Love and Hate Relations

|

oleh: Didi Kwartanada *

“. . .Indonesia, the largest country in the world with a Chinese problem”[1]

Pendahuluan: Love and Hate Relations
Di Indonesia dijumpai adanya hubungan –mengutip istilah Dr Mely G.Tan–“love and hate relations” (hubungan cinta-benci) antara orang Tionghoa dan Indonesia.[2] Sebagai contoh yang paling mudah, saat pertandingan olahraga (khususnya badminton), orang akan memuji-muji para atlet Tionghoa apabila mereka memenangkan suatu kejuaraan internasional. Namun saat media massa mengungkapkan penyelewengan dalam bidang ekonomi dan moneter yang dilakukan pengusaha Tionghoa (lengkap dengan nama Cinanya!), orang akan memaki-maki mereka.

Baru-baru ini saya mendapatkan di KITLV satu tabloid bernafaskan Islam yang cukup radikal bernama “Jurnal Islam” (selanjutnya disingkat JI) yang terbit setelah lengsernya Soeharto. Isi tabloid ini penuh dengan makian dan kekhawatiran (phobia) terhadap Yahudi-Zionis Israel–Barat–Nasrani dan Cina (Perantauan). Bahkan selalu dituduhkan adanya konspirasi mereka berempat untuk melawan Islam (sic!). Yang menarik, walaupun memaki-maki Cina, namun tabloid ini juga menyajikan satu atau lebih laporan yang simpatik tentang aktivitas Tionghoa Muslim maupun organisasi mereka, yakni PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Muncullah judul2 berita yang provokatif tentang Cina sbg berikut:
·“Awas, Cina Perantauan Ancam Umat Islam” (JI, 2-8/2 2001: 8-9);
·“Konglomerat Cina Mau Makar” (JI, 9-15/2 2001: cover);
·“Siluman Cina Ingin Jadi Presiden” (JI, 16-22/2 2001);
·“Ekonomi Umat Islam Dicengkeram Yahudi dan Cina Kafir” (JI, 8-14/12 2000: 14-15).

Namun nada dan pandangan yang berbeda muncul saat berbicara tentang Tionghoa Muslim:
·“PITI: Berpotensi Besar untuk Membesarkan Islam” (JI, 29/9-5/10 2000: 14);
·“Persaudaraan Muslim Tionghoa Indonesia: Embrio Baru dalam Syiar Islam” (JI, 3-9/11 2000: 14).
· “PITI: Menyiapkan Pemimpin yang Solid” (JI, 22-28/9 2000: 23)

Disini tampak bahwa love and hate relations sudah menjadi “us” (kita) and “them” (mereka). Ini sekedar contoh saja dan tentunya rekan-rekan dari IAIN bisa berbicara lebih dalam soal ini.

Tabu di Jaman Rezim Orde Baru
Rezim Orde Baru (1966-1998) dikenal menabukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tionghoa, bahkan disebut “mempunyai masalah Tionghoa terbesar di dunia” (lihat kutipan di atas). Rezim ini menciptakan konglomerat2 Tionghoa (mayoritas Tionghoa totok).[3] ,sehingga kesan Tionghoa sebagai economic animal yg amat serakah menjadi sangat kuat. Akan tetapi orang sering lupa, bahwa konglomerat bisa bebas beraksi karena mendapatkan dukungan dari penguasa, birokrasi dan militer (dengan kompensasi pembagian keuntungan, tentunya!).
Rezim Orba juga memarjinalkan fakta bahwa golongan Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan nasion Indonesia, khususnya dalam bidang bahasa, pers dan sastra. Pers Tionghoa dalam bahasa Melayu ikut menyebarluaskan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak 1890-an. Dari penelitian Claudine Salmon (sejarawan Perancis) dalam periode 1870-an hingga 1960an, sastrawan Tionghoa peranakan telah menerbitkan lebih dari 3,000 judul karya sastra dalam bahasaa Melayu dari berbagai bentuk: sandiwara, syair, terjemahan karya-karya Barat atau Tiongkok, novel dan cerpen.[4] Ternyata hasil sastra inipun dinikmati oleh publik non-Tionghoa.[5] Hasil penelitian Claudine ini berhasil memperkenalkan genre sastra ini ke hadapan publik internasional. Ironisnya, hingga kini Sastra Melayu Tionghoa masih belum sepenuhnya diakui sebagai kesusasteraan Indonesia modern. Buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia (SNI) pun sama sekali tidak menyinggung berbagai sumbangan tersebut.[6] Pada periode Orba juga tidak banyak literatur yang tersedia tentang golongan Tionghoa, jadi keberadaan mereka kurang banyak dipahami masyarakat umum.
Kejatuhan Orde Baru ternyata diiringi dengan kemunculan kembali minat yg besar ttg soal-soal “ketionghoaan”, dengan bermunculannya berbagai kegiatan ilmiah dan publikasi bermacam bahan tentang sejarah, adat istiadat dan budaya Tionghoa, yang sebelumnya ditabukan, seperti yang sudah kita saksikan dalam film tentang Imlek di Semarang tadi.[7] Di pihak lain, kita disadarkan pula bahwa tidak banyak akademisi dari kalangan generasi muda –baik Tionghoa maupun non-Tionghoa–yg memfokuskan diri dalam bidang ini.[8] Dengan demikian kajian tentang Tionghoa tidak banyak tersedia di toko-toko buku. Oleh karena memang para akademisi belum banyak melakukan riset tentang komunitas Tionghoa di luar Jawa,[9] maka kajian yang ada masih bersifat “Jawa sentris” dan hanya ada satu dua studi tentang Sumatra[10] dan beberapa mengenai Kalimantan Barat.[11] Dari segi jender, kajian atau sumber-sumber tentang perempuan Tionghoa Indonesia masih sangat sedikit.[12] Namun hal yang menggembirakan, ternyata di kalangan Tionghoa (non-akademisi) juga terdapat beberapa peneliti dan pengamat yang cukup handal.[13]

Siapakah orang Tionghoa itu?
Siapakah orang Tionghoa itu? Banyak jawaban yang bisa diberikan, namun menurut penulis orang Tionghoa adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tionghoa, mempunyai darah Tionghoa (walaupun sudah banyak bercampur) dan mempunyai nama Tionghoa (namun banyak Tionghoa Indonesia yang lahir dimasa Orba tidak lagi mempunyai nama Tionghoa). Satu hal yang khas dari Tionghoa peranakan dari Indonesia (khususnya Jawa), bahwa mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Banyak cerita tentang peranakan dari Jawa, saat mereka melakukan perjalanan ke Singapura, Hongkong, RRT ataupun di Barat, selalu ditanya: “anda orang Chinese, mengapa tidak mampu berbahasa Mandarin?“[14]
Bagi generasi pra-Orba, istilah “Cina” jelas berkonotasi merendahkan, oleh karena itu mereka lebih suka disebut “Tionghoa”. Sejarah pemakaian kata “Tionghoa” berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Batavia pada tahun 1900. Pada saat itu istilah “Tjina” atau “Tjienna” –yang dipakai sejak lama– mulai dianggap merendahkan. Pada tahun 1928 Gubernur Jendral Hindia Belanda secara formal mengakui penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk berbagai keperluan resmi.[15] Penggunaan istilah “Tionghoa” ini hanya bertahan selama 38 tahun saja, karena di tahun 1966 Orde Baru kembali menggunakan istilah “Cina”. Menarik sekali bahwa istilah “Tionghoa” ini sangat khas Indonesia, karena di Malaysia dan Singapura istilah “Cina” masih lazim digunakan.

Heterogenitas Golongan Tionghoa
Orang awam seringkali kurang menyadari adanya realitas, bahwa Tionghoa di Indonesia bukanlah kelompok homogen, melainkan terdiri dari berbagai latar belakang: berdasarkan dialek (Hokkian, Hakka, Tiochiu, dll), agama (Konghuchu, Protestan, Katolik, Islam), budaya (peranakan, totok). Seringkali muncul pertanyaan: “Mengapa Tionghoa tidak pernah bisa bersatu?” Soal ini adalah impian lama yang akan selalu muncul. Dengan berbagai latar belakang tersebut, “persatuan” itu susah terwujud. Ironisnya, hanya sekali dalam sejarah “persatuan” itu terwujud, yakni pada jaman Jepang. Jepang memaksa berbagai organisasi Tionghoa untuk berkumpul menjadi satu, dalam Hua Chiao Tsung Hui (HCTH) atau dalam bahasa Jepangnya Kakyoo Sokai. Hal ini cukup ironis, karena “persatuan”ini disponsori oleh musuh.
Di awal abad XX THHK juga bercita-cita untuk “menggalang persatuan orang Tionghoa perantauan tanpa membedakan asal kampong dan provinsi di Tiongkok, juga tidak membedakan peranakan dan totok”.[16] Akan tetapi seperti diketahui, cita-cita ini sulit direalisasikan, berhubung beragam latar belakang historis, budaya, dan politik yang cukup rumit. Pertikaian antara kelompok Kuomintang (Pro-Taiwan)-Kungchangtang (Pro-Beijing) di Indonesia di tahun-tahun 1950an, yang kemudian muncul lagi di akhir pemerintahan Soekarno, cukup menarik untuk diceritakan.[17]
Adalah suatu hal yang menggelikan dan naif dimasa pemilu 1999, saat seorang pimpinan parpol “Partai Bhinneka Tunggal Ika” (PBI)–suatu partai yang berasaskan ketionghoaan– mengklaim bahwa partainya akan didukung oleh seluruh warga Tionghoa, sebanyak 4 juta pemilih. Kenyataannya, PBI hanya mendapat satu kursi di parlemen dari daerah Kalimantan Barat, yang memang banyak memiliki penduduk keturunan Tionghoa. Mengutip Mary Somers Heidhues, “…Didorong oleh pemerintah kolonial untuk berpikir bahwa mereka terpisah dari mayoritas orang Indonesia, didorong oleh pemerintah Tiongkok supaya berpikir sebagai warga Tiongkok, dan dipengaruhi secara historis oleh pengalaman yang berlainan, pada akhirnya komunitas-komunitas Tionghoa di Indonesia tidak pernah bisa bersatu.”[18]

Tionghoa sebagai Minoritas Perantara (Middlemen Minority):
Sejak lama golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial. Di jaman pra-kolonial orang Tionghoa sudah bekerja pada raja-raja kerajaan maritim, misalnya sebagai syahbandar. Sultan Hamengku Buwono I menugaskan orang Tionghoa untuk menarik pajak demi mengisi kas Kasultanan Yogyakarta yang barusaja didirikannya.[19] Kolonial Belanda yang memiliki keterbatasan sumberdaya manusia, melihat bahwa Tionghoa bisa menjadi peranatara antara mereka dengan golongan pribumi. Belanda menjual berbagai macam pacht (atau hak pengelolaan) jalan tol, candu, rumah gadai, dll. Akhirnya golongan Tionghoa, beberapa diantaranya menjadi sangat kaya karena memeras rakyat (atas perlindungan penguasa!) menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, namun dibenci oleh rakyat. Inilah yang memang diinginkan oleh penguasa, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” disaat terjadi kerusuhan menentang penguasa.
Kedudukan politik etnis Tionghoa yang demikian lemah menjadikannya sasaran empuk dalam setiap tindak kekerasan. Tanpa mempunyai perlindungan sedikitpun, etnis Tionghoa selalu dijadikan kambing hitam dan korban kesewenang-wenangan. Hal ini terus terjadi berulang kali.”[20] Dalam teori ilmu sosial sebagai fenomenan ini disebut “middlemen minority”:[21]
Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara [middle status] diantara kelompok dominan yang berada di puncak hirarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut “minoritas perantara” [middlemen minorities]
Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate niche] dalam sistem ekonomi. . .Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang (mindring) dan profesional independen. Dengan demikian minoritas perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat. Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi mereka yang berada di puncak (elit) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat . . .Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka adalah. . .kambing hitam alami [natural scapegoat] . Mereka secara jumlah maupun secara politis tidak berdaya dan oleh karena itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis mereka masih dibutuhkan.
Tanpa memahami hakekat etnis Tionghoa selaku “minoritas perantara”, orang akan mudah menuding dan menyalahkan mereka, sebagai “oportunis”. Sebagai contoh, Abu Hanifah, seorang tokoh nasionalis-Islam menulis s.b.b:
“…sebagian besar Tionghoa di Indonesia benar-benar tidak mempunyai loyalitas [had no sense of loyalty]. Pada jaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah “kaum oportunitis yang tidak bisa diperbaiki” [incorrigible opportunists][22]
Pandangan serupa dengan Hanifah cukup populer di kalangan umum. Mereka melihat keberadaan Tionghoa secara hitam-putih (pahlawan atau pengkhianat), tanpa memahami mereka sebagai “minoritas perantara” yang muncul sebagai produk kolonial. Golongan perantara ini akan selalu merasa terancam dari pihak di luar kelompoknya (out-group hostility), maka siapapun yang bisa memberi jaminan keamanan dan stabilitas, dialah yang akan mereka ikuti. Tidak ada pilihan lain yang tersedia, karena ini adalah masalah “survival” dan tidak bisa ditafsirkan secara simplistis berdasarkan prasangkan hitam-putih (loyal-tidak loyal). Seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel, menggambarkan posisi “serba salah” yang dialami etnis Tionghoa:
“…Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka”.[23]

Kekerasan atas Tionghoa dan “Koloborasi”: Kasus Jaman Jepang
Saat-saat dimana “law and order” absen, adalah periode yang mengerikan bagi “middleman minority”. Sebagai ilustrasi, ijinkanlah kami mengajak anda semua ke masa penjajahan Jepang (1942-1945). Periode ini memberikan banyak contoh, bagaimana “jaminan keamanan” bisa mengalihkan loyalitas middleman minority, bahkan terhadap musuh besarnya sekalipun, selama mereka mampu menyediakan keamanan. Pada saat-saat kedatangan balatentara Jepang (Maret 1942), aparat keamanan kolonial tiba-tiba menghilang (bandingkan dengan Jakarta, Mei 1998), mereposisikan Tionghoa dari “middlemen minority” menjadi “defenceless minority” (minoritas tanpa perlindungan)
Aksi kekerasan terhadap Tionghoa muncul dalam berbagai manifestasi, antara lain: perampokan, pembunuhan. Namun ada juga kekerasan dalam bentuk lain, yakni “sunat paksa” yang terjadi di berbagai daerah: Bekasi[24], Kudus[25], pantai utara Jawa Tengah[26], Jombang[27], Kediri[28]. Di luar Jawa aksi serupa juga berlangsung dalam skala yang lebih hebat, namun dengan alasan yang berbeda. Lelaki dewasa Tionghoa di daerah Kandangan (Kalimantan Selatan) melakukan “gerakan sunat sukarela” dengan alasan supaya tidak diganggu Jepang[29]. Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya perkosaan wanita Tionghoa, misalnya di Bekasi (50 orang) dan di pantai utara Jawa Tengah[30]. Selain itu juga terdapat penyanderaan yang dilakukan oleh gerombolan perampok[31]. Puncak kekerasan adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa di masa vakum tersebut, misalnya di Kudus, Bekasi, Jombang dan Aceh[32]. Di Jawa Barat orang Tionghoa “membeli keamanan” dengan jalan membayar perampok untuk menjaga harta bendanya[33].
Di saat-saat tegang tersebut, balatentara Jepang dengan cepat dan tegas membasmi segala bentuk gangguan “kamtibmas” tanpa pandang bulu. Sebenarnya tindakan mereka itu bukan ditujukan untuk melindungi Tionghoa per se, namun demi melancarkan jalannya roda pemerintahan, khususnya perekonomian. Di mata orang Tionghoa, tentara Jepang—yang sebelumnya dianggap “musuh besar” karena menginjak-injak Tiongkok—kini secara ironis dianggap sebagai “pelindung”. Di pihak lain, sekarang mereka lebih melihat orang Indonesia sebagai “ancaman”[34] Pendeknya, “minoritas perantara” akan berkolaborasi dg penguasa atau siapapun yg mampu menawarkan rasa aman. Faktor serupa juga yang melatarbelakangi dukungan Tionghoa pada Golongan Karya (Golkar) di masa Orde Baru[35]. Namun tragisnya Peristiwa Mei 1998 membuktikan, walaupun middlemen minority telah membayar “upeti” kepada penguasa, namun mereka sama sekali tidak mempedulikannya[36].

Hubungan Pribumi–Tionghoa
Hubungan Tionghoa-pribumi diwarnai dengan pasang surut sejak jaman kolonial hingga dewasa ini. Dalam beberapa episode terjadi benturan yang cukup memprihatinkan, hingga jatuh korban jiwa. Akan tetapi tidak seluruhnya benar bahwa hubungan Tionghoa dengan pribumi, maupun Tionghoa dengan Islam selalu diwarnai dengan ketegangan. Saya akan memberikan beberapa contoh hubungan “harmonis” yang belum banyak diketahui.
Pada abad XVII banyak Tionghoa yang memluk agama Islam[37]. Hal ini terbukti dari kata “peranakan” yang pada awalnya ditujukan pada Tionghoa Muslim. Dalam sensus penduduk abad XVII Belanda membedakan antara “Tionghoa” (Chineezen) dengan “peranakan”(Tionghoa muslim) , misalnya di Sumenep (Madura) yang cukup banyak terdapat peranakan[38]. Di Batavia, berhubung jumlah penduduk Tionghoa Muslim cukup banyak, maka diangkatlah seorang opsir untuk komunitas ini. Kapten terakhir peranakan bernama Muhammad Japar (abad XIX). Beberapa Bupati dari pesisir jelas mempunyai darah Tionghoa. Ada pula beberapa Tionghoa yang karena dekat dengan aristokrasi lokal, akhirnya masuk Islam dan mengubah namanya menjadi nama Jawa. Misalnya Bupati Kota Yogyakarta pada jaman Sultan Hamengku Buwono II, Raden Tumenggung Setjadiningrat (alias Tan Jin Sing). Adipati Bangil dan Bupati Tegal adalah generasi kedua dari keluarga Han Siong Kong (lahir di Tiongkok 1673- wafat di Lasem1744). Keluarga Muslim Tionghoa bermunculan juga saat pecahnya Perang Diponegoro. Beberapa orang Tionghoa yang berjasa pada raja mendapatkan gelar dan tanah dan kemudian masuk Islam. Misalnya Keluarga Tjan dari Pajang (Surakarta). Dari keluarga ini muncul seorang inisiator pertunjukan wayang orang untuk publik, yakni Gan Kam. Dua orang diantaranya menjadi guru besar di alam Indonesia merdeka. Salah satunya adalah Prof Tjan Tjoe Siem, yang di tahun 1960an mengajar di IAIN Sunan Kalijaga. Beliau wafat saat mengambil air wudhu di tahun 1978[39].
Pada abad XVIII Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam. Pada waktu itu, Belanda mengenakan pajak untuk kucir orang Tionghoa. Apabila seorang Tionghoa memeluk Islam—apapun motivasinya—maka ia akan memotong kucir itu. Dengan demikian Belanda akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya[40]. Selain itu perkawinan antara Muslim dengan Tionghoa juga dilarang pada abad yang sama[41]. Belanda rupanya takut kalau kedua pihak itu bersatupadu, maka dicari jalan supaya mereka tetap terpisah. Berbagai peraturan itu semakin menjauhkan Tionghoa dari pribumi. Menariknya di tahun 1930an banyak bermunculan gerakan Muslim Tionghoa, yang muncul diluar Jawa. Di Sulawesi, Ong Kie Ho (kelahiran Toli-toli) mendirikan Partai Islam. Penguasa takut akan aktivitasnya dan dia dibuang ke Jawa tahun 1932. Di Medan tahun 1936, seorang Tionghoa totok, Yap A Siong dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Islam Tionghoa. Di tahun 1933 di Makassar berdirilah Partai Tionghoa Islam Indonesia (PITII). Setahun kemudian PITII mendirikan suatu “Sekolah Melayu” dan di tahun 1936 menerbitkan media bernama “Wasilah”[42].
Masih banyak lagi contoh-contoh hubungan harmonis yang kebetulan berasal dari daerah Yogyakarta, daerah dimana saya dilahirkan.
Dr Wahidin Sudirohusodo, tokoh penting dibalik berdirinya organisasi Budi Utomo, adalah sahabat baik komunitas Tionghoa di Yogyakarta. Tempat prakteknya terletak di tengah-tengah daerah Ketandan (Pecinan) Yogyakarta (Tjeng, 1958: 44-45). Obituari beliau yg ditulis oleh Ki Hajar Dewantara (Suryaningrat, 1981: 21-22) menyebutkan, Dr Wahidin dikenal juga sebagai seorang “mediator” urusan rumah tangga yang baik. Misalnya ada pasangan Tionghoa yang cekcok, beliau tidak segan-segan datang kerumah untuk mendamaikan mereka. Beliau dipandang sebagai seorang sahabat oleh kalangan Tionghoa. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, sewaktu beliau wafat, dijumpai banyak sekali pelayat Tionghoa.
Ketika di Kota Solo terjadi berbagai aksi anti Tionghoa (1913) yang dilakukan oleh Sarekat Islam, di Yogyakarta keadaan tetap tenang. Bahkan Sarekat Islam cabang Yogyakarta mementaskan suatu pertunjukan amal dengan perkumpulan drama Tionghoa, “Bok Sie Hwee”, yang separuh hasilnya akan disumbangkan pada pengajaran netral pribumi dan organisasi pribumi lainnya (Sarekat Islam Lokal, 1975: 348; Surjomihardjo, 1988: 158). Di Batavia, deklarasi Sarekat Islam setempat malah dilakukan di gedung THHK, dalam acara yang diorganisir oleh organisasi Tionghoa. Dalam acara tsb, masing2 pihak mengucapkan pidato dan harapannya akan hubungan yang lebh baik antara Indonesia-Tionghoa di masa depan (Sumartana, 1994: 202).
Hubungan Muhammadiyah dengan komunitas Tionghoa di Yogya pada masa kolonial juga cukup baik. Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari orang Tionghoa di Ngabean, daerah dimana Muhammadiyah bermarkas (Asrofie, 1983: 66-67). Sesudah terjadinya huru-hara di Kudus (1918), pada tahun selanjutnya Muhammadiyah merangkul organisasi Tionghoa di Yogya dan Insulinde (perkumpulan multi-ras dibawah pimpinan Dr Tjipto Mangunkusumo) untuk membentuk suatu front bersama untuk memajukan hubungan baik diantara ras yang berbeda (Sim, t.t., 36). Terbitan tahunan berupa Almanak Muhammadijah banyak diisi iklan yang dipasang oleh pengusaha Tionghoa dari berbagai tempat (Almanak 1358/1939-40: halaman iklan).
Pada tahun 1925 terjadi suatu persekutuan yang cukup spektakuler antara Muhammadiyah dengan Tionghoa Yogyakarta melawan penerbit Belanda, Buning (Alfian, 1989: 206-07). Dalam salah satu terbitannya, Buning memuat “Serat Darmogandul” yang isinya di satu pihak menghina Islam (yang dituduh menghancurkan Majapahit dan memunculkan kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak) serta di pihak lain menjelekkan Tionghoa, karena ibu dari Raden Patah, raja pertama Demak, adalah “Putri Cina”. Makanya dalam hal ini, orang Tionghoa dituduh ikut berperan menghancurkan Majapahit. Seorang Tionghoa melapor soal terbitan ini ke tokoh Muhammadiyah, yang lalu membawanya ke Kongres Muhammadiyah, yang kebetulan saat itu sedang berlangsung di Yogyakarta. Sebagai buahnya, kedua belah pihak mendirikan “Comite Penjegah Penghinaan”, dibawah pimpinan H.Soedja dan seorang Tionghoa. Akhirnya penerbit Buning meminta maaf dan menarik terbitan yg kontroversial tersebut. Sungguh suatu kerjasama yang unik, yang entah kapan bisa terulang lagi. Di akhir dekade 1920-an, dalam rangka menyebarkan dakwah dikalangan Tionghoa, muncul ide dari Muhammadiyah untuk membuat sekolah dasar Tionghoa berdasarkan Islam (HCS met de Koran). Namun oleh karena berbagai kendala, proyek ini tidak pernah terwujud.
Pendiri Perguruan “Taman Siswa”, yakni Ki Hadjar Dewantara, adalah sahabat dekat Dr Yap Hong Tjoen (yang kemudian terkenal dengan RS Mata “Yap” di Yogyakarta). Sewaktu tinggal di Belanda, keduanya pernah bekerja bersama-sama dalam satu majalah “Het Indonesische Verbond van Studeeren” (Perhimpunan Pelajar Indonesia) (Jonkman, 1971: 32-33). Di tahun 1970-an, putra Dr Yap menyerahkan dokumentasi mengenai Ki Hadjar kepada Museum Taman Siswa di Yogyakarta sebagai tanda persahabatan orang tuanya.
Tidak ketinggalan kaum wartawan juga berusaha menghapus garis batas rasial. Di bulan Agustus 1928 dibentuklah “Perserikatan Djurnalis Asia”, dengan anggota baik Indonesia maupun Tionghoa. Di bulan Oktober 1928 perkumpulan ini mengadakan rapat di gedung sositeit Tionghoa, dengan pembicara Mr Ali Sastroamidjojo (kemudian menjadi Perdana Menteri di tahun 1950-an), dan dihadiri oleh sekitar 150 orang Indonesia dan Tionghoa (Poeze, 1982: 391, 418, 445).
Penulis ingin menambahkan lagi ilustrasi hubungan Bung Karno dengan orang-orang Tionghoa sebelum Indonesia merdeka. Pemimpin Redaksi Sin Po, Kwee Kek Beng, menulis dalam otobiografinya, bahwa Bung Karno di akhir dekade 1920an mendatangi Sin Po dan mengharapkan dukungan atas satu majalah yang hendak diterbitkannya. Disebutkan Kwee, bahwa Bung Karno “ingin sekali rapatkan perhubungan dengan bangsa kita [Tionghoa] dan dengan Tiongkok”. Sehubungan dengan Sin Po ini, patut diingat bahwa lagu Indonesia Raya dimasyarakatkan pertama kali dalam majalah mingguan Sin Po, karena W.R. Supratman waktu itu bekerja di media tersebut[43].
Liem Seeng Tee –seorang Tionghoa totok pemilik pabrik rokok “234” (Djie Sam Soe) di Surabaya, juga pernah membantu perjuangan politik bangsa Indonesia. Di tahun 1933, saat Partindo hendak mengadakan rapat akbar di Surabaya, susah sekali mendapatkan gedung pertemuan yang bisa menampung banyak orang. Mendengar hal tsb, Liem mengijinkan gedung bioskap “Sampoerna” kepunyaannnya sebagai tempat rapat akbar tsb[44]. Pada saat dia wafat di tahun 1951, Bung Karno mengirimkan karangan bunga tanda duka cita[45].
Cerita ketiga didapat dari penuturan Riwu, anak angkat Soekarno dari tempat pembuangannya di Ende (Flores)[46]. Pada saat itu Bung Karno mempunyai beberapa “murid” Tionghoa. Salah satu diantaranya adalah seorang pedagang hasil bumi. Setiap kali dia menjadi penghubung antara Bung Karno dengan rekan-rekan pergerakan di Jawa. Bila ada surat dari Jawa, orang Tionghoa ini memasukkannya ke dalam buah semangka dan pura-pura menjual semangka itu kepada Ibu Inggit (istri Bung Karno waktu itu). Dengan demikian Bung Karno tetap bisa mendapatkan kabar uptodate tentang perkembangan politik di Jawa.
Harap diingat, waktu itu Bung Karno sama sekali belum menjadi Presiden, bahkan masih dalam keadaan susah. Jadi hubungan itu tidak bermotifkan mencari untung atau mencari komisi.
Selain hubungan yang cukup harmonis di atas, penulis akan memberikan beberapa contoh sebaliknya. Pada Jaman Jepang terjadi benturan yang membawa korban. Pemberontakan PETA di Blitar (Februari 1944) ternyata mengandung unsur anti-Tionghoa. Orang-orang Tionghoa menyuplai perempuan penghibur (jugun ianfu) kepada tentara Jepang. Entah apa motivasi mereka melakukan itu, apakah dipaksa Jepang, atau demi “menjilat” Jepang. Menurut pengakuan Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dalam memoir mereka, penguasa Jepang sering memberi perintah kepada pemimpin Hua Ch’iao Tsung Hui (HCTH), organisasi Tionghoa jaman Jepang, untuk menyuplai jugun ianfu. Sebagai akibatnya, beberapa orang Tionghoa tewas dalam pemberontakan legendaris yang dipimpin Supriyadi tersebut (Anderson, 1961: 46-47; Pakpahan, 1987: 138; Kwartanada, 1995: 34).
Di pihak lain, perlu diingat bahwa kebanyakan partai politik pada masa pergerakan menolak orang Tionghoa (maupun golongan minoritas asing lainnya) sebagai anggota penuh. Partai Nasional Indonesia (PNI, yang dipimpin Bung Karno, ironisnya hanya menerima Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hanyalah Indische Partij (IP), PKI dan Gerakan rakyat Indonesia (Gerindo) yang mau memerima golongan Tionghoa sebagai anggota penuh[47]. Kebijaksanaan partai politik waktu itu juga berakibat menjauhnya golongan Tionghao dari nasionalisme Indonesia.


Tidak Banyak Hal yg Baru dlm Soal Policy Tionghoa
A. Kantor Urusan Tionghoa dari Jaman ke Jaman
A.1. Jaman Belanda: Kantoor voor Chineeesche Zaken
Kantor ini bersikap paranoid terhadap peranakan Tionghoa dan banyak menuai protes dari kaum peranakan: misalnya H.H. Kan—seorang tokoh peranakan Pro-Belanda–menghimbau supaya KCZ lebih bersikap sebagai “kawan” daripada “mata-mata” pemerintah. Suara lain mengibaratkan KCZ bagaikan anjing penjaga yg sebaiknya “dirantai” saja (Lohanda, 2002: 230-31).
A.2. Jaman Jepang: Kakyo Han
Keberadaannya cukup misterius dan tidak banyak sumber tersedia. Orang Tionghoa menyebutnya Hua Ch’iao Pan. Pemimpinnya bernama Toyoshima, yang menguasai dengan baik budaya dan bahasa Tionghoa. Diantara stafnya terdapat juga orang Tionghoa, termasuk Liem Koen Hian dari Partai Tionghoa Indonesia (PTI) (Kwartanada, 1997: 266-68). Bung Hatta menyebut dalam memoirnya (1982: 416), bahwa Kantor ini banyak menangkapi orang Tionghoa
A.3. Jaman Orba: Badan Kordinasi Masalah Cina (BKMC)
Dalam usahanya mengontrol golongan Tionghoa, maka didalam satuan intel Orde Baru (BAKIN) didirikan satu kantor urusan Tionghoa, yang disebut BKMC. BKMC ini mengamati peredaran barang-barang cetakan berbahasa Mandarin, termasuk juga satu-satunya korang Mandarin jaman Orba, Harian Indonesia (Yindunxia Jih-pao). Pada saat kalangan beragama Budha terjadi perpecahan, BKMC juga ikut bermain didalamnya. Keberadaan BKMC (Setiono, 2003: 994) ini banyak menuai kritik dalam masa reformasi. Namun sayang sekali tidak banyak yang diketahui tentang aktivitas BKMC. Semoga akan muncul penelitian tentang institusi yang misterius ini.

B. Kebijaksanaan Budaya Tionghoa
Di tahun 2003 Megawati menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi dalam sejarah Indonesia. Jaman pendudukan Jepang diwarnai dengan berbagai usaha “resinifikasi” (pencinaan kembali) peranakan Tionghoa yang dianggap sudah terlalu banyak dipengaruhi kebudayaan Barat (Kwartanada, 1997: 306-11). Untuk itu antara lain Jepang mendorong kaum peranakan Tionghoa untuk belajar bahasa Tionghoa dan juga menghidupkan kembali berbagai bentuk budaya Tionghoa. Musik tradisional Tionghoa diijinkan untuk dimainkan di stasiun radio milik pemerintah, padahal di jaman Belanda tidak ada kesempatan seperti itu. Acara kesenian tradisonal seperti Barongsai seringkali ditampilkan adalam acara-acara resmi pada jaman Jepang (bandingkan dengan masa Reformasi ini), misalnya dalam acara peringatan pecahnya Perang Pasifik maupun peringatan pendaratan Jepang di Jawa.
Langkah yang cukup spektakuler adalah menjadikan hari raya Imlek 1943 sebagai hari libur resmi (keputusan Osamu Seirei no. 26 tanggal 1 Agustus 1942). Inilah pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, dimana Imlek menjadi hari libur resmi (bandingkan dengan di masa Reformasi). Di jaman belanda hal serupa tidak pernah terjadi Lebih hebatnya, di hari Imlek tersebut, seluruh penduduk Yogyakarta (tidak hanya Tionghoa saja!), diminta mengibarkan bendera Jepang. Seorang propagandis Tionghoa menyebut saat itu sebagai “perayaan tahun baru Imlek pertama dalam suasana baru” (Tjeng, 1943). Disini letak ironisme Jaman Jepang, yang sebelumnya dianggap sebagai musuh besar kaum Tionghoa, malah bertindak sebagai pihak yang membangkitkan kembali aktivitas budaya Tionghoa.
Di masa awal revolusi, pemerintah RI juga mengijinkan perayaan hari raya Tionghoa. Misalnya Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat supaya kantor pemerintah mengibarkan bendera nasional Republik Tiongkok disamping Sang Merah Putih pada setiap perayaan hari lahirnya Republik Tiongkok. Demikian juga orang Tionghoa “boleh mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa”. Seperti juga di jaman Jepang, Imlek dijadikan hari libur resmi. Dalam tahun ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi Konghucu dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi (Kwartanada, 1997: 485).

C. Surat Bukti Kewarganeraaan Republik Indonesia (SBKRI)
SBKRI yang masih tetap kontroversial sampai sekarang, akarnya ternyata berasal dari Jaman jepang. Pada saat itu diadakan pendaftaran bangsa asing (Undang2 no. 7, 1942), dimana orang Tionghoa lelaki membayar f. 100 dan wanita f. 50 (boleh dicicil). Dengan membayar biaya tsb, mereka akan mendapat kartu identitas dan “keamanannya akan dijamin Dai Nippon”.

D. Perbedaan antara jaman Jepang-Orde Baru
Di atas sudah kami bahas beberapa “kemiripan” antara Jm Jepang dengaan Orba. Namun ada beberapa perbedaan yg sangat mendasar, yakni Jepang menganjurkan resinifikasi (pencinaan kembali), namun Orba justru melakukan desinoisasi (melarang segala yg berbau Tionghoa), termasuk mendorong program asimilasi. Perbedaan lain, di jaman Jepang, pemerintah mendorong berkembangnya kelas menengah pribumi dan menekan pengusaha Tionghoa. Sebaliknya, Orba “merangkul” sekelompok pengusaha Tionghoa, karena ingin menghindari munculnya kelas menengah pribumi yang kuat (yang berpotensi sebagai ancaman).

Penutup
saya ingin mengutip tulisan Benny Setiono aktivis Tionghoa dari Jakarta, bahwa “untuk mencapai Indonesia Baru yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN, bersih dari segala bentuk kekerasan serta selalu menjunjung tinggi tegaknya Hukum dan HAM. . . . etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia harus secara aktif turut mengambil bagian, bergandeng tangan dan bahu-membahu bersama-sama komponen bangsa lainnya, berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut.”[48] Kami setuju dengan pendapat tersebut dan berharap, bahwa pemerintah juga akan membuka berbagai macam pekerjaan yang selama ini relatif tertutup bagi etnis Tionghoa dan vice versa, supaya etnis Tionghoa tidak terkonsentrasi di ladang ekonomi saja[49]. Selain itu golongan Tionghoa hendaknya juga berjuang demi demokrasi dan civil society. Dalam hal ini hendaknya perjuangan jangan hanya bersifat “Tionghoa-sentris” saja, namun bersifat terbuka, misalnya ikut concern dalam soal 1965, soal HAM di Aceh, Maluku, dll. Dengan demikian perjuangan tersebut tidak bersifat eksklusif. Penderitaan orang Tionghoa adalah duka Indonesia dan sebaliknya. Demikian pula kegembiraan orang Tionghoa juga kegembiraan Indonesia. Oleh karena Tionghoa adalah bagian integral, yang tak terpisahkan dari tanah air Indonesia!

Sudah saatnya semua elemen di Indonesia bergandeng tangan, bersatu padau, tanpa memandang latar belakang, demi mencapai Indonesia Baru.

Merdeka!
———————————
Notes:
* PhD candidate, History Department, FASS, 11 Arts Link, National University of Singapore (NUS), Singapore 117570.

[1] Wang Gungwu, “’Are Indonesian Chinese Unique?’: Some Obeservations”, dalam kumpulan karangannya, Only Connect! Sino-Malay Encounters (Singapore: Times Academic Press, 2001), h. 277. Artikel tsb pertama kali terbit di tahun 1976.
[2] “Mely G.Tan, “Pengantar”, dalam Mely G.Tan (ed.), Golongan Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Gramedia LEKNAS-LIPI).
[3] Nama-nama seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Proyoga Pangestu, Tommy Winata adalah dari golongan totok. William Suryadjaja adalah perkecualian, yakni dari peranakan yang berpendidikan Belanda. Bob Hasan, walaupun secara etnis adalah Tionghoa peranakan, namun diangkat anak oleh Jendral Gatot Subroto.
[4] Claudine Salmon, Literature in Malay by the Peranakan Chinese in Indonesia (Paris: EHESS, 1981). Sebagian isinya telah diterjemahkan oleh Dede Oetomo, Sastra Cina Peranakan dalam bahasa Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).
[5] Di Perpustakaan Museum Taman Siswa Yogyakarta masih tersimpan buku-buku roman Melayu Tionghoa koleksi Ki Hadjar Dewantara. Beliau membeli buku-buku tersebut dari suatu Taman Bacaan di Yogyakarta pada wal tahun 1950an.
[6] Didi Kwartanada, “Golongan Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa 1942-1945”, dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta: Kanisius-Realino, 1997).
[7] Ironisnya, pada saat yang sama kita juga melihat berlanjutnya “Amnesia Sejarah” di sebagian kalangan masyarakat Tionghoa, misalnya kasus rencana pemindahan Gedung Candra Naya dan Makam Kapten Bencon (Souw Beng Kong) yang merana.
[8] Dari kalangan peneliti senior Tionghoa, dapat disebutkan misalnya Onghokham, Mely Tan, Go Gien Tjwan, Myra Sidharta dan Mona Lohanda. Dewasa ini ada beberapa disertasi mengenai Tionghoa yang sedang dikerjakan oleh mahasiswa Indonesia di berbagai universitas di manca negara, antara lain Andreas Susanto (sosiologi, Nijmegen), Vidhyandika Perkasa (antropologi, Monash), Widjajanti Dharmowijono (Sastra, Amsterdam) dan kami sendiri (sejarah, NUS).
[9] Claudine Salmon adalah peneliti yang sangat produktif dan telah banyak melakukan riset tentang Tionghoa di luar Jawa, seperti Bali (bersama Myra Sidharta), Makassar dan Timor (bersama Anne Lombard).
[10] Adalah suatu hal yang mengherankan, walaupun cukup terkenal, namun –sejauh pengetahuan kami–belum ada satu kajian historis yang memadai tentang etnis Tionghoa di Medan atau Sumatra Utara. Semoga akan muncul satu atau lebih peneliti yang akan menulis topik tsb.
[11] Beberapa kajian tentang Tionghoa di Kalimantan Barat baru saja diterbitkan, Mary Somers. Golddiggers, Farmers, and Traders in the ‘Chinese Districts’ of West Kalimantan, Indonesia (Ithaca: SEAP Cornell, 2003), buku ini membicarakan periode abad ke-18 hingga tahun 2000. Jamie Davidson telah menulis artikel tentang kekerasan di Kalimantan Barat, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan (ditulis bersama Douglas Kammen), Indonesia 73 (April 2002), pp.53-87. Tulisan ini menjelaskan secara detil proses terjadinya pembantaian “ribuan” Tionghoa di Kalbar, yang dilakukan oleh suku Dayak yang diprovokasi oleh militer. Selain itu masih banyak Tionghoa yang tewas di dalam “kamp pengungsi” karena kelaparan.
[12] Jurnal Archipel (Paris) telah menerbitkan beberapa artikel tentang sejarah perempuan Tionghoa. Myra Sidharta sudah banyak menulis tentang perempuan Tionghoa peranakan. Baru-baru ini kami mendapatkan dua buku biografi perempuan Tionghoa Indonesia yang diterbitkan di Singapura oleh penerbit yang relatif kecil, sehingga keberadaannya kurang banyak diketahui. Freda Hatfield Tong, Sons for the Master (Singapore: Path Seekers, 2001) dan Hu Siu Ing, The Passage of Time (Singapore: Singapore Asian Publications, 2001). Memoir pertama adalah tentang seorang perempuan peranakan, ibunda dari Pendeta Stephen Tong. Memoir kedua cukup langka, karena ditulis oleh seorang perempuan Totok yang lahir di Tiongkok serta besar di Jawa Barat.
[13] Bisa disebutkan nama lain, misalnya David Kwa Kian Hauw (Jakarta), serta Budi Kho Djie Tjay (Magelang), yang menguasai dengan baik bahasa dan tulisan Mandarin.
[14] Ien Ang, seorang Tionghoa kelahiran Indonesia, yang dibesarkan di belanda dan sekarang mengajar di Australia telah menulis buku yang sangat memikat, berjudul On Not Speaking Chinese (Surrey: RoutledgeCurzon, 2001).
[15] Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 (Glencoe: 1960), p.61; Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore: 2002), h.372.
[16] Benny Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2003), h.301.
[17] Topik ini masih sangat sedikit dikaji, satu diantaranya V.Hanssens, “The Campaign Against Nationalist Chinese in Indonesia”, dalam B.H.M.Vlekke (ed.), Indonesia’s Struggle 1957-1958 (The Hague: NIIA, 1959), h.56-76; Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis (Sydney: Allen and Unwin).
[18] Terjemahan bebas oleh penulis, lihat tulisan Somers “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West Kalimantan, 1945-46”, makalah pada Konperensi NIOD, Amsterdam, 29 April 2003, h.1-2.
[19] Peter Carey, “Changing Perceptions of …”, Indonesia 1984.
[20] Benny Setiono, Tionghoa, h.611.
[21] Dikutip dari Martin N. Marger, Race and Ethnic Relations (Californis: 1994), h.51-52. Istilah “middleman minority” pertama kali dipakai oleh sosiolog AS Howard P.Becker (1940). Ada beberapa istilah lain yang dipakai misalnya “Trading Minorities” (W.F. Wertheim), “Minorities in the Middle” (Walter P. Zenner). Untuk kajian lebih lanjut lihat Walter P.Zenner, Minorities in the Middle: A Cross-Cultural Analysis (New York: SUNY Press, 1991). Beberapa ahli sudah mengkritik teori ini, lihat Mona Lohanda, Growing Pains (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002), h.19. Akan tetapi kami beranggapan teori ini bisa diterapkan bagi minoritas keturunan asing, misalnya Tionghoa di Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian ia tidak cocok diterapkan untuk semua kelompok perantara, misalnya orang Jepang di jaman Hindia Belanda (“toko Jepang”) atau orang Madura di Kalimantan Barat.
[22] Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson 1972), h.253 (terjemahan bebas dari kami)
[23] Charles Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h.53.
[24] Twang Peck Yang, “Indonesian Chinese Business Communities in Transformation, 1940-1950”, PhD Thesis (Canberra: Australian National University, 1987), h.46 catatan 28, menceritakan adanya 20 orang Tionghoa totok asal Shantung yang sedang mengungsi lewat Bekasi telah disunat secara paksa dan ditangkap.
[25] G.Pakpahan, 1261 Hari dibawah Matahari Terbit (Jakarta: Marintan Jaya, 1979), h.39.
[26] Lawrence Yoder, Tunas Kecil: Sejarah Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: 1980), h.120-122.
[27] E.Touwen-Bouwsma, “The Indonesian Nationalists and the Japanese ‘Liberation’ of Indonesia: Vision and Reactions”, JSEAS, Maret 1996, h.10. Disebutkan bahwa penyunatan paksa dilakukan oleh anggota Nahdatul Ulama (NU).
[28] Suharyo Padmodiwiryo, Memoir Haryo Kecik Volume 1 (Jakarta: Obor, 1995), h.12.
[29] Soemarno Sosroatmodjo, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (Jakarta: Gunung Agung, 1981), h.249.
[30] Twang Peck-yang, loc.cit.; Lawrence Yoder, op.cit., h.122; Victor Purcell, Chinese in Southeast Asia. Second Edition (London: Oxford, 1965), h.472.
[31] Twang Peck-yang, loc.cit., menyebutkan di Bekasi sekitar 1,000 orang Tionghoa dikurung didalam klenteng oleh ribuan orang Indonesia. Hong Po, 15-5-1942 melaporkan pertolongan Kenpeitai (polisi rahasia Jepang) atas Tionghoa Tangerang yang disandera para perampok dan sekaligus menumpasnya. Hal ini berarti para perampok masih bergentayangan selama dua bulan pertama pendudukan.
[32] Lihat berturut-turut, Pakpahan, loc.cit., Twang, op.cit., h.46 catt.28 menyebutkan dibunuhnya pemimpin Tionghoa di Bekasi. Robert Cribb, Gangsters and Revolutionaries (Honolulu: 1991), h.39 menyebutkan dibunuhnya beberapa tuan tanah di bekasi dan beberapa kaki tangannya. Di Jombang, beberapa pemilik toko ikut dibunuh, Touwen-Bouwsma, loc.cit. Di Idi (Aceh) beberapa orang Tionghoa tewas dibunuh, termasuk seorang letnan Tionghoa, A.J.Piekaar, Atjeh en de Oorlog met Japan (‘s Gravenhage: 1949), h.146.
[33] Twang, op.cit., h.44, 62.
[34] Tan Po Goan, “Chinese Problems in Indonesia”, The Voice of Free Indonesia, 1 November 1946, h.20-25.
[35] Arief Budiman, “The Emegence of the Bureaucratic Capitalist State in Indonesia”, dalam Lim Teck Ghee (ed.), Reflections on Development in Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 1988). Penguasa Orde Baru menyadari bahwa munculnya kelas menengah pribumi yang kuat akan membahayakan eksistensinya. Di pihak lain, terdapat golongan Tionghoa yang cukup mapan secara ekonomi tidak mempunyai kekuasaan politik. Maka mereka “dirangkul” dan diberi keistimewaan dalam bisnis, dan sebaliknya membantu rezim penguasa (plus oknum-oknumnya) dengan aliran dananya. Kerjasama yang “sumbang” ini bukannya mengamankan posisi mereka, bahkan semakin memperbesar kebencian massa kepada etnis Tionghoa.
[36] Bandingkan dengan peristiwa pembantaian Tionghoa 1740 yang termashur, “Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah orang-orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, namun tanpa belas kasihan dan tanpa menjunjung moral serta peri kemanusiaan, mereka menyerahkan orang-orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititipkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri”, Benny Setiono, Tionghoa, h.114.
[37] Sumber paling detil tentang subjek ini adalah Denys Lombard dan Claudine Salmon, Ïslam and Chineseness”, dalam Alijah Gordon (ed.), The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago (Kuala Lumpur: Malaysia Sociological Research Institute, 2001); Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Tunjung Sari, 1979).
[38] Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Sejarah Islam (Jakarta: Bulan Bintang)
[39] “Prof Tjan Tjoe Siem”, dalam Rosihan Anwar, Quartet: Pertemuan dengan Empat Sahabatku (Jakarta: Yayasan Soedjatmoko, 1999)
[40] Steenbrink, Beberapa Aspek,
[41] C.W.Th.Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbledam, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (Den Haag: Nijhoff, 1947), h.187-88.
[42] Lombard dan Salmon, Ïslam”, h.198.
[43] Kwee Kek Beng, Doea Poeloe Lima Taon Sebagi Wartawan (Batavia: Kuo, 1947), h.35-36.
[44] New Light Magazine, 1947
[45] Wawancara dengan Sinta Dewi Sampoerna, puteri Liem Seeng Tee, 1996.
[46] Penuturan Riwu dimuat bersambung di Jawa Pos (Surabaya) sekitar tahun 1992.
[47] Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti Pers, 1986).
[48] Benny Setiono, Tionghoa, h.1077.
[49] Kami ingin menyampaikan rasa hormat secara pribadi kepada Bpk Abdurrachman Wahid, ketika Orde Baru sedang berada di puncaknya, sudah berani menyuarakan ide tersebut di atas. Abdurrachman Wahid, “Beri Jalan Orang Cina”, Editor, 33, 21 April 1990, yang dimuat ulang dalam Junus Jahja (ed.), Nonpri di Mata Pribumi (Jakarta: Tunas Bansga, 1991), h.224-228. Penulis yang waktu itu menjadi mahasiswa di Yogyakarta merasa kagum dengan tulisan beliau tsb dan menganggapnya sebagai salah satu tulisan/dokumen politik terpenting dalam hubungan Indonesia-Tionghoa. Sayang tulisan tersebut sudah banyak dilupakan dewasa ini.
dikutip dari sini

Read More..

JAGAT DAN ESTETTIKA SASTRA SUFI NUSANTARA

|

Melalui teori perenial atau tradisionalnya Comaraswamy membagi seni, termasuk sastra, ke dalam tiga kategori. Yang pertama, seni murni/tulen, yang dicipta sebagai simbol (misal) atas pengalaman dan penglihatan batin. Yang kedua, seni dinamik, karya-karya yang memaparkan pergulatan manusia menghadapi persoalan-persoalan dunia. Yang ketiga, seni apatetik, yang bersifat ketukangan dan tidak memberi inspirasi (Livingston 1962:56). Seni murni dihasilkan melalui proses perenungan mendalam. Sarana ruhani yang digunakan si seniman ialah intuisi intelektual, yaitu kecerdasan melihat sesuatu dengan mata kalbu (prasyati buddhi), yang dicapai melalui kontemplasi dan meditasi.
Berdasar teori yang mungkin serupa, Braginsky (1993, 1998) membagi karya-karya Melayu klasik ke dalam tiga kategori pula. Yang pertama, karya-karya yang memaparkan sfera kamal atau penyempurnaan batin. Sastra sufi termasuk ke dalam kategori ini. Yang kedua, karya-karya yang memaparkan sfera faedah. Karya-karya adab dan kemasyarakatan termasuk ke dalam kategori ini. Yang ketiga, karya-karya yang memaparkan sfera keindahan atau kenikmatan lahir. Kisah-kisah pelipur lara termasuk ke dalam kategori ini.

Penggolongan yang dikemukakan Comaraswamy dan Braginsky sangat tepat, karena tiga kategori sastra itu masing-masing diciptakan berdasar estetika atau teori seni yang berbeda. Masing-masing dicipta untuk tujuan yang berbeda dan memenuhi fungsi yang berbeda pula. Akan tetapi, dalam sejarah peradaban Islam, berbagai bentuk dan corak estetika yang kelihatannya berbeda itu, dan melahirkan tiga bentuk seni atau sastra dengan hakikat dan fungsi yang berbeda-beda itu, tidak selamanya berdiri sendiri. Tidak jarang masing-masing saling melengkapi dan mempengaruhi. Ahli-ahli tasawuf tidak jarang menggunakan peralatan estetika adab dan pelipur lara dalam menulis karya mereka yang tergolong seni murni. Sebaliknya penulis karya adab dan pelipur lara tidak jarang pula menggunakan peralatan estetika sufi dalam menulis bagian-bagian tertentu dari karya mereka.

Wawasan estetika penulis sufi pada umumnya dibangun berdasark pemikiran ahli-ahli tasawuf seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin al-`Attar, dan Jalaluddin Rumi. Dalam pelaksanaannya ia diperkuat pula dengan teori Alam Misal (`alam al-mithal) Suhrawardi al-Maqtul yang sejalan dengan teori Ibn `Arabi. Adapun dasar-dasar estetika yang digunakan penulis adab ialah teori penciptaan dari filosof mashha`iyah (peripatetic) seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Abdul Qahir al-Jurjani. Yang pertama mengatakan bahwa sastra atau puisi adalah misal (simbolisasi) dari ide-ide, penglihatan dan pengalaman keruhanian. Sedangkan yang kedua bertolak dari anggapan bahwa sastra adalah karya imaginatif (mutakhayyil) di mana bercampur unsur peniruan (mimesis) dan penciptaan (creatio). Dalam proses penciptaan karya sastra, imaginasi dikendalikan oleh apa yang disebut sebagai akal rasional. Berdasarkan ini maka kita akan dapat memahami perbedaan hakikat antara sastra sufi dan adab.

Estetika Sastra Sufi

Menurut Comaraswamy, pokok paparan seni murni berkenaan dengan pengalaman transendental dan masalah-masalah ketuhanan. Jadi wilayah garapannya adalah tatanan realitas atau kehidupan yang tidak dapat dicerap secara inderawi atau pemahaman logika rasional. Karena tidak tercerna oleh logika dan persepsi inderawi, maka pengalaman semacam itu harus disampaikan melalui ungkapan-ungkapan tertentu yang memberi peluang bagi sarana keruhanian lain untuk dapat menangkapnya. Sarana keruhanian itu ialah akal intuitif dan imaginasi kreatif, yang dapat membimbing pikiran rasional dan persepsi indera memahami bahwa ada kebenaran di seberang kebenaran yang tidak dapat dicerap secara inderawi dan rasional.

Ungkapan-ungkapan tertentu yang dimaksud bersifat simbolik. Hanya melalui simbol-simbol tertentu dan bahasa figuratif puisi, akal intuitif dan imaginasi kreatif dapat bekerja dan menyampaikan pengalaman trasendental yang dialami seorang pengarang. Seni murni, karena itu, selalu hadir dalam sejarah peradaban manusia dalam bentuk ragam tutur simbolik yang dihasilkan melalui proses perenungan yang dalam. Di dalam karya sastra yang tergolong seni murni, simbol atau mitsal berperan sebagai penghubung alam indera dengan alam keruhanian. Simbol, yang biasanya berupa imaji atau ungkapan imaginatif, merupakan wakil alam indera. Yang disimbolkan atau dimisalkan oleh sebuah simbol merupakan adalah pengalaman keruhanian tertentu pengarang. Yang pertama bersifat inderawi, dan yang kedua bersifat trasendental dan merupakan wakil dari dunia makna-makna. Fungsi simbol dengan demikian merupakan tangga naik menuju pengalaman transendental atau pesan keruhanian yang disugestikan dalam sebuah karya.

Dalam karangan-karangan sufi misalnya, teks yang biasa disebut surah merupakan ungkapan-ungkapan lahir dari sesuatu yang lebih dalam dan tidak dapat dicerna secara inderawi, Ia adalah perantara atau penghubung (barzakh) antara sesuatu yang bersifat empiris dan yang bersifat batin. Ibarat manusia, karya sufi hendaknya tidak dilihat semata-mata sebagai sebuah sosok lahir seseorang, tetapi sebagai badan halusnya, yaitu pesan moral dan keruhaniannya yang mengatasi kategori-kategori pemahaman rasional dan pengalaman empiris.Ungkapan estetik atau lahir yang disebut surah (bangunan luar) hanyalah representasi simbolik dari makna (ma`na) yang merupakan bangunan batin sebuah karya.

Semua seni yang dicipta berdasar falsafah perennial, kata Comarasway, tertuju kepada Kebenaran Tertinggi. Ia disajikan melalui ungkapan estetik tertentu dalam upaya seniman menyingkap Kehadiran-Nya yang diliputi rahasia di dunia keberadaan dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman antara lain, ”Ayat-ayat Tuhan terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia”. Juga ”Kemana pun Kau memandang akan tampak wajah-Nya”. Melalui karyanya yang bersorak simbolik atau berbentuk kias seperti alegori, si seniman ingin pula mengajak jiwa dan batin orang lain ikut merasakan dan merenungkan makna dari kehadiran-Nya, yang walaupun dirasakan dalam kalbu, namun penting sebagai jalan menuju keyakinan mendalam tentang keberadaan dan ada-Nya, yang dengan itu seseorang bisa memperoleh pencerahan dan pembebasan. Dalam peradaban Islam, seni seperti itu dijumpai dalam wujud seni khat atau kaligrafi, lukisan geometri dan hias tetumbuhan (arabesque), aneka puisi religius dan alegori-alegori mistikal.

Sastra sufi termasuk dalam klasifikasi seni yang demikian, sebab ia dicipta dalam rangka mengekspresikan pengalaman unio-mystika dan perasaan-perasan yang dialami seorang pesuluk (salik) di jalan tasawuf. Sebagaimana tasawuf yang menjadi sumbernya, sastra sufi menggambarkan upaya seorang pesuluk mencapai Yang Haqq, yang dengan demikian ia dapat merealisasikan dirinya dalam persatuan batin dengan-Nya. Dalam upayanya itu seorang pesuluk harus melalui tahapan-tahapan sebelum akhirnya mencapai tujuannya. Pada tahapan terakhir ia akan tahu bahwa Wujud Hakiki atau Kebenaran Tertinggi hanya dapat disaksikan secara kalbiah, yang hasilnya berupa keyakinan mendalam akan keberadaan-Nya.

Nasr (1980:22) menyatakan bahwa yang dibicarakan dalam tasawuf adalah tiga perkara pokok. Yaitu hakikat Tuhan, kodrat manusia dan kebajikan-kebajikan spiritual yang melaluinya seseorang dapat merealisasikan hubungannya dengan Tuhan, alam dan sesamanya. Serangkaian kebajikan spiritual yang ditempuh disebut maqamat (peringkat atau tahapan ruhani), sedangkan keadaan-keadaan yang ditimbulkan dari tercapainya masing-masing tahapan ruhani itu disebut ahwal (kata tunggalnya hal, artinya keadaan jiwa). Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sastra sufi merupakan karangan bercorak simbolik dan puitik mengenai peringkat-peringkat ruhani dan keadaan-keadaan jiwa yang dicapai atau dialami penulisnya di jalan tasawuf.

Dengan takrif yang tidak begitu berbeda, Braginsky (1994:3) mengemukakan bahwa sastra sufi adalah karagan-karangan mengenai perjalanan seorang ahli suluk dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Tujuannya ialah musyahadah, penyaksian bahwa Allah itu esa. Di tempat lain Nasr (1980:8) mengatakan, “Sastra sufi tidak lain adalah karangan ahli-ahli tasawuf berkenaan dengan peringkat-peringkat (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang mereka capai.” Setiap pengarang sufi memberi gambaran dan tanggapan berbeda tentang kedua hal yang mereka alami. Salah satu contoh terbaik karya penyair sufi yang dapat menjelaskan apa hakikat sastra sufi itu, serta bagaimana pengarangnya mengolah bahan verbal karyanya menjadi penuturan simbolik sastra, ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar.

Dalam alegorinya itu `Attar memaparkan maqam-maqam dan ahwal yang dialami ahli suluk dalam menempuh jalan tasawuf. Segala jenis burung dari seluruh dunia berkumpul. Mereka bingung karena kerajaan mereka kehilangan pemimpin. Burung Hudhud, yang merupakan lambang guru keruhanian, tampil ke depan dan mengabarkan bahwa raja mereka Simurgh berada di puncak gunung Qaf. Kawanan burung itu mencari dan menjumpai sang maharaja. Perjalanan yang harus mereka tempuh demikian berat dan sukar. Mereka melalui tujuh wadi atau lembah, yang masing-masing melambangkan tahapan dan keadaan ruhani yang harus ditempuh dan dialami di jalan tasawuf.

Setiap lembah yang dilalui burung-burung itu dijelaskan melalui kisah-kisah menarik. Tujuh lembah itu ialah talab (pencarian), `ishq (cinta), ma`rifa (makrifat), istighna (kepuasan hati), tawhid (kesaksian kalbu tentang keesaan Allah), hayrat (pesona, ketakjuban), faqr (kefakiran), fana’ dan baqa ’ (kefanaan dan kebakaan). Lembah di sini adalah lambang dari tahapan-tahapan keruhanian yang harus dilalui para penempuh suluk. Sedangkan burung-burung yang ribuan itu melambangkan jiwa para salik. Dalam penerbangannya menemui Simurgh, yang sampai di tujuan hanya tiga puluh ekor burung. Dalam bahasa Persia, Si-murgh berarti tiga puluh. Mereka yang mencapai lembah terakhir itu heran, karena yang mereka jumpai adalah hakikat diri mereka sendiri. Dalam Hikayat Burung Pingai, versi Melayu dari alegori ini, cerita diakhiri dengan kutipan hadis, “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhan (yang merupakan asal-usul kejadiannya).”

Melalui Mantiq al-Tayr kita dapat memahami bahwa wawasan estetika sufi bertitik tolak dari keyakinan bahwa suatu karya yang simbolik dan sarat dengan renungan keruhanian, dapat membawa jiwa pembaca melalukan kenaikan spiritual hingga akhirnya memperoleh pencerahan dalam Kebenaran Tertinggi. Untuk sekadar memberi gambaran bagaimana estetika sufi itu sebenarnya, cukuplah saya petik bagian-bagian dari Syair Perahu berikut ini:

Inilah gerangan suatu madah

Mengarangkan syair terlalu indah

Membetuli jalan tempat berpindah

Di sanalah i`tqad diperbuli sudah

Wahai muda kenali dirimu

Ialah perahu tamsil tubuhmu

Tiada berapa lama hidupmu

Ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda arif budiman

Hasilkan kemudi dengan pedoman

Alat perauhumu jua kerjakan

Itulah jalan membetuli insan



La ilaha illa Allah tempat mengintai

Medan yang qadim tempat berdamai

Wujud Allah terlalu bitai

Siang malam jangan bercerai

(Doorenbos 1933:35)

Dari syair ini kita dapat memetik pandangan seperti berikut: (1) Puisi merupakan sarana transendensi atau tempat berpindah ke alam keabadian; (2) karangan yang indah ditulis setelah kalbu pengarang tersucikan, yaitu setelah membentulkan aqidah dan iktikadnya; (3) Karya seni atau puisi yang baik merupakan proyeksi zikir; (4) Keindahan Tuhan dan hakikat Tauhid hanya dapat disaksikan di ‘medan yang qadim’, yaitu di alam keabadian, yang hanya bisa disaksikan melalui perenungan yang dalam (musyahadah); (5) Penyair mengharap pembaca menjadikan puisi sebagai tangga naik menuju hakikat dirinya yang sejati

Kata penulis Syair Perahu, “Wahai muda kenali dirimu/Ialah perahu tamsil tubuhmu”. Tubuh kita, bersama peralatan mental dan keruhaniannya, adalah perahu yang sedang berlayar menuju Bandar Tauhid. Selama pelayaran itu berlangsung, banyak sekali godaan dan bahaya mengancam.

Sastra Sufi di Nusantara

Dalam sejarah Islam, ahli-ahli tasawuf atau sufi telah sejak awal memainkan peranan penting dalam penyebaran agama ini di kepulauan Nusantara. Peranan mereka semakin menonjol pada abad ke-14 – 18 M, tak lama setelah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan penguasa Mongol pada tahun 1256 M yang disusul dengan terjadinya gelombang pengungsian kaum Muslimin secara besar-besaran di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dalam rentang masa yang cukup panjang itu para sufi – baik yang disebut faqir, wali, guru sufi, pemimpin tariqat, ahli makrifat, ahli suluk, dan lain-lain – telah berhasil memberi corak perkembangan Islam yang unik di Nusantara. Dalam menyebarkan dan mengajar agama, serta dalam menulis karangan keilmuan dan sastra, mereka menggunakan bahasa Melayu selain bahasa Arab. Mereka juga giat menyadur karya-karya Arab dan Persia, seperti epos, hikayat nabi-nabi, dan roman. Ini menjadikan kian meluasnya pemakaian bahasa Melayu di berbagai pelosok kepulauan Nusantara. Dengan itu bahasa ini lantas naik peran dan martabatnya dari lingua franca (bahasa gaul) di bidang perdagangan, menjadi bahasa pergaulan utama antar-etnik di kepulauan Nusantara di bidang lain seperti keilmuan, keagamaan, dan sastra.

Pengaruh tasawuf dalam kebudayaan masyarakat Nusantara yang memeluk agama Islam tidak perlu diperdebatkan lagi. Ia dapat dilihat dalam adat-istiadat, upacara-upacara keagamaan, kesenian, tradisi intelektual dan kesusastraan Nusantara, tidak hanya dalam kesusastraan Melayu. Sejak awal semua perwujudan budaya ini oleh para ahli tasawuf telah dijadikan media penyebaran dan penanaman pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) Islam. Yang perlu ditelusuri ialah bagaimana fase-fase abad ke-13 – 17 M telah memdorong para sufi atau ahli tasawuf, yang lazim disebut faqir, bisa memainkan peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan, yang melalui cara demikian Islam dimungkinkan berkembang pesat dan tradisi intelektualnya terbentuk sedemikian kokohmya.

Abad ke-13 – 17 M Asia Tenggara memasuki fase-fase akhir dari era globalisasi gelombang pertama yang telah berlangsung sejak abad ke-5 M, dan itu identik dengan era penyebaran agama-agama besar di seluruh dunia. Pada fase ini Islam muncul sebagai pemeran utama yang menonjol setelah surutnya kegiatan penyebaran agama Hindu dan Buddha disebabkan kemunduran hegemoni politik mereka, sedangkan agama Kristen dating terlambat justru ketika agama Islam tengah berkembang pesat pada abad ke-16. Pada periode ini pula tasawuf menjadi cabang ilmu Islam yang menonjol dan dalam ajaran para penganjurnya ilmu-ilmu Islam lain yang penting telah dirangkum dan diserap, termasuk falsafah. Di antara mereka tidak sedikit pula muncul para cendekiawan yang tampil sebagai pelopor penulisan kitab dan sastra dalam bahasa-bahasa setempat termasuk Melayu dan Jawa.

Dapat dikatakan bahwa pada periode ini, dari segi keagamaan dan intelektual, para sufi memainkan peranan penting dalam proses islamisasi Nusantara dan kebudayaan-kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses islamisasi ini, kesusastraan – tutur dan tulis – tidak kecil peranannya, terutama sebagai pembentuk pandangan hidup (way of life) dan gambaran dunia (Weltanschauung), pencipta dan penyebar symbol-simbol budaya Islam, peletak dasar adat istiadat dan upacara keagamaan, pembangun tradisi baru kreativitas dan intelektual. Melalui karya-karya yang mereka tulis, dan mereka tuturkan dalam ceramah dan pengajian-pengajian, mereka sebarkan nilai-nilai Islam, cara pandang Islam merespon alam dan kehidupan.

Dalam sebuah bukunya al-Attas (1969) lebih kurang mengatakan bahwa, setelah terjadinya pemelukan Islam secara formal di kalangan penduduk Melayu – masyarakat Nusantara pertama yang beramai-ramai memeluk Islam – pada abad ke-12 – 14 M, berlanjutlah tahapan berikutnya yang sangat menentukan pada abad ke-15 – 17 M, yaitu pemelukan Islam secara lebih mendalam dan menyeluruh. Pada tahapan ini, pemelukan Islam telah menyentuh inti keruhanian ajaran Islam, unsur-unsur rasional dan intelektualnya. Penafsiran terhadap ajaran Islam yang semula terpaku pada masalah yang berkenaan dengan peribadatan dan aturan formal agama, dilanjutkan dengan penafsiran di bidang metafisika falsafah (tassawuf) dan teologi rasional (ilmu kalam). Pada masa berlangsungnya tahapan ini, tasawuf dan tulisan-tulisan para sufi dan ahli kalam memainkan peranan menonjol. Gagasan-gagasan fundamental yang diperkenalkan sesuai dengan Weltanschauung atau worldview Islam, kadang-kadang dijelaskan melalui ungkapan budaya lokal agar mudah dimengerti. Pada berlangsunya tahapan ini sastra Melayu bercorak Islam mulai mencapai puncak perkembangannya. Pada abad ke-18 M, karya-karya Melayu Islam ini dijadikan cermin dan model bagi perkembangan sastra Islam di wilayah lain di Nusantara seperti di Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Palembang, Banjar, Sasak, Bugis, Makassar, Bima, dan lain-lain.

Karena menonjolnya peranan sufi dalam kegiatan penulisan sastra, maka tidak mengherankan apabila kita menyaksikan betapa khazanah sastra di Islam – terutama yang ditulis dalam bahasa Melayu dan Jawa – dipenuhi karya yang sebagian besar memperoleh corak dan bentuknya dari gagasan, pemikiran, dan estetika yang hidup di kalangan ahli-ahli tasawuf. Namun patut disayangkan, jejak tasawuf dalam sejarah kesusastraan Nusantara sering dikaburkan dan dianggap tidak penting. Dalam banyak buku kesusastraan Melayu, karya sufi yang sebenarnya tidak terbatas hanya pada risalah-risalah tasawuf dan syair-syair makrifat, diberi ruang sempit sebagai ”karangan-karangan bercorak tasawuf” dengan contoh yang begitu sedikit, sehingga timbul kesan bahwa sumbangan sufi dan pemikiran mereka sedikit saja pengaruhnya bagi perkembangan kesusastraan Melayu.

Jagat Sastra Sufi

Dalam sejarah kesusastraan Melayu, benih sastra sufi telah muncul pada awal abad ke-15 M. Ini tampak misalnya pada hadirnya sajak penyair sufi Persia Sa’di di batu nisan seorang bangsawan Pasai bertarikh 1416 M, Husamuddin al-Naini. Sebuah naskah berasal dari awal abad ke-16 M berisi terjemahan sajak-sajak penyair sufi Persia seperti Umar al-Khayyami, Jalaluddin Rumi, Sa`di, dan lain-lain juga sudah ditemukan (Iskandar 1995). Ini membuktikan bahwa kegiatan penulisan sastra sufi telah bermula sejak zaman kesultanan Samudra Pasai (1270-1500 M) dan Malaka (1400-1511 M). Namun puncak perkembangannya tampak dengan munculnya sufi besar Melayu Hamzah Fansuri pada zaman kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Kemunculan Hamzah Fansuri dan syair-syair tasawufnya sekaligus menandai puncak perkembangan sastra Melayu atau datangnya fase baru yang oleh Braginsky disebut ’periode kesadaran diri’.

Setelah hadirnya Hamzah Fansuri, dan murid-muridnya di Barus dan Aceh, penulis sufi melebarkan sayapnya. Mereka tidak hanya melahirkan apa yang disebut sebagai syair-syair tasawuf atau makrifat, dan juga tidak hanya melahirkan risalah tasawuf yang termasuk ke dalam kategori sastra kitab. Mereka juga melahirkan karya yang termasuk ke dalam genre-genre lain. Secara keseluruhan, karya-karya yang digolongkan sebagai bercorak tasawuf itu setidak-tidaknya dapat diklasifikan ke dalam enam kelompok, seperti berikut:

1. Syair Tauhid dan Makrifat. Biasanya campuran lirik dan didaktis, dancenderung naratif. Yang terkenal ialah Ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri (abad ke-16 M) dan murid-muridnya dari Barus dan Aceh seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, dan lain-lain. Dalam rangkaian itu juga terdapat syair-syair anonim seperti “Syair Dagang”, “Syair Perahu” (ada tiga versi berbeda gaya bahasa dan penulis), “Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’”, “Syair Unggas Bersoal Jawab”, “Syair Takrif al-Huruf”, “Syair Perihal Kiamat”, “Syair Alif Ba Ta”, “Syair Perkataan Alif, “Syair Makrifat”, dan masih banyak lagi. Syair-syair serupa juga terdapat banyak kesusastraan Nusantara seperti Bugis, Aceh, Makassar, Sunda, Jawa dan Madura.

Dalam sastra Jawa, khususnya yang ditulis bentuk puisi atau tembang macapat, disebut suluk. Penulis suluk terkenal pada abad ke-16 di antaranya ialah Sunan Bonang, Sunan Gunungjati, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Sela, dan lain-lain. Penulis suluk terkenal abad ke-18 dan 19 di antaranya ialah Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita, dan lain-lain. Di antara yang terkenal ialah Suluk Walisanga, Mustika Rancang, Suluk Wujil, Suluk Bentuir, Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa, Suluk Aceh, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabriz, Suluk Jati Rasa, dan lain-lain. Suluk juga ditemui dalam kesusastraan Madura, yang terkenal misalnya ialah Suluk Ontal Enom, Pancadriya, Morbing Rama, Suluk Johar Mongkin, dan lain sebagainya. Dalam kesusastraan Sunda yang paling terkenal ialah Wiwitan Hasan Mustafa.

2. Syair Pujian Kepada Nabi Muhamad s.a.w.. Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, terdapat syair pujian khusus kepada beliau. Dalam kesusastraan Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan di Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini dalam kesusastraan Melayu terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad s. a.w. Dimasukkan ke dalam kategori karya bercorak tasawuf, karena penulisnya biasa adalah sufi atau guru tariqat, dan dalam ungkapan-ungkapannya terdapat simbol-simbol yang berlaku dalam sastra sufi. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.

3. Ratib atau Agiografi Sufi. Ada yang ditulis dalam bentuk prosa berirama dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Dalam bentuk prosa dinamai hikayat. Dalam bentuk prosa berirama, yang terkenal di antaranya ialah Ratib Syekh Saman, Ratib Syekh Abdul Qadir Jailani, Ratib Syekh Hamzah Fansuri, Ratib Syekh Naqsabandi, dan lain-lain. Sedangkan yang dalam bentuk prosa ialah Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Rabi`ah al-Adawiyah, Hikayat Abu Yazid al-Bhistami, Hikayat Shamsi Tabriz, Hikayat Mansur al-Hallaj, Hikaya Syekh Abdul Kadir al-Jailani, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham, Hikayat Jumjunah, Hikayat Abu Syamah, dan lain-lain.

4. Alegori sufi atau kisah perumpamaan sufi. Para penulis sufi sering menggubah cerita-cerita yang tergolong dalam roman atau pelipur lara menjadi alegori sufi, terutama untuk melukiskan tahapan-tahapan naik perjalanan ruhani mereka secara simbolik. Model serupa dilakukan oleh penulis-penulis Arab dan Persia. Nizami al-Ganjawi, penulis Persia, menggubah hikayat Iskandar Zulkarnain (dalam Iskandar-nama) dan Layla Majenun menjadi alegori sufi. Demikian juga Jami, penulis Persia abad ke-1`5 M, yang menggubah Salaman dan Absal, Yusuf dan Zulaikha dan lain-lain. Dalam sastra Melayu hikayat yang digubah menjadi alegori sufi antara lain ialah Hikayat Inderaputra, Hikayat Syah Mardan, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Badr al-`Asyiq, Taj al-Muluk dan lain-lain.

Dalam sastra Jawa di antaranya ialah Serat Seh Malaya, Semaun lan Mariya, Masirullah, Serat Dewa Ruci, Wujud Tunggal, Suksma Winasa, Dewi Malika, dan lain-lain.

5. Risalah Tasawuf yang biasa dimasukkan ke dalam kelompok Sastra Kitab. Beberapa sufi yang sangat masyhur sebagai penulis risalah ialah Hamzah Fansuri (Syarab al-`Asyiqin, Asrar al`Arifin dan al-Muntahi); Syamsudin Pasai (Mir`at al-Mu`minin, Mir`at al-Iman, Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna, Mir`at al-Muhaqqiqin dan lain-lain); Nuruddin al-Raniri (Ma` al-Hayat, Hill al-Zill, Tybian fi Ma`rifa al-adyan, Sifat al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jawhar al-`Ulum dan lain-lain); Abdul Rauf al-Singkili (Daqa`iq al-Huruf, Umdat al-Muhtajin ila al-Suluk Maslak al-Mufridin dan lain-lain); Yusuf al-Makassari (al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdah al-Asrar, Qurat al-`Ayn, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq, dan lain-lain).

6. Karangan prosa berisi aneka corak pandangan atau ilmu sufi tentang berbagai persoalan seperti metafisika, penciptaan alam semesta, sejarah, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Kitab Seribu Masalah, Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri (Syamsuddin al-Sumatrani), Taj al-Salatin (Bukhari al-Jauhari), Bustan al-Salatin (Nuruddin al-Raniri), Risalah Turunnya Imam Mahdi (Arsyad al-Banjari), dan lain-lain.

Suluk di Jawa

Di Jawa wacana sastra sufi atau suluk diperkenalkan pada abad ke-15 dan 16 M oleh para wali yang sebagian besar berdakwah dengan menggunakan media tasawuf dan budaya lokal. Kegiatan mereka dilakukan mula-mula di pesisir, tempat munculnya pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan Muslim awal di pulau Jawa. Karena mereka melakukan kegiatan di kota-kota pelabuhan sepanjang pesisir pulau Jawa dan Madura, maka karya-karya yang mereka hasilkan disebut sebagai Sastra Pesisir. Tuban, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten, merupakan pusat-pusat awal kegiatan sastra pesisir.

Pada umumnya wali-wali sufi itu menguasai bahasa Arab dan Persia, selain bahasa Jawa dan Melayu. Tetapi berbeda dengan penulis-penulis Melayu Islam yang sezaman, yang menggunakan huruf Jawi (Arab Melayu) dalam penulisan mereka dan memadukan puitika Arab Parsi dengan puitika Melayu dalam penciptaan karya mereka. Para wali di Jawa menggunakan huruf Jawa dan tetap meneruskan bentuk persajakan lama (tembang macapat) dalam menghasilkan suluk. Di antara wali sufi yang paling produktif melahirkan suluk ialah Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Mereka hidup antara pertengahan abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M, masing-masing di Tuban dan Cirebon.

Karya Sunan Bonang yang terkenal di antaranya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Jebeng, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, dan lain sebagainya. Dalam Suluk Wujil Sunan Bonang menuturkan ajaran tasawuf yang disampaikan kepada muridnya, bekas abdi dalem Majapahit yang bernama Wujil. Dalam Suluk Khalifah dituturkan pengalaman keruhanian para wali di Jawa ketika menuntut ilmu suluk, dan pengalaman mereka mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Hindu yang ingin memeluk agama Islam.

Pada awal abad ke-17 M dengan pindahnya pusat kekuasaan Jawa ke pedalaman, kegiatan penulisan suluk berkembang pula di pedalaman, terutama di pesantren dan pusat-pusat kekuasaan. Di istana-istana raja Jawa, kegiatan penulisan sastra suluk mula-mula digalakkan oleh Panembahan Seda Krapyak pada permulaan abad ke-17 M. Perkembangan sastra suluk semakin pesat pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram. Pada masa ini sejumlah besar suluk-suluk pesisir disalin dan disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Di antaranya Suluk Wujil karya Sunan Bonang, dan Suluk Malang Sumirang karya Sunan Panggung (Poerbatjaraka 1938). Pada masa ini juga karya Jalaluddin Rumi yang masyhur Diwan-i Shamsi Tabriz disadur ke dalam bahasa Jawa di bawah judul Suluk Syamsi Tabriz. Sementara karya-karya Imam al-Ghazali, Abdul Karim al-Jili (al-Insan al-Kamil), Ibn `Arabi, dan karya sufi Arab dan Persia lain mulai dipelajari secara meluas di berbagai pesantren.

Puncak perkembangan sastra suluk mengambil waktu pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), raja Mataram terbesar sepanjang sejarah. Di bawah pemerintahannya sebagian besar pulau Jawa, kecuali Banten dan Pasundan, berhasil diintegrasikan kembali di bawah pemerintahannya. Pada masa ini sinthesa tasawuf Islam dan mistisisme Jawa mulai dilakukan secara intensif. Sultan Agung sendiri menulis karya sinthetis Sastra Gendhing yang masyhur. Dalam suluknya itu ajaran tasawuf disampaikan melalui metafora, simbol dan istilah-istilah lokal. Pada zaman pemerintahannya suluk-suluk besar banyak ditulis, antara lain Suluk Dhudha, Suluk Dalang, Prawan Mbathik, Suluk Makrifatullah, dan lain sebagainya (de Graff 1985:276).

Setelah wafatnya Sultan Agung, pusat kekuasaan Jawa mengalami berbagai kegoncangan disebabkan pembrontakan internal, perang suksesi dan campur tangan kolonial Belanda (VOC). Pusat kekuasaan dipindahkan dari ibukota Mataram ke Kartasura, sekarang kota kecil dekat Solo. Di tengah chaos, kebudayaan Jawa mengalami krisis. Peluang untuk memulihkan krisis itu baru bisa dilakukan pada awal abad ke-18 M setelah situasi politik relatif tenang, dan VOC benar-benar berkuasa di Jawa. Yaitu pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749 M)dan Pakubuwana III (1749-1788 M). Pada masa pemerintahan kedua raja inilah renaissance kesusastraan Jawa berlangsung.

Penggerak utama renaissance itu ialah seorang pujangga istana bernama Raden Mas Ngabehi Yasadipura I, penasehat utama Pakubuwana II dan Pakubuwana III. Inti utama dari renaissance kesusastraan Jawa ada dua: pertama, penyaduran karya-karya penulis Jawa Kuna secara besar-besaran ke dalam bahasa Jawa Baru; kedua, penyaduran karya-karya Melayu Islam ke dalam bahasa Jawa baru dengan memberinya ciri kejawaan. Kegiatan penyaduran karya Jawa Kuna dan Melayu Islam kemudian berlanjut pula pada abad ke-19 M di pusat-pusat kekuasaan lain di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Barat karya-karya Jawa Kuna dan Melayu disadur ke dalam bahasa Sunda, di Jawa Timur khususnya di Sumenep dan Bangkalan, karya-karya Jawa Kuna dan Melayu itu disadur ke dalam bahasa Madura.

Dari berbagai genre yang digemari ialah wiracarita (epos) dan karya-karya mistikal (suluk). Dari sastra Jawa Kuna muncul saduran-saduran kisah yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Epos Melayu yang digemari ialah Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Hikayat pahlawan Islam ini dalam sastra Jawa, Sunda, dan Madura disebut Serat Menak. Yang paling masyhur di antaranya ialah karya Yasadipura I. Peranan epos seperti ini penting dalam upaya memelihara semangat kepahlawanan. Tokoh-tokoh Jawa yang menjadi penentang kolonialisme pada abad ke-19 M, seperti Pangeran Diponegoro, adalah pengemar epos dan suluk.

Selain melahirkan berbagai epos, Yasadipura I juga melahirkan karya-karya suluk. Yang terkenal di antaranya ialah Serat Dewa Ruci dan Serat Cebolek. Melalui penelitian mendalam atas karya-karyanya kita dapat menelusuri bagaimana corak keterjalinan antara kesusastraam Jawa dan Melayu, serta aspek-aspek apa saja yang membuat karya-karya penulis Jawa itu berbeda dari karya-karya Melayu, padahal sumber dan model karangan-karangan keislaman dalam kesusastraan Jawa adalah teks-teks Melayu.

Penulis suluk Jawa lain yang terkenal selepas Yasadipra II adalah putranya Yasadipura II dan Ranggawarsita. Keduanya merupakan penulis suluk yang prolifik. Sampai awal abad ke-20 M karya-karya suluk masih banyak ditulis dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti halnya dalam kesusastraan Melayu di masa lalu, tidak sedikit alegori-alegori mistikal yang tergolong ke dalam sastra suluk ditulis berdasarkan bahan-bahan verbal yang diambil dari hikayat petualangan dan pecintaan seperti Hikayat Johar Manik, Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Angling Darma, dan lain sebagainya. Tidak sedikit pula suluk-suluk klasik digubah kembali menggunakan bahasa Jawa Baru.

Dalam konteks ini tidaklah boleh diabaikan suluk-suluk yang dikarang oleh K. H. Hasan Mustafa, seorang sufi dari tanah Sunda atau Periangan. Suluk-suluknya dihimpun dalam kitab yang diberi judul Wiwitan Haji Hasan Mustafa. Dua pengarang Madura yang hidup antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yaitu Umar Sastradiwirya dan Raden Danukusuma, telah berhasil mengubah sejumlah roman Jawa dan Melayu menjadi alegori mistikal. Raden Danukusuma juga menyadur kembali hikayat nabi-nabi (Serat `Anbiya) dalam bentuk tembang macapat dalam bahasa Madura tinggi yang indah. Nafas sufistik sangat kuat dalam Kitab Anbiya’ Madura itu.

original post by : Abdul Hadi WM

Read More..

Membuat ebooks (chm) dari sebuah website/blog

|

Pernahkah mengunjungi website yang isinya sangat menarik ? penuh dengan artikel-artikel bagus ? dan ingin seandainya semua (sebagian besar) isinya/artikel bisa kita baca dirumah tanpa perlu konek ke Internet ? Jika ya, ada software yang bisa dicoba, yang mungkin sebagian Netter sudah tidak asing lagi, yaitu HTTrack ( Opensource) dan juga WebCopier (shareware ). Meskipun webcopier berlisensi shareware, tetapi bisa kita gunakan full selama 15 hari, jadi cukup bermanfaat. Jika ingin yang free, gunakan HTTrack. Mungkin juga banyak software sejenis yang lain, namun bisa dicoba software tersebut.Bisa digunakan untuk download isi (Contents) dari sebuah website, kemudian dibuka/baca secara off-line (nb. Tidak semua web/blog bisa didownload menggunakan aplikasi seperti ini).
Jika sudah download semua file yang ada, maka bisa membuka file yang bernama index.html atau default.html, dan jika download berhasil maka bisa browsing file-file yang ada secara off-line (link-linknya otomatis akan tetap terjaga). Yang perlu diperhatikan, jika isi sebuah web banyak, maka mungkin perlu kesabaran untuk mendownload semua isinya, apalagi jika akses Internet naik turun. Sebaiknya juga diatur, agar download hanya artikel (Html saja) dan file tambahan yang ukurannya besar diabaikan.

Permasalahan yang terkadang muncul adalah banyaknya file yang di download, mungkin bisa mencapai ribuan. Jika seperti ini, tentu cukup merepotkan. Apalagi ukurannya juga relatif besar. Mungkin bisa dikompress, tetapi proses decompressnya memerlukan waktu dan tidak praktis. Salah satu alternatifnya adalah membuat semua file yang ada menjadi sebuah file saja yang simple, menarik, praktis dan langsung bisa dibaca. Bagaimana caranya ?

Salah satu caranya adalah menggunakan HTML workshop. Aplikasi ini digunakan untuk membuat Compiled HTML help ( *.chm atau *.hlp ). Sebelumnya silahkan download HTMLHelp.exe disini Didalamnya sudah disertakan help dan dokumentasinya. Setelah diinstall dibuka HTML Help Workshop atau langsung buka file yang bernama hhw.exe. Langkahnya sebagai berikut :
1. Pilih File > New > Project
2. Klik Next ditampilan yang muncul, abaikan opsi “Convert Winhelp Project”
3. Dibagian New Project — Destination, Isi dengan nama project.
4. Dibagian New Project — Existing Files, pilih HTML Files(.htm), kemudian klik Next
5. Dibagian New Project — HTML Files, Klik Add.. dan cari file yang merupakan index web yang kita download. Biasanya index.html, default.html atau sejenisnya.
6. Klik Next dan Finish
7. Untuk menghasilkan file chm, pilih menu File > Compile… Di tampilan yang muncul klik Compile. Maka jika proses berhasil, akan dihasilkan file chm
Cara diatas hanya akan menghasilkan sebuah file chm yang belum tampil fasilitas search. Untuk menambah fasilitas ini dan menu lainnya, bisa di atur di bagian Project Options (Klik Icon kiri paling atas di tab Project). Kemudian, dibagian Tab Compiler beri tanda cek di opsi “compile full text-search information”. Selain itu dapat juga dicoba-coba opsi lainnya. Atau juga mengedit file project yang kita buat dengan notepad dan dibuka melalui Help workshop ini. Selengkapnya bisa dilihat dokumentasi yang telah disertakan. Dengan adanya fasilitas pecarian ini, tentu akan lebih bermanfaat. Apalagi file chm ini juga otomatis dikompress, sehingga ukurannya cukup kecil.

Yang perlu diperhatikan bahwa tidak semua halaman web yang di download bisa di kompilasi menjadi chm, hal ini menyangkut komplektifitas dokumen. Jika banyak terdapat kode Javascript atau script lainnya, maka kemungkinan gagal. Sebaliknya untuk halaman web dengan konten html yang sederhana maka kemungkinan berhasil cukup tinggi.

Jika cara diatas terlalu sulit, bisa dicoba menggunakan software htm2chm yang secara otomatis menghasilkan file chm, tinggal melakukan sedikit konfigurasi dan mengatur setting yang tersedia. Bisa download htm2chm disini

Jika hanya ingin membuat ebooks dalam format html untuk beberapa file atau kita ingin memasukkan/menulis artikel-artikelnya sendiri, bisa digunakan HelpMaker, yang bisa download disini

Dapat juga memakai addon firefox yang namanya scrapbook, ambil disini, yang berguna untuk mengunduh web sekalian informasi waktu dan link unduhnya. Scrapbook ini juga punya tool tambahan CHM Exporter, yang mengubah hasil scrapbook jadi chm, ambil disini.

*****


Read More..

Sinyal Tubuh

|

Semua pasti pernah mengalami kedutan, atau cegukan. Sayangnya, sebagian besar dari kita seringkali mengabaikan tanda-tanda tubuh tersebut. Padahal menurut Dr. Karen Wolfe, penulis buku "Create The Body Your Soul Desires", mengatakan bahwa tubuh yang mengalami kedutan atau cegukan bisa menjadi pertanda bahwa tubuh sedang mengalami gangguan ringan. Namun meskipun gangguan tersebut tergolong ringan, tidak berarti harus diabaikan. Sebab, dengan memahami sinyal yang diberikan oleh tubuh diharapkan dapat lebih peduli pada tubuh sehingga tubuh menjadi lebih sehat

Kedutan Pada Kelopak Mata


Gerakan tak sadar yang diberikan oleh bagian tubuh anda ini menandakan bahwa tubuh anda kurang beristirahat dan tidur. Bahkan para ahli kesehatan sepakat, 99% kekejangan pada mata disebabkan karena tubuh anda didera stress dan lelah yang amat sangat. Tidak ada cara lain yang bisa anda lakukan untuk menghentikan kedutan pada mata ini selain membiarkan tubuh dan mata anda untuk beristirahat. Mengompres mata anda dengan air hangat untuk beberapa saat juga sangat membantu.

Menguap Terus

Menguap tidak selalu berarti mengantuk. Menguap, juga merupakan sinyal dari alam bawah sadar anda bahwa tubuh anda kurang bergerak. Misalya, anda terlalu serius bekerja sehingga menghabiskan lebih dari 5 jam duduk di depan komputer. Terlalu banyak menguap bisa juga berarti bahwa oksien di dalam otak anda sedang menurun jumlahnya. Hati-hati, kondisi ini bisa menurunkan tingkat kewaspadaan serta konsentrasi anda terhadap pekerjaan dan lingkungan di sekitar anda.

Cegukan

Anda cegukan padahal anda tidak sedang makan apapun. Kondisi ini menjadi sinyal bahwa tubuh anda sedang mengalami stress. Hal ini karena cegukan melepaskan hormon stress ke dalam aliran darah, kemudian merangsang serat syaraf secara berlebihan. Akibatnya, terjadi kontraksi otot tak sadar yang terletak di dekat pita suara hingga menimbulkan bunyi. Cara termudah untuk meredakan cegukan anda adalah dengan cara menelan sedikit gula pasir. Butiran gula pasir akan menstimulir ujung saraf di balik kerongkongan sehingga menghambat impuls syaraf lainnya, sehingga cegukan pun reda.

Kaki Kram

Apakah anda sering mengalami kaki kram secara intens setiap malam? Kram kaki merupakan sinyal tubuh yang mengisyaratkan bahwa tubuh anda sedang mengalami dehidrasi, kekurangan kalsium dan magnesium. Untuk mengatasinya, minumlah air putih lebih banyak dari biasanya. Susu kalsium juga sangat disarankan.

Read More..

Permata dan Khasiatnya

|

Bukan untuk tujuan syirik hanya sedikit ingin mengungkap keutamaan yang di titipkan Allah SWT didalam kristal unik ciptaannya ini.
BANYAK orang percaya dalam batu-batu perhiasan atau permata terdapat "penghuni gaib" yang membuat batu itu bertuah. Tak heran jika seseorang rela mengeluarkan uang hingga bejuta-juta karena menginginkan keberuntungan yang konon muncul karena ia mengenakan batu tersebut.
Benarkah anggapan itu? Yang jelas, ada alasan lebih rasional dan ilmiah tentang khasiat batu ini ketimbang sekadar memercayai di dalam batu tersebut ada qadamnya.
Menurut ahli batuan dari Malaysia Dr.(HC) Hisham Hashim, batu bisa digunakan untuk pengobatan karena memiliki gelombang elektromagnetik. Dengan elektromagnetik inilah batu dapat membetulkan medan elektromagnetik yang terganggu di tubuh manusia, sehingga yang bersangkutan sehat.
"Tubuh manusia memiliki satu medan magnet. Bila medan magnet di tubuh tidak seimbang, timbul masalah seperti penurunan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, yang bersangkutan akan terkena berbagai penyakit," kata lulusan Jurusan Geologi University Science Malaysia ini kepada "PR", di Perlis Malaysia, belum lama ini.
Gangguan medan elektromagnetik di tubuh manusia memang bisa disebabkan oleh berbagai hal, misalnya gangguan gelombang dari handphone, komputer, televisi, atau bisa juga karena pencemaran udara.
Sebagai contoh bahwa batu permata bisa berguna untuk pengobatan, Hashim mengutip pendapat Karen Ryan tentang tiga langkah pengobatan menggunakan batu kristal kuarsa.
Tahap pertama, penderita akan melalui proses penyucian selama tiga hingga empat bulan, bergantung pada kronisnya penyakit yang dideritanya. Agar proses ini berjalan optimal, penderita harus memakai batu kuarsa sekurang-kurangnya 21 hari. "Dalam kurun waktu ini akan terjadi penghilangan ketidakseimbangan yang terjadi dalam tubuh," ujar Hashim.
Tahap kedua, terjadilah proses kesimbangan itu. Si sakit akan merasakan perubahan positif secara fisik, mental, emosi dan spiritualnya. Badannya akan lebih stabil. "Ini terjadi karena adanya pengeluaran toksin (racun) dan tenaga negatif dalam tubuhnya," kata Hashim menambahkan. Proses tersebut akan berlangsung berulang-ulang. Setelah empat minggu menggunakan batu kuarsa biasanya tubuh penderita akan betul-betul seimbang.
Tahap terakhir adalah proses penstabilan, langkah yang paling penting dalam pengobatan dengan batu. Pengobatan ini minimal berlangsung tiga hingga empat bulan. Dalam kurun waktu ini kristal kuarsa tidak boleh dilepas karena proses stabilitas akan terganggu. Jika kuarsa kristal dilepas, upaya pengobatan harus diulangi dari awal.

Harus satu

Hashim menyarankan, agar pengobatan tercapai secara optimal, batu permata yang dikenakan sebaiknya satu saja. Hal ini karena setiap batu permata memiliki getaran (vibration) yang berbeda.
Pemilihan batuan pun harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita seseorang. Selain itu, pemilihan batu juga disesuaikan dengan keadaan sekitar. Sebagai contoh, penderita yang tinggal di tempat yang banyak gelombang listrik, disarankan mengenakan batu permata jenis berlian atau kristal jernih. "Kedua jenis batu ini dianegerahkan Allah memiliki tenaga, gelombang, kemampuan refleksi yang tinggi," ujar Hashim menjelaskan.

Khasiat permata

Pada dasarnya, hampir semua batuan dapat digunakan untuk pengobatan karena masing-masing mengandung getaran elektromagnetik. Hashim menyebutkan beberapa di antaranya.

1. Zamrud
Kandungan kimia Zamrud yang berwarna hijau ini adalah silica, alumunium, soda, dan magnesium. Karena warnanya yang menarik zamrud banyak disukai orang untuk digunakan sebagai perhiasan.

Menurut Rowland, seorang doktor yang di abad ke-17 meneliti batuan, zamrud sangat baik untuk mengatasi penyakit hati (liver) dan masalah di bagian kepala. Orang yang pelupa cocok untuk mengenakannya. Zamrud juga dipercaya mampu mengatasi kencing manis atau penawar sengatan/gigitan binatang berbisa.

Zamrud (Be 3 Al 2 SiO 6) adalah batu permata atau batu mulia yang berwarna hijau sampai hijau tua. Zamrud termasuk mineral silikat beril (mengandung beryllium) dan warna hijaunya disebabkan oleh kelumit kromium. Adanya vanadium dan besi yang menyertai kelumit kromium akan menyebabkan ragam zona pada warna hijau tersebut. Kekerasan zamrud termasuk tinggi (7,5 dalam skala Mohr).
Variasi warna : hijau segar, hijau - kekuningan, hijau - kebirua.
Kadar transparasi : transparan, translusan.
Kilap polis : kilap - kaca.
Index bias : 2,67 - 2,78.
Formula kimia : Be 3 Al 2 SiO 6.
Sistem kristal : Heksagonal.
Penghasil zamrud kualitas tinggi adalah Kolombia, Siberia, Afrika Selatan, Zimbabwe, Australia dan Brazil.

Banyak batu-permata berwarna hijau, tetapi hijau jamrud-lah yang dianggap paling mempesona. Sebagai mineral, jamrud termasuk kelompok jenis beril. jenis beril ini sebenarnya ada juga yang berwarna biru, kuning dan merah -- tetapi hanya warna hijaulah yang sejuk dan teduh itulah yang membuatnya bisa tampil sejajar dengan batu-permata-mulia lainya. Uniknya, mayoritas mineral jamrud terlahir dengan membawa ciri khas alami berupa retakan-retakan ataupun serat-serat -- sehingga kalau bisa menemukan satu yang berwarna bagus dan berbodi mulus...lha, ini dia! Mau tau harganya? dipasar bebas sebentuk jamrud nyaris sempurna dan berukuran besar bisa dinilai di atas US$ 10,000.00 per karatnya!
Sebagai batu-permata, jamrud tampak paling anggun dan ideal bila diasah model faset dalam bentuk potongan persegi-empat atau potongan-jamrud (emera-cut), sehingga dia sangat digandrungi oleh kaum pria yang akan merasa bangga kalau dapat memakainya sebagai mata cincin dengan ditretes intan-berlian pada bagian pinggirnya. Mantap lah rasanya.

Aura batu :
Menciptakan suasana sejuk, aman dan nyaman,
menjaga kesegaran jasmani dan rohani.

Relevansi profesi :
Praktis bidang kesehatan,
agrobis lingkungan-hidup.

special
Emerald/Zamrut : Menstimulasi visi dan pemahaman yang jelas

2. Pirus ("turquoise")
Pirus sebenarnya bukan 100% batu, namun merupakan campuran tanah, kapur, dan batu. Kandungan kimia pirus terdiri dari alumunium silicate dan hydrated phosphate.

Pirus bermanfaat untuk mengatasi penyakit paru-paru, syaraf, mata, penyakit di kerongkongan. Pirus pun mampu menguatkan jantung, memperbaiki peredaran darah, keracunan dalam darah, dan memulihkan tenaga.

3. Batu akik
Batu akik sering dikenakan sebagai perhiasan oleh kaum lelaki. Batu akik inilah yang acap dipercaya mengandung "penghuni gaib". Lebih dari 1.600 tahun lalu tentara Roma menghancurkan batu akik sampai lembut, lalu dicampur dengan air dan direbus, digunakan untuk mengobati penyakit ginjal dan limpa. Malah, ahli pengobatan dari Arab menggunakan bubuk batu akik untuk menghentikan perdarahan dan luka dalam. Bagi yang mengenakannya, batu akik dapat memberikan ketenangan dan mengatasi masalah sukar tidur.

4. Berlian
Berlian dipercaya sebagai master dari segala penyembuhan penyakit. Ia memiliki kekuatan untuk penyucian dan keseimbangan cleansing and balancing) badan. Batu permata ini digunakan untuk menguatkan semua organ di dalam badan, terutama empedu dan ginjal. Berlian juga baik untuk kesehatan usus kecil, kekuatan tulang, kelenjar pineal, dan baik untuk mengaktifkan kelenjar timus. Ada juga orang yang percaya berlian dapat digunakan untuk detoksifikasi atau pengeluaran racun dari tubuh.

Namun perlu diingat, berlian yang belum diproses justru lebih ampuh untuk pengobatan ketimbang yang sudah diproses menjadi perhiasan yang indah. Pemotongan berlian sedikit banyak akan memisahkan atom-atomnya dan memengaruhi getaran yang sudah ada.

5. Mutiara
Pada abad ke-17 ahli pengobatan menggunakan serbuk mutiara yang dicampur dengan air minum sebagai penyembuh penyakit jantung dan keracunan makanan. "Numerologis dan gemologis Dr. R.I. Dhuraimurugar menyebutkan bahwa serbuk mutiara amat baik untuk mengatasi sakit mata, saluran jantung, TBC, demam, insomnia, dan asma," kata Hashim.

Kini, serbuk mutiara juga digunakan untuk campuran kosmetik. Mutiara bermanfaat untuk menjadikan kulit halus. (Ella YP/Teguh L/"PR")

6. Blue Safir

Safir ( Bahasa Ibrani : sapir ) adalah bentuk kristal tunggal aluminium oksida (Al2O3 ), suatu mineral yang dikenal sebagai korundum . Safir dapat ditemukan secara alami sebagai batu permata atau difabrikasi pada boule kristal besar untuk berbagai keperluan, termasuk komponen optik inframerah , permukaan jam, jendela yang kuat, dan wafer untuk deposisi semikonduktor seperti nanorod GaN.
Kelompok korundum termasuk aluminium murni. Sejumlah kecil unsur lain seperti besi , titanium , dan kromium memberikan warna biru, kuning, merah muda, ungu, jingga, atau kehijauan terhadap safir. Safir termasuk semua variasi kualitas mineral korundum kecuali yang memiliki warna merah jenuh penuh, yang dikenal sebagai rubi.
Karakteristiknya :
Variasi warna : Biru, ungu, kuning, oranye, hitam, bening.
Kadar Transparasi : Transparan, translusan, opak.
Kilap Polis : Kilap-intan.
Index Bias : 1,766 - 1,774.
Kadar Keras : 9.
Berat Jenis : 3,47 - 3,55.
Formula Kimia : Al2O3.

Sistim Kristal : Heksagonal.

Wilayah Penghasil : Srilangka, Thailand, Myanmar, Amerika Serikat, Australia.

Relevansi Profesi :
- Priktisi bidang keilmuan,
- perdagangan,
- wirausaha dan eksekutif.

Aura Batu :
- Mengembangkan daya pikir,
- menumbuhkan inspirasi,
- optimisme serta harapan baru.

Peredam penyakit batin
Membawa damai dan tenteram batin.

yang lebih spesifik..PENGEKAL ASMARA ...

7. Kecubung Asihan

Sekilas tentang kecubung (amethis)

Lokasi Ditemukannya Kecubung

Di Indonesia Kecubung banyak ditemukan di daerah kalimantan tapi juga ada di daerah daerah lain seperti jawa barat. Selain di Indonesia, Kecubung atau Amethyst ditemukan juga di Brazil, Canada, India, Russia, Madagascar, Namibia, Sri Lanka dan Amerika (Colorado, Georgia, Montana, North Carolina, Pennsylvania, Rhode Island, Virginia). Amethyst adalah lambang Batu Permata dari negara bagian South Carolina-USA (US State Gemstone of South Carolina) dan dari negara bagian Ontario-Canada (Canadian State Gemstone of Ontario, Canada).

Cara Merawat & Menyimpan Kecubung

Bersihkan Kecubung atau Amethyst anda di alat pembersih perhiasan ultrasonic atau dapat pula dengan menggunakan air hangat yang sudah diberi sedikit sabun khusus, kemudian sikatlah perlahan dengan sikat berbulu halus. Jaga jangan sampai Amethyst anda terkena panas atau sinar matahari yang sangat terik dalam waktu lama karena warna batu akan memucat.

Beberapa Kegunaan Kecubung

Di Indonesia kecubung selain sebagai batu perhiasan juga sering dianggap sebagai batu yang ber tuah atau ber khasiat, contoh nya ada lah ke cubung hasian yang di percaya mempunyai khasiat untuk mendapat kan simpati dari orang lain dan juga orang menjadi tidak ingin berbuat jahat kepada si pemakai batu tersebut.

Tetapi menurut kepercayaan untuk membuat batu tersebut berkhasiat, harus di olah secara alami, atau tidak menggunakan alat alat modern, seperti gerinda atau obat pemoles lainnya, umum nya mereka menggosok nya dengan menggunakan bambu ( bisa bambu hitam atau bambu biasa ), dan terkadang si pembuat juga berpuasa. Selain itu Kecubung juga digunakan untuk meningkatkan kekuatan bathin/spiritual serta kewaspadaan intuitif seseorang. Juga digunakan untuk meredakan sakit kepala.

Legenda mengatakan, menggunakan Amethyst atau minum dari cawan yang terbuat darinya, akan mencegah terjadinya keracunan. (Boleh per caya atau tidak). Untuk orang orang tertentu di negara Eropa dan Amerika kecubung atau Amethyst juga merupakan simbol atau sering di gunakan sebagai hadiah perkimpoian ke 4 atau ke 6.

Semuanya kembali ke kita, tapi pada akhirnya tetap kembali ke PADA DIA Yang Memberi HIDUP.
disadur dari diskusi kaskuser

Read More..

Yuk.. Coba - Coba Ramal

|

UNTUK MENEBAK ESOK DAN MENERKA ORANG.

Pria bershio Naga dibilang bila ia menyatakan mencintai Anda, maka Anda boleh merasa yakin bahwa pernyataannya itu tulus atau sangat setia. Lantas pria Pisces dibilang cenderung introvert, pemalu, tapi banyak imajinasi, kemudian kalau sedang kasmaran akan terfokus, sehingga bikin lawan jenis tersihir.
Kesimpulan? Jika shio dan zodiak menyatu dalam diri seseorang maka ada “Naga Ikan” (mungkin saudaranya ikan ayam). Kurang romantis tapi berbakat selingkuh.

Orang Gemini, pria maupun wanitanya, dibilang punya bakat flirty. Suka gonta-ganti pasangan. Maksudnya pasangan selain pasangan tetap. Jenis penyayang anak, gitulah. Tepatnya: penyayang anak orang yang sudah dewasa. Padahal ada juga Gemini yang pemalu bahkan terkesan cuek terhadap lawan jenis. Memang sih ada playboy yang kebetulan Gemini, salah satunya adalah presiden masa lalu.

Zodiak. Shio. Weton. Seberapa benar sih?

Bener tidaknya ya hanya Tuhan yang tahu, sebenarnya Zodiak. Shio. Weton, dan lainnya yang semacam, itu hanya rekaan mbah-mbah kita setelah, mungkin!!! anaknya, cucunya, cicitnya lahir dan mempunya watak yang berbeda-beda. Tapi pada intinya, setiap ramalan berlakunya enggaknya ya tergantung sugesti kita masing-masing, kita percaya ya hampir 60%, ramalan itu akan terjadi.Enggak percaya ya bagus, berarti keyakinan terhadap Tuhan Yang Esa masih dominan.

Jika benar, mestinya bagian rekrutmen setiap perusahaan menjadikannya sebagai pegangan. Meskipun benar, jika kinerja tak diperhitungkan maka bisa dijamin kantor akan bubar — misalkan diberlakukan di militer, setiap minggu ada revolusi tangsi. Masa iya sih, karier (dan gaji) ditentukan oleh tanggal lahir. Mendingan ramai-ramai merevisi akta kelahiran.

Di rumah, saya satu-satunya lelaki. Dengan segala keapabolehbuatan, saya paling ganteng — tapi jangan dibandingkan dengan tetangga maupun pemulung. Kadang, saat kami berkumpul, Kakakku paling suka membacakan ramalan bintang untuk saudaranya yang lain(kadang juga pembantu). Semua mendengarkan dan tertawa-tawa. Sumbernya ya majalah dan tabloid untuk wanita, termasuk majalah remaja cewek.

Apakah wanita cenderung lebih menyukai perbincangan zodiak?

Bisa saja pria dan wanita sama doyannya. Hanya kebetulan saja jika majalah Hai terbaru menyajikan aspek zodiak pria dari pelbagai “fungsi”: sebagai kekasih, sebagai bos, dan sebagainya.
Taruh kata perbincangan zodiak cuma hiburan, tak dapat diandalkan, toh nyatanya itu bisa jadi jualan, dari layanan SMS, rubrik di majalah, sampai langganan ramalan harian secara online.
Selama manusia tak bisa mengetahui persis apa yang terjadi setelah detik ini maka yang namanya ramalan selalu menarik.
Selama setiap orang sulit mengenali orang lain seutuhnya, maka terkaan terhadap sikap, perilaku, dan nasibnya, akan dipatok berdasarkan tanggal kelahiran.
Anda percaya zodiak dan sejenisnya, termasuk katuranggan (ciri-ciri fisik yang memengaruhi watak)?****

Tapi ya sah-sah saja seh, kalo orang iseng-iseng kepengen tau ramalannya, cuma ya jangan ampe percaya 100 % aja, diramal sebagai orang sukses dan kaya tapi dia enggak melakukan apa-apa, makan tidur dirumah aja.Emang ntik sukses dan kayanya mo datang dari langit? *kan payah!!!*

so....yuk bermain ramalan....!!!???!!!
klik aja yang dibawah ini....!!!

Kalkulator Penghitung Umur

Watak Manusia Berdasarkan angka-angka

Sifat Manusia Berdasarkan Golongan Darah

Cari Kecocokan Kamu Berdasarkan Nama

Ramalan Jodoh Mbah Sasmito Adibowo

Ramalan Jodoh Berdasarkan Weton

Arti Dari Tanda atau Bentuk Tubuh

Watak Manusia Berdasarkan Warna Favorit

Watak Manusia Berdasarkan Weton

Watak Manusia Berdasarkan Zodiak

Watak Manusia Berdasarkan Shio

Watak Manusia Berdasarkan Bulan Lahir

Watak Manusia Berdasarkan Hari Lahir

Watak Manusia Berdasarkan Tanggal Lahir

Read More..

Diagnostik System Tools Windows

|

Ingin menjalankan utility diagnostik berbasiskan floppy dari CD-ROM drive.Pakai saja Ultimate Boot CD.Kelebihannya, bisa menikmati kecepatan loading lebih cepat, dari pada menggunakan floppy. Kumpulan tool diagnostik, menjadi satu CD bootable. Ketika mem-boot dari CD, sebuah menu berbasiskan teks akan muncul, kemudian pilih tool apa yang akan dijalankan.
Ultimate Boot CD contains tons of free utilties enabling you to:

- Reset a password in windows 2000/XP

- Diagnose a harddisk to test if it's still good

- Copy a partition to a new partition on a new harddrive.

- Completely wipe out a harddisk by zero'ing out all data.

- Run a plethora of memory testing utilities.

- Run a few linux rescue disks

- Get detailed hardware report of computer system

- Run a virus scanner on an infected system.

- Remember those pocket cds come in sizes of 185MB or 210MB so this disc is a wallet keeper.
Nih Screenshots-nya




Untuk lengkapnya dapat dibaca disini

Dapat di download disini, lumayan besar 94,9MB.Jadi ya harap sabar untuk downloadnya.

Read More..