Sebuah Renungan

Apakah makna hidup saya?
Kenapa hidup saya terasa datar saja,
berputar-putar dari hari ke hari?
Hanya pergantian episode senang dan sedih?
Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?'
dan untuk apa semua ini?


Sebenarnya, Allah setiap saat 'memanggil-manggil' kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya,terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya 'menoleh' kepada Allah. Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan,panggilan-Nya.
Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan 'Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya?
Apa makna kehidupan saya?,' dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari sebuah kesejatian?

Mencari kebenaran? Mencari 'Al-Haqq'? Allah, percayalah, akan selalu
menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.
Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya
kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu.
Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para
utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara
seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari
kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.
Bentuk 'pancingan' semacam ini pula yang dialami oleh para pencari,
maupun para Nabi.

Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi
(ilah), yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa,
misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang
maha raja yang terbesar sepanjang sejarah, Ramses I. Hidup dalam
kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu 'galau'
ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu
menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan
ayahnya Ramses I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya,
normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayahnya.

Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang
sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita
sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan,
mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau
sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini
terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu potensi
pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak
sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita
menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah 'potensi mencari Allah' yang
Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan
semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu
menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan padakita semenjak lahir.

Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak
menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari.
Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah,
membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap
hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar
telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja,
tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti polayang sama dengan kita. Pada saatnya nanti,
mungkin hidup mereka pun akan mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur.

Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna
kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri.
Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya
sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang
menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia 'menjerit' ingin
mencari Al-Haqq, dan 'rembesannya' kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan.

Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi
pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena
secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk
melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam
pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi
kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau
keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi dan sebagainya.
Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti
datang ke pengajian bukan dengan niat mencariNya tapi hanya untuk
melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja.

Kegelisahan hilang, dia pun pergi lagi.. Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya:"Manusia diciptakan untuk beribadah!!
segala jawaban telah ada di Qur'an!!"
Oke, tapi ibadah yang seperti apa?
Bisakah kita benar-benar beribadah,tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah kita menjangkau makna Al-Qur'an?

Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika Al-qur'an benar,
mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur'an seperti kitab suci
yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat,dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak?
Jika kita beriman,apakah iman itu?
Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz?
Apakah Ad-diin?
Apakah Shiratal Mustaqim?
Jalan yang lurus yang bagaimana?
Mengapa qur'an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya?
Ini sebenarnyapertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi Al-qur'an.

Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal
qur'an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/ mutahhiriin, (QS 56:77-79).
[Q.S. 56] "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat
mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78).
Dan tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan/ muthahhiriin (79)."

Apakah kita berani yakin bahwa kita adalah seorang yang telah
disucikan, sehingga makna Al-qur'an telah terbentang begitu jelas
dihadapannya?
Jika demikian, apa gunanya pernyataan : "Semua jawaban telah ada di Qur'an" baginya?

Apakah kita akan terus saja membohongi diri
dengan membaca terjemahan Al- qur'an dan memaksakan diri meyakini bahwa kita telah mendapatkan maknanya?
Jeritan jiwanya tersebut kita timbun dengan segala cara. kita tidak
ingin mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan kebenaran.

Padahal seharusnya 'jeritan jiwa'
tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita
akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita
akan berhenti menangis dengan sendirinya?
Bukankah seharusnya kita mencari tahu,
kenapa anak kita menangis?

Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun,
sama sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan
dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya
ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak
terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi.
Ia dipaksa-Nya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai
jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa
ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh,dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataanbahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil,keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil.

Pada saat. . . . .
pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya.
Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang.
Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia
terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa
dirinya sebenarnya.

Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting
bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah
dengan air kegalauan: "Siapa diriku sebenarnya?".

Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan
sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang
pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah
ta'ala, yaitu Nabi Syu'aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput
Musa dan membawa Musa kepadanya.
Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya
"arafa nafsahu", untuk "arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri". Dan dengan
bimbingan Syu'aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah
'arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa
Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali
misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah
menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Setiap orang dimudahkan untuk
mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu." (Shahih Bukhari no.2026)


Pertanyaan "Siapakah aku? dan,Untuk apa aku diciptakan?"
harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita
(dan itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan
berhasil).
Anda memang telah benar-benar butuh jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu.

dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata 'nafs', salah
satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).
Jadi, kurang lebih maknanya adalah
"barangsiapa yang 'arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan 'arif pula akan Rabbnya".

Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah,
hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.
Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu 'arif akan Rabb kita,
maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas 'Ad-diin'.
'Arif akan Rabb, atau sebagaimana kita kenal dalam bahasa Arab disebut 'Ma'rifatullah' (meng- 'arifi Allah dengan sebenar-benarnya),

sebenarnya barulah –awal–
perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan
orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang
terkenal: "Awaluddiina ma'rifatullah", Awalnya diin adalah ma'rifat
(meng-'arif-i) Allah.


. . . .Robbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa Ba’da Idz Hadaitanaa Wa Hab Lanaa Min Ladunka Rohmatan, Innaka Antal Wahhaab. . . .

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Mahapemberi (karunia).” (QS.Ali ‘Imran:8)

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in,
Wallahu A`lam Bish-shawab,


[ditulis oleh seorang sahabat nan fakir yg sangat menginginkan kebaikan padamu dan pada semua mahluk dan berharap bisa berjumpa denganmu suatu saat nanti yg dimana hari itu tidak ada persahabatan yg manfaat kecuali persahabatan yg dilandasi Mahabah karena Allah ta'alla original post by Abu_Nawas *kaskus.us*]