA GOLONGAN-GOLONGAN…

Nah…, pada masa pertumpahan darah di atas, lalu ada kelompok yang tidak setuju dengan pertempuran tadi itu, dari kelompok Ali sendiri. “Ali terlalu lemah”, kata sebagian pasukan Ali. “Seharusnya Ali tidak memberikan konsesi-konsesi terhadap Mu’awiyah”. Sebagai anak buah, mereka menuntut. Ini bak pertanyaan anak buah Gus Dur, “kenapa Gus Dur diam aja di kerjain Amin Rais, kalau begitu saya WALK OUT saja”. Maka kelompok yang keluar dari kelompok Ali ini kemudian disebut sebagai kelompok Khawarij (walk out). Jadi dari zaman dulu sudah ada itu yang namanya walk out. Dalam bahasa Arab namanya Khawarij. Kalau sekarang kasusnya mungkin sama dengan perpecahan internal sebuah partai. Bagi kelompok yang tidak sejalan lagi dengan kebijakan partai yang ada, akan muncul sekelompok orang yang membentuk partai lain dengan menambah berembel-embel reformasi di belakang nama partai yang lama. Misalnya, PPP Reformasi, PDI Perjuangan, dan mungkin sebentar lagi Golkar Reformasi, dan sebagainya.

Jadi, wajar saja kalau ada anggota kelompok kita yang tidak sejalan dengan kebijakan kelompok itu sendiri. Andai kata saat itu kita ikut sebagai pelaku sejarah itu, dan kita menjadi khawarij apa ya salah… ???. Dengan berpikir sebagai manusia biasa saja, jangan sebagai wali, karena wali itu berpikirnya sangat bening: “kok sama mertua bisa hantam-hantaman begitu lho…”. Ya…, sebagai manusia, apa kita akan ikut keluar dari kelompok Ali itu. Kalau saya sih rasanya akan keluar. Tapi sama kelompok Ali, kelompok Khawarij ini lalu dicap KAFIR. Hanya karena Khawarij ini keluar dari barisan Ali. Maka sejak itu lahir pulalah pengkafiran-pengkafiran yang ditujukan kepada lawan-lawan politik masing-masing bagi yang sedang berseteru tersebut. Misalnya, Kelompok Ali mengkafirkan Ai’syah dan Khawarij. Begitupun sebaliknya. Gayungpun bersambut. Maka sejak itu pun istilah kafir lalu berbunyi seperti suara tokek….!!!.

Lalu ada yang berfikir RASIONAL. Ali mereka anggap tidak salah. Ai’syah juga mereka angap tidak salah. Tapi dua-duanya itu tidak dianggap kafir oleh kelompok yang berfikir rasional ini, walau saat itu sangat mudah muncul cap kafir bagi lawan sebuah kelompok lainnya. Karena memang waktu itu sangat mudah terjadi saling pengkafiran. Namun kelompok berfikir rasional ini hanya menganggap kedua kelompok itu, Ali di satu pihak dan kelompok Aisyah di pihak lain, hanya telah melakukan suatu kesalahan saja yang disebut dengan “asyii” (orang yang melakukan kesalahan). Artinya mereka menganggap Ali dan Aisyah hanya mukmin yang punya salah. Kelompok yang berfikiran seperti ini lalu disebut orang dengan nama MU’TAZILAH, RASIOANALIS. Artinya kelompok yang menggunakan rasio, menggunakan pertimbangan yang rasional. Ada juga orang yang menyebutnya dengan “AHLUL ‘ADLI”, kelompok yang adil, atau kalau sekarang mungkin disebut “partai yang adil”.

Karena tidak berpihak seperti ini, maka oleh kelompok Ali, mereka dianggap KAFIR juga. Kenapa mereka dianggap kafir oleh kelompok Ali …?. Yaa…, ini karena oleh Mu’tazilah, Ali bin Abi Thalib dianggap punya kesalahan (maksiat). Padahal oleh kelompok Ali, Ali itu dianggap Imam Suci, yaitu orang yang tidak pernah punya salah dan mempunyai derajat MAKSUM (terpelihara dari dosa dan maksiat). Maka oleh pendukung Ali yang bilang bahwa Ali adalah maksum ini, kaum Rasionalis (Mu’tazilah) ini lalu mereka cap kafir juga.

Padahal kaum Mu’tazilah ini lagi mikir-mikir, bahwa secara rasional saja Ali dan Ai’syah ya salah, karena mereka saling membunuh orang banyak. Walaupun begitu, Ali maupun Ai’syah tidak anggap kafir oleh kaum Rasionalis ini. Tapi oleh kelompok Ali yang tetap mengklaim bahwa Ali itu suci, maupun oleh kelompok Aisyah yang juga menganggap Aisyah itu suci, kelompok Rasionalis ini dianggap kafir pula. Padahal kalau direnung-renungkan, dari mana tuh rumusnya ada orang yang saling berantam dan dua-duanya merasa benar, dari mana hitungannya?. Paling tidak ya salah satu salah…?. Ini pendapat orang yang berpikiran rasional. Tapi yang berpikiran rasional begini tetap dianggap salah dan kafir oleh pihak Ali maupun pihak Aisyah.

Lalu antara kelompok Ali maupun kelompok Aisyah ini sampai turun temurun saling tidak mau menerima riwayat hadits dari pihak lawannya. Kelompok Ali tidak mau menerima hadits yang diriwayatkan oleh Ai’syah. Begitu juga kelompok Ai’syah juga tidak mau menerima hadits yang datangnya dari Ali. Untuk membuktikannya lihatlah kitab Riyadushshalihin, Bulughul Maram. Dalam kitab-kitab tersebut hampir-hampir tidak ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalib. Begitu juga dalam kitab hadits yang dikumpulkan oleh pendukung Ali, sangat jarang sekali bisa ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh kelompok Aisyah.

Inilah awal terjadinya perpecahan hadits. Lalu hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ali ini dikumpulkan menjadi hadits kelompok Syiah. Makanya dalam hadits Syiah, misalnya, masih ada kawin muth’ah (kawin kontrak). “Yuk kita kawin yuk, dua hari lalu udahan”, ini namanya kawin kontrak. Kawin kontrak ini memang pernah terjadi di zaman Rasulullah, akan tetapi sudah di nasakh (dihapuskan) dikemudian hari. Nah penghapusan kawin muth’ah ini hadistnya dipegang oleh Ai’syah. Kata Ai’syah, “Oo muth’ah itu sudah dihapus…!. Kelompok Ali menjawab: “no way…, aku nggak pernah dengar dari Rasulullah..”. Begitulah…!. Maka kemudian terjadilah keruwetan yang amat sangat tentang riwayat meriwayatkan hadits ini.

Kelompok Khawarij lalu nggak mau pakai hadits, mereka hanya mau pakai Qur’an saja. Mereka menganggap ruwet kalau pakai hadits, karena semua nggak bisa dipercaya. Makanya kelompok Khawarij ini nggak mau shalat. “Pokoknya saya tauhid saja, saya ikut Allah dan Muhammad saja, titik. Saya nggak mau riwayat-riwayatan hadits….!” Nah ini Khawarij namanya.

Terjadilah perpecahan antara sesama umat Islam sendiri dengan sangat ekstrim. Dari kelompok Aisyah lalu memunculkan cikal bakal bagi munculnya kelompok-kelompok yang disebut dengan Bani Umayyah, sedangkan dari kelompok Ali sangat terkenal dengan kelompok Bani Fatimiyah-nya. Dua kelompok besar ini bertempur tak habis-habisnya dari zaman ke zaman. Saat kelompok Ali yang menang, maka muncullah kerajaan Bani Fatimiyah. Lalu kelompok Bani Umayyah di kejar-kejar dan dibunuhi oleh keluarga Bani Fatimiyah ini. Begitu pun sebaliknya. Saat Bani Umayyah yang menang, maka Bani Fatimiyah pada gilirannya yang dikejar-kejar dan dibunuhi oleh kelompok Bani Umayyah.

Pertempuran turun temurun dua Bani ini lalu telah memunculkan dua golongan besar penganut Islam. Satu pihak dari Bani Umayyah melahirkan kelompok besar yang sekarang dikenal dengan kelompok Sunni, Ahlussunah Wal Jamaah. Sedangkan dari pihak Bani Fatimiyah melahirkan kelompok Syiah, atau kelompok yang mengikuti keimaman Ahlul Bait. Demikianlah terjadi silih berganti peristiwa hantam menghantam ini. Saat Saddam Husein yang berkuasa di Irak, maka kelompok Syiah di berangus seperti halnya juga di Arab Saudi sekarang ini.

Pertempuran dan perpecahan Sunni dan Syiah ini tidak berhenti di tanah Arab sana saja. Bahkan sampai mengalir sampai ke tanah Jawa. Di Jawa perseteruan ini ditandai dengan perselisihan antara Sunan Giri dan Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo hampir saja berbunuh-bunuhan dengan Sunan Giri, karena Sunan Kalijogo dianggap mengembangkan Syiah sedangkan Sunan Giri mengembangkan Sunni. Lalu muncullah Sunan Bonang sebagai penengah diantara keduanya. Perdamaian keduanya ditandai dengan berdirinya Masjid Demak. Tiang tatal yang diikat-ikat di Masjid Demak adalah perlambang dari proses perdamaian itu. Tiang Tatal itu seakan bermakna bahwa “wala tafarraku…, jangan bercerai berai”.

Maka setelah perdamaian antara Sunan Kalijogo dan Sunan Giri itu, maka digabunglah aliran Syiah dan aliran Sunni itu menjadi seperti yang dipraktekkan oleh orang-orang di NU sekarang ini. Makanya Gaya NU dalam pemerintahaannya adalah meniru Syiah, dimana umat harus patuh kepada mullah, kepada Gus. Gus itu suci dan turun temurun pula. Akan tetapi fikih yang dipakai adalah dengan menggunakan fikih Sunni. Ini sejarah…. NU adalah salah satu contoh keberhasilan penyatuan konsep ibadah serta imamah versi Syiah dengan fikih versi Sunni di bumi Nusantara ini …!!!

Sebenarnya masih banyak lagi varian perpecahan dalam agama Islam sampai saat ini. Tapi intinya perpecahan ini adalah akibat dari memahami hadits dan ajaran agama lainnya yang kemudian dengan berhasil dan sukses dibawa menjadi konflik antar golongan. Masing-masing golongan ini menjadi militan berkat faktor dan unsur-unsur pengikat emosional yang mereka bina dan pertahankan sedemikian rupa.

Apakah semua Sahabat saya sama ratakan dalam artikel ini...???. Ya ndak lah....

Banyak kok Sahabat yang mulia lainnya yang berbicara dan berbuat sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Yang saya kritisi adalah kekisruhan dan kebingungan umat yang sampai ke kita sekarang ini yang masih terasa akibat dari kekisruhan sejarah masa lalu perkembangan Islam. Sejak zamannya sahabat-sahabat juga. Ini yang saya kelupasi ya tentu saja semampu saya saja. Banyak lho kekaguman saya kepada ajaran-ajaran Ali bin Abi thalib, dan ahlul bait lainnya, maupun sahabat-sahabat besar lainnya.

Akan tetapi saya sepertinya agak sulit untuk menerima (dan saya juga tidak yakin ini dikatakan oleh Imam Ali) bahwa "Kami adalah pintu Allah. Jalan Allah hanya akan diketahui atau dikenal melalui kami..." (Pancaran Cahaya Shalat-Muhsin Qira'ati hal 42) . Fungsi AVATAR seperti inilah yang menurut saya sangat bertentangan dengan Al Qur’an. Karena misi Al Qur’an adalah untuk membabat habis, merevolusi perilaku manusia yang BERSANDAR kepada selain Allah.

Saya sangat yakin bahwa ungkapan di atas hanyalah ciptaan orang-orang atau pengikut Ali agar pengikut Ali punya suatu ALAT PEREKAT di antara mereka. Karena kalau perekatnya adalah Nabi Muhammad saw, maka semua golongan akan menjadi sama. Akan tetapi karena Rasulullah sudah dipegang lebih duluan oleh kelompok Aisyah dan sahabat yang kemudian melahirkan golongan SUNNIi, maka Kelompok Ali lalu membuat perekat lainnya yaitu Ali dan ahlul bait lainnya (yang memang saat itu - mungkin juga saat ini - sangat tertindas) yang kemudian melahirkan golongan SYI'AH. Dan masing-masing kelompok ternyata saling menolak hadits dari lawannya.

Nah..., saya tidak mau TERJEBAK oleh pertentangan kedua golongan ini. Lalu dua-duanya saya kelupasi. Lalu saya perhatikan keduanya dengan tidak mem-binding diri kepada keduanya. Hasilnya..., lho..., lho..., kedua golongan ini muaranya ternyata Rasulullah juga. Hadits-hadits yang dipakai dari Rasulullah juga. Lalu saya coba tinggalkan kedua kelompok itu dan saya lihat wejangan demi wejangan Rasulullah saja. Dan saya sangat terpesona. Ternyata ajaran Rasulullah itu ya ajaran yang sampai ke golongan Sunni dan ajaran yang sampai ke golongan Syi'ah YANG DIGABUNG menjadi SATU.

Disinilah saya melihat kualitas Rasulllah yang sangat mengatasi siapa pun. Beliau sangat cerdas, cemerlang, dan santun dalam membina umat Beliau. Saat ada yang bertanya tentang hukum-hukum, maka beliau menjawabnya SESUAI dengan kapasitas si penanya. Saat ada yang bertanya tentang kedalaman spiritualitas, maka Rasulullahpun menjawabnya SESUAI kualitas iman si penanya. Nah golongan SUNNI sekarang adalah golongan yang paling banyak mendapatkan dan mengumpulkan wejangan Rasulullah yang bersifat HUKUM-HUKUM sehingga golongan ini lebih terpaku dengan hukum-hukum yang kemudian berkembang menjadi berbagai pasal FIQIH dan hadits-hadits HUKUM lainnya. Akan tetapi golongan ini AGAK TERBELAKANG dalam pemahaman tentang HAKIKAT SPIRITUAL dari aspek HUKUM dan FIQIH yang mereka sangat mahir dan banyak tahu itu.

Sedangkan golongan Syi'ah (terutama kepada Ali Bin Abi Thalib) adalah tempat dimana Rasulullah BANYAK mewejang tentang kedalaman MAKNA SPIRITUAL dari sebuah perilaku AGAMA. Dan dari golongan Syi'ah inilah nantinya munculnya akar TASAWUF yang sekarang ini sudah sangat menyebar ke pelosok-pelosok dunia. Akan tetapi dalam perjalanannya, KEDALAMAN SPIRITUAL ini juga dirusak oleh beberapa perilaku para SUFI yang seakan-akan tidak perlu lagi dengan HUKUM dan FIQIH. Walaupun begitu tetap ada segolongan orang yang teguh berpegang kepada ajaran Ali Bin Abi Thalib sampai kepada JALUR AHLUL BAIT yang lainnya, golongan ini sekarang dikenal sebagai penganut Mahdzab SYI'AH. Ya monggo-monggo aja...

Jadilah muncul keruwetan baru dalam perkembangan Islam. Walaupun begitu saya punya sikap bahwa: SEMUA YANG DICIPTAKAN ALLAH (termasuk kondisi umat yang seakan-akan berpecah belah ini) ADALAH ADA MANFAATNYA. Fir'aun bermanfaat untuk memelihara Musa sejak kecil, dan menempa Musa saat beliau diangkat Allah menjadi Nabi, sehingga kualitas Nabi Musa benar-benar ditinggikan oleh Allah. Begitu juga Abu Jahal, Abu Lahab, adalah person yang menempa diri Muhammad SAW, sehingga beliau berhasil menjadi Rasul yang sangat ditinggikan derajatnya oleh Allah.

Bahkan iblis pun bermanfaat bagi manusia untuk menempa diri manusia menjadi orang-orang yang mukhlashin (berserah kepada Allah). Karena iblis dengan kesatria sudah memberitahu bahwa si iblis tidak akan sanggup menggoda orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Jadi salah manusianya sendiri kalau masih bisa digoda oleh iblis, tidak berserah diri sih....

Apalagi kalau hanya sekedar pertentangan dan perpecahan antar kelompok dan agama, ada manfaatnya juga. Anggap saja tujuannya untuk saling berlomba-lomba mencari kebaikan. Tinggal tiap-tiap golongan saling mencari metoda penyampaian usungannya agar bisa diterima masyarakat luas. Tinggal nanti kita lihat siapa yang bermanfaat bagi kemakmuran alam semesta ini. Kalau kita-kita tidak berhasil menciptakan kemakmuran dan kelestarian di alam semesta ini, yaa paling alam semesta ini akan hancur dengan sendirinya (sesuai dengan hukum-hukum Allah-sunatullah). Maka jadilah kiamat.

Nah dalam perkembangan golongan-golongan ini ada yang menarik perhatian saya. Begitu aspek hukum dan fiqih ini dibawa dan disebarkan di negara-negara yang tingkat ilmu pengetahuan tentang kealamannya sudah sangat maju, misalnya Amerika, Eropa, Jepang, maka umumnya mereka jadi takut dan ada kecenderungan merekam untuk menolaknya. Bahkan label teroris pun dengan ringan mereka lekatkan ke golongan yang memegang hukum dan fiqih dengan ketat ini. Sebaliknya kalau hukum dan fiqih ini dibawa kepada masyarakat yang tingkat ilmu pengetahuan alamnya masih rada-rada terbelakang seperti Indonesia, sebagian besar negara Arab dan Afrika, maka aspek hukum dan fiqih ini SEPERTINYA bisa mereka terima. Akan tetapi EFEKNYA lebih banyak kepada membuat ketakutan dan harapan. Efeknya lebih kepada LOGIKA KEKUATAN (meminjam istilah seorang teman saya).

Bagi masyarakat "maju" di atas akan lain halnya kalau yang diperkenalkan ke mereka adalah HAL / KONDISI kedalaman SPRITUAL, misalnya seperti yang dibawa oleh pengusung TAREKAT NAQSABANDI dan tarekat-tarekat besar lainnya, maka penerimaan mereka lebih cepat. Seakan-akan untuk mengiyakan hadits Nabi, "Sesunggguhnya kekayaan itu bukanlah kekayaan harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan JIWA". Hadits ini USHLUB-nya adalah untuk orang-orang yang sudah KAYA dengan harta dan dunia.

Nampaknya untuk bisa memahami hadits dengan baik, kita harus tahu juga masalah ushlub (kondisi dan arah kelompok yang dituju oleh hadits itu) saat Rasulullah berbicara tentang sesuatu. Kalau tidak tahu ushlub ini, maka kecenderungan kita adalah untuk menganggap bahwa semua hadits itu adalah buat kita. Ujung-ujungnya kita bingung sendiri. Kalau begitu boleh dong "membuang" hadits...?

Nah lho....!!!

MASA PEMANGKASAN AS SUNNAH…

Setelah As Sunnah Nabi SAW campur aduk, berantakan, dan banyaknya hadits palsu yang beredar akibat pertentangan dan peperangan sesama umat Islam di atas, maka kemudian muncul usaha dari Imam Buchari dan Iman-Iman lain untuk menyaring Sunnah tsb. Artinya dari JUTAAN SUNNAH, sebagian besar DIBUANG (bayangkan dibuang, dipangkas). Ini tidak cocok. Ini tidak pas. Ini pembawanya dulu pernah bohong (padahal mungkin saja setelah itu dia sadar dan tobat). Ini dari lawan politik kita, lalu buang saja.

Masih bagus kalau yang dibuang itu yang PALSU. Sekarang siapa yang bisa menjamin bahwa yang dibuang itu tidak termasuk yang ASLI dari Rasulullah. ISI-nya bagaimana kalau tidak seirama dengan Al Qur’an ..? (mudah-mudahan ini nggak ada)?. "Hmm.. nggak apa-apa, yang penting penyampainya bisa dipercaya kok". Seribu alasan. Sehingga sunnah dipotong dan tinggal menjadi SEKIAN RIBU HADITS. Dan ini yang kita bela habis-habisan sekarang. Jadi boleh nggak kita membuang BEBERAPA hadits sekarang ini ??. Wong dulu juga dibuang-buang kok.

Masalahnya kemudian adalah, tatkala film dokumenter kehidupan Beliau itu dicoba untuk ditulis dalam bentuk Al Hadits, apalagi setelah dipangkas menjadi hanya sekian ribu hadits oleh Imam-Imam terkenal seperti Bukhari, Muslim, Turmidzi, Abu Daud, dan mungkin Ali bin Abi Thalib, sehingga sekarang Al Hadits yang tersisa tidak lebih dari 20.000 Hadits, dengan berbagai tingkatan lagi, maka saat itu pula umat Islam mulai keteter untuk mengikutinya. Betapa tidak…, sesuatu yang mengalir dengan indah, lalu di coba untuk dipenggal di sana-sini menjadi Al Hadits, ya … jadinya ya begini…, As Sunnah itu tidak utuh lagi.

Andaikan dulu saya punya uang JUTAAN rupiah, kemudian uang saya hilang entah kemana, dan yang tersisa hanyalah Rp 20.000 saja. Maka saat ditanya orang tentang uang saya itu, maka jawaban saya adalah : “Uang saya sudah habis, hilang…”. Karena 20.000 rupiah sangatlah tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan jutaan rupiah.

Nah…, dari sinilah mulai munculnya problematika umat Islam itu. Dengan semboyan berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Al Sunnah, akan tetapi As Sunnah yang dimaksud itu ternyata hanya sebatas ribuan tulisan TEKSTUAL Al Hadits, maka umat Islam itu terlihat berjalan seperti orang sempoyongan, serba kikuk, serba ragu, serba terbatas, serba mandeg dan… seratus serba lainnya (tapi dengan motivasi yang negatif).

Hal ini tak bedanya dengan melihat FILM KARTUN zaman “baheula”, dimana gerakannya terpatah-patah dan tidak smooth. Ya lucu jadinya…. Ibaratnya umat Islam sekarang ini adalah seperti orang dari “suku pedalaman” di tengah-tengah pandangan mata orang-orang kota. Mereka jadi tontonan orang. Lucu sih…

Al Hadits yang tersisa saat ini juga bak ibarat sebuah Rumah Sempurna (RS) yang terbakar nyaris habis ludes. Kemudian masyarakat mencoba bergotong royong mengais puing-puing di bekas rumah tersebut. Tiba-tiba ada yang menemukan 'seujung' karpet merah dipojokan. Tiba-tiba ada juga yang menemukan patahan daun jendela bekas terbakar. Tiba-tiba ada juga yang lain menemukan bagian kecil ..., menemukan sebagian ini, itu...dst. Dan kemudian masing-masing penemu itu saling berseru: “Ini asli dari Rumah Sempurna itu lho…”. Masing-masing mengatakan: “Yang lain itu palsu, karena bagian yang lain itu ditemukan oleh si A yang terkenal pembohong…”. Dan akhirnya kelompok-kelompok manusia itu sibuk mengklaim bagian yang dia dapatkan yang berasal dari Rumah Sempurna tadi. Padahal saat masih utuh, RS itu menjadi tempat yang sangat ideal dan bisa dinikmati oleh semua orang. Orang miskin, orang kaya, orang rajin beribadah, orang yang pemalas shalat malam sekali pun bisa merasakan manfaat dari Rumah Sempurna tersebut

Kadaluarsanya TEKSTUAL Al Hadits…

Sebenarnya umat Islam sekarang ini, yang selalu bersemboyan bahwa kita adalah umat yang mengikuti dan berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah SAW, sudah banyak yang meninggalkan Al Hadits, karena sudah tidak cocok lagi dengan peradaban sekarang, terutama hadits-hadits yang bersifat berhubungan dengan ciri ketubuhan (fisik) Rasulullah. Beberapa contoh yang ringan-ringan saja akan saya berikan untuk pembuka wacana, misalnya:

1. Beberapa gelintir umat Islam masih tetap dengan gigih mengiklankan tentang TEKSTUAL Al Hadits mengenai keutamaan SIWAK. Akan tetapi diantara sekian ratus juta umat Islam, yang masih tetap setia memakai SIWAK hanyalah dalam hitungan ribuan orang saja, nggak ada artinya lah jumlah itu. Akan tetapi dengan melihat KONTEKS dari Al Hadits tentang siwak itu, yaitu tentang keutamaan membersihkan gigi, maka hampir seluruh manusia telah mengamalkan Al Hadits itu walau dengan berbagai alat bantu yang berbeda dengan siwak. Hadits tentang siwak itu lalu menjadi hadits yang kadaluarsa dan tinggal sebagai sejarah dan kenangan saja.

2. Hadits tentang pentingnya mengajarkan anak dengan 3 keterampilan : berenang, memanah, dan berkuda, juga mengalami hal yang sama. Hanya pengajaran berenang lah yang masih sangat relevan dengan peradaban saat ini, sedangkan pengajaran memanah dan berkuda hanya cocok untuk kegiatan yang diperlombakan seperti di PON. Karena peradaban memanah dan berkuda sekarang sudah digantikan dengan peradaban yang memakai senapan dan kendaraan bermotor.

3. Al Hadits untuk memakai baju putih-putih pun tidak selalu bisa diamalkan di sembarangan tempat dan waktu. Ada yang lucu saat terjadinya konflik di Ambon dulu. Ketika itu ada sekelompok umat Islam yang datang ke sana dengan atribut pakaian putih-putih lengkap dengan sorban dan topi hajinya. Saat terjadi pertempuran sporadis, baik di hutan-hutan dan malam hari, maupun di dalam kota, maka pasukan putih-putih itu dengan mudah ditembaki lawan. Karena siapa pun tahu bahwa fitrahnya pakaian dalam peperangan adalah dengan memakai pakaian penyamaran (loreng-loreng).

4. Dalam peperangan juga, Nabi dulu berada di garis depan untuk memimpin perang dan memberi semangat kepada pasukan muslimin. Akan tetapi sekarang ini, panglima perang hanya duduk-duduk di kantor, atau tidur-tiduran di rumah sambil memberikan perintah lewat radio…!!. Nggak ngikut contoh Nabi lagi…!

5. Ada juga orang-orang yang sangat getol mencirikan bahwa umat Islam itu AFDALNYA pakai jubah, sorban, dan berjenggot. Tapi tahukah Anda bahwa Abu Jahal, Abu Lahab dan kafir Quraish lain pun penampilannya begitu seperti wali-wali dalam film sinetron di negara kita.


Banyak lagilah contoh-tontoh dari perilaku Nabi yang sudah tidak dipakai orang saat ini. Apalagi perilaku sahabat-sahabat yang demikian beragamnya. Sekarang ini tidak ada satu orang pun yang benar-benar telah mengikuti sahabat-sahabat Nabi, apalagi untuk mengikuti apa-apa yang dicontohkan Nabi, mengikuti As Sunnah. Nggak lah…!, Tapi kalau hanya mencoba-coba untuk menyesuaikan diri dengan berbagai Al Hadits, yaa… sungguh banyak sekali.

Al Qur’an, Al Hadits dan Kitab Ulangan…

Pada kesempatan ini saya akan coba tayangkan sebuah masalah yang kejadiannya adalah abadi, ada sepanjang masa, yaitu tentang perzinaan.

Dalam ayat Al Qur’an:
"Perempuan yang berzina, dan lelaki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera..... (An Nuur 2) .

Dalam Hadits Iman Buchari:
"lelaki dan perempuan dewasa (muhsan/berkahwin) apabila berzina maka rejamlah kedua-duanya sekaligus sebagai balasan dari pada Allah...

Begitu juga dengan hadits yang terkenal tentang pengakuan seorang wanita yang hamil karena perzinahan, yang oleh Nabi ditunda pelaksanaan hukuman rajamnya setelah anaknya lepas masa menyusu.

Dalam Kitab Ulangan PL-05 (22: 22 s/d 24):

22. Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati; laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.

23. Apabila ada seorang anak gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia,

24. maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa istri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

Saya cuma bertanya dengan segenap kerendahan hati saya. Hadits di atas apakah mengikuti Al Quran atau mengikuti Kitab Ulangan ??.

LALU BAGAIMANA…?

Inilah perlunya tahu sejarah. Jadi kita bisa punya sikap dalam berfikir. Sumbernya dulu dibongkar. Anda mau berbicara tentang hadits-hadits, ya di bongkar dulu sumbernya…, baru jalan…!!!. Kalau nggak, nanti kita akan disuruh ngikutin hadits menurut pikiran orang yang ngajarin kita itu nantinya.

Rasa-rasanya lengkap sudah kita meneropong dan mengelupasi tentang perkembangan Al Hadits dari masa ke masa. Mungkin saja kemudian ada yang mulai meragukan Al Hadits seperti yang banyak muncul di masyarakat sebelumnya, seperti kelompok “Inkarussunnah”. Lalu…???

Kalau kita berhenti disini, maka mungkin orang-orang yang inkarussunnah akan bersorak mengiyakan bahwa Al Hadits sudah tidak bisa dipakai lagi sekarang. Akan tetapi mari kita lanjutkan kebagian penutup yang akan memuat alternatif bersikap terhadap kumpulan Al Hadits yang sampai kepada kita saat ini.

SIKAP BERKETUHANAN…

Ternyata Al Sunnah adalah sebuah realitas perjalanan panjang Rasulullah sehari-hari, dari waktu ke waktu, dalam sikap berketuhanan. Realitas demi realitas ayat-ayat Al Qur’an muncul dengan sangat mencengangkan yang kemudian Beliau sampaikan kepada sahabat-sahabat Beliau. Dan sahabat-sahabat pun mampu mencerap realitas itu dengan kualitas sami’na wa atho’na (tanpa reserve). Namun, sebuah pengajaran juga bisa dipetik saat ini. Bahwa siapa pun yang luput dari sikap berketuhanan, baik itu tingkatannya adalah sahabat-sahabat Nabi, penerus Nabi berikutnya, sampai ke kita sekarang ini, maka yang akan kita dapatkan adalah kesengsaraan dan kelemahan belaka bagi kita.

Bersikaplah dengan sikap berketuhanan, maka As Sunnah itu akan muncul dari dalam diri kita sendiri. Maka berapa pun Al Hadits yang akan sampai kepada kita, kita akan senyum-senyum saja melihat “muatan budaya duta istimewa Tuhan” di dalamnya. Karena kalau kita tidak mempunyai sikap berketuhanan, maka As Sunnah lalu bisa terpangkas menjadi Al Hadits milik budaya Allussunnah, Al Hadits milik budaya Syi’ah, Al Hadits milik budaya golongan dan mahzab-mahzab tertentu. Tidak…., jangan begitu…!!.

As Sunnah itu TIDAK akan pernah batal, rusak, atau masuk kelompok hadits berkualitas jelek (tidak shahih) hanya gara-gara penyampainya dulunya diperkirakan suku berbohong, atau perawinya diragukan. Tidak…!. As Sunnah adalah sebuah muatan universal yang masing-masing kita sudah punya dan tertanam di dalam dada kita. Hanya kesombongan dan keangkuhan kita saja yang telah berhasil menutup As Sunnah itu dari perilaku kita sehari-hari.

Sungguh Rasulullah telah mencontohkan bagaimana kita seharusnya bisa takluk terhadap SUNATULLAH (hukum-hukum Allah) itu, yang dalam istilah agamanya adalah BER-ISLAM. Dan tunduk kepada sunatullah dengan tanpa reserve telah dilabeli Allah dengan istilah TAWAKKAL. Jadi tawakkal adalah sebuah suasana dimana seseorang mewakilkan segala-galanya kepada Tuhan dengan mengikuti aturan-aturan Tuhan yang telah ditetapkan Tuhan. Aturan Tuhan itu, misalnya, bekerjalah, majulah, berdaganglah, intidzar-lah (jadi pengamatlah), bertebaranlah di bumi, sekolahlah, jadi dokterlah, jadi sarjanalah, bangunlah peradabanmu, carilah kekayaan, dsb. Karena di semua aturan Tuhan itu ada sesuatu buat kita. Akan tetapi jangan lupa, mulailah semua itu “dengan dan atas nama Tuhan”, akhirilah “dengan dan atas nama Tuhan” pula (dzikrullah). Jadi tawakkal itu bukanlah suasana NRIMO, atau pasrah tanpa kita “DIGERAKKAN” untuk melakukan sesuatu dan menghasilkan sesuatu bagi kita. Tawakkal itu haruslah MENGHASILKAN sesuatu untuk dirinya sendiri maupun untuk rahmat bagi semua orang.

"... Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (At Thalaaq 3)

Kalau dalam bahasa sekarang tawakkal itu mungkin bisa disebut dengan “melakukan fungsi-fungsi sunatullah” yang dimana-mana orang pasti melakukannya walau dengan kadar dan intensitas yang berbeda dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Fungsi keseharian kita saja sebenarnya, misalnya, ber: a(khlak)-pol(litik)-ek(onomi)-sos(sosial)-bud(aya)-pen(didikan) to say the least.

Nah…, untuk hadits-hadits tentang “apoleksosbudpen” diatas, dalam pelaksanaannya saya akan melihat dulu USLUB dari hadits itu. Gunanya adalah agar supaya saya tidak terlalu “keberatan beban” yang tidak sesuai dengan kemampuan saya yang sangat terbatas ini. Dari sekian banyak hadits tentang hal keseharian tersebut di atas, saya pilih uslubnya yang cocok dengan saya saja. Karena kalau semua hadits itu saya “kekep” untuk saya sendiri, maka saya akan menjadi orang yang schizoprenia, orang yang berkepribadian ganda, yaitu walau otak saya bisa mengetahui dan menerima hadits ini dan itu, tapi saya tidak punya daya apa-apa untuk menerapkannya dengan “enjoy”.

Didalam hadits apoleksosbudpen ini, ada yang uslubnya untuk pengemis, untuk orang kaya, untuk anak-anak, untuk pemimpin, untuk yang dipimpin, untuk pelajar, untuk guru, untuk pedagang, untuk… berbagai kalangan dan usia yang berbeda. Walau pun begitu, diantara semua kriteria itu, ada nilai-nilai universal yang tidak saja bisa diterima oleh segenap umat Islam (tanpa peduli aliran dan sekte apa dia), akan tetapi juga oleh umat Kristen, Hindu, Budha, Shinto, dan kepercayaan lainnya. Nah nilai-nilai universal itulah yang saya ambil. Sedangkan tekstual haditsnya hanya saja jadikan sebagai bahan perbandingan bahwa “ooo… dulu itu begitu yaa..”.

Sedangkan untuk hadits-hadits apoleksusbudpen yang membawa perpecahan, yang sektarian, yang eksklusif, yang membawa saya taklid dan menyebabkan kejumudan fikiran…, ya saya baca dengan memberinya tinta merah. Untuk saya jadikan hanya sebagai pengetahuan saja…, “ooo… ada yah hadits yang begitu…”.

Itu tentang Al Hadits, apalagi kalau hanya terhadap wejangan ulama salaf, non salaf, syi’ah, dan ulama-ulama zaman sekarang, sikap kritis yang lebih seharusnya mulai kita munculkan, agar umat Islam ini menjadi umat yang dewasa. Tidak lagi seperti umat kekanak-kanakan yang suka rebutan permen. Coba…, umat yang mengakunya punya Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Eeee… diantara umat itu lalu saling memaki, atas nama Tuhan lagi, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, malah ada yang saling mendo’akan agar lawannya dilaknat Tuhan. Huh…, tidakkah itu hanya akibat HAWA UN NAFS (kecenderungan nafs) manusia-manusia itu saja, atau dalam istilah sekarangnya adalah EGO sang manusia, yang menguasai mereka…???.

Sedangkan tentang Al Hadits, ataupun keterangan sahabat-sahabat dan ulama-ulama lainnya tentang suasana IMAN, TAQWA, KHUSYU’, IHSAN, SABAR, IKLHAS, dan sebagainya, berikut suasana lawannya seperti KAFIR, FUJUR, dsb., sikap kita seharusnya lebih khas lagi. Yaitu, tidak ada satu orang pun yang punya wewenang untuk MENILAI langsung tentang semua itu kecuali HANYA ALLAH, dan RASULULLAH sewaktu Beliau masih hidup. Selain itu, kalau ada yang mengaku tahu tentang semua itu, maka itu hanyalah sekedar perkiraan-perkiraan saja. Maka perkiraan saya bisa saja berbeda dengan perkiraan orang lain. Dan begitulah seterusnya. Perkiraan demi perkiraan itulah yang telah melahirkan dinamika Islam dari hari ke hari. Perkembangan pengertian tentang Islam ini terjadi melalui opini demi opini yang ditransfer diantara umat Islam itu sendiri dari zaman ke zaman.

Nah…, untuk itu bungkuslah keseharian kita itu dengan “baju ketuhanan dan sikap berketuhanan”. Dan pada saatnya kita akan berjalan dengan muatan sunatullah (As Sunnah) di muka bumi ini. Carilah “Baju Ketuhanan” itu kemana pun dan kepada siapa pun sampai dapat, agar kita bisa pula bersikap dengan “Sikap Berketuhanan” dengan ENJOY. Mengenai sikap berketuhanan ini insya Allah akan saya coba uraikan nanti dalam artikel “Mengupas Kulit Bawang Spiritual” (akan mulai diposting setelah seri artikel Akal Sang Hakim – Mod).

Terakhir…, janganlah “mempertuhankan” Al Hadits, karena Tuhan itu sangatlah pencemburu. Kalau Tuhan sudah cemburu, maka akibatnya sungguh sangat fatal. Dia langsung mengirim dan menarok syaitan sebagi teman karib kita. Dan syaitan itulah yang memotivasi kita untuk berbuat yang tidak baik. Dan kekuatan syaitan itu sungguh tak tertandingi karena mereka juga memakai kekuatan Tuhan untuk menghasut kita itu….

Alhamdulillah….

Selesai serial artikel tentang Rekostruksi Pemahaman As Sunnah.
DEKA
Cilegon, 6 Januari 2005, jam 07:00…

"full kutipan" artikelnya Bapak Ustadz Yusdeka (komentar/tanggapan harap langsung disampaikan ke penulis asli), beliau salah satu pengasuh milis dzikrullah.
dikutip dari blognya bobby haryanto blogs


Read More..