Pernikahan

Memiliki keturunan (reproduksi) adalah salah satu 'ibadah Khalifatullah yang telah digariskan Allah sebagai bentuk kehidupan yang 'semata-mata hanya untuk menyembah Allah SWT'. Dengan berbagai istilah dan terminologi manusia menyebut tentang pernikahan, yaitu sesuatu yang menunjuk pada aktifitas percampuran dua jenis manusia (laki-laki dan perempuan). Agama samawi yang diturunkan pertama kalinya yaitu melalui Adam AS hingga kepada risalah Rasulullah menjadikan pernikahan adalah suatu 'ibadah yang sunnah. Bahkan Rasulullah bersabda bahwa 'Nikah itu adalah sunnah ku. Maka barang siapa menikah maka ia telah mengikuti Sunnah ku'. Sama halnya seperti Puasa, Pernikahan juga merupakan 'ibadah para rasul dan nabi Allah (Ar-Ra'ad: 38).
Maka sebagai pewaris ajaran para Khalifah Allah di dunia, menikah menjadi suatu hal yang diperhatikan oleh manusia yang akan mengalaminya, dimana dua manusia yang saling berbeda, akan mengikat (bukan diikat) diri dalam suatu pernikahan. Maka pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan dengan ikhlas dan ridha dari keduanya yang melangsungkannya.

Menikah, bukan sekedar mensahkan hubungan intim antara kedua manusia berlain jenis.
Menikah, bukan sekedar tinta di atas kertas yang ditanda tangani di KUA.
Menikah, bukan dunia yang isinya hanya seksual dan kepuasan birahi.
Menikah, bukan bicara soal siapa Tuan dan siapa Pelayan.
Menikah, bukan sekedar bicara kau dan dia, tetapi bicara soal keluarga kalian.
Menikah, bukan sekedar bicara cinta dan kasih dan rayuan.
Menikah bukan bermain dan permainan.

Menikah, menyangkut soal pendidikan dan budaya rumah tangga, anak dan keturunan,
Menikah, berarti bicara soal kerjasama, musyawarah dan prioritas.
Menikah, berarti bicara soal perlindungan dan kesejahteraan.
Menikah, berarti bicara soal pengelolaan ekonomi dan rizki.
Menikah, berarti hidup bersama seseorang selamanya.
Menikah, berarti siapa bertanggung jawab kepada siapa.
Menikah adalah 'Ibadah
Menikah, bicara banyak hal - dan tidak bicara banyak hal pula.

Maka barang siapa hendak menikah hendaknya ia adalah orang yang 'siap', telah baligh (dewasa) baik secara fisik maupun mental, dimana ia akan siap dengan segala konsekuensinya, yang mana ini tidak ditunjukkan dengan titel akademik, militer atau apapun. Dan memang, kesiap sediaan itu tak akan pernah datang utuh, kecuali saat ini, saat kita merasa siap dengan bekal yang proporsional. Menunggu hujan emas turun dari langit, sama saja menggantungkan impian pernikahan kita terlalu tinggi sehingga berpotensu menjadikannya sebagai puing-puing yang jatuh ke tanah. Pernikahan, harus dihadapi dengan nyata. Tidak dengan bayang-bayang awan gelap yang kan turun di musim kemarau. Gunakan payung mu, dan jangan berharap atau bertaruh untuk masa depan nanti. Namun jika tidak sanggup bertanggung jawab untuk diri sediri, maka hidup sendirian masih lebih baik daripada menyiksa anak orang lain.

Mengasah diri sendiri, mau menggembleng, adalah langkah yang umumnya ditempuh anak2 muda sekarang. Lihat, mereka sudah mulai mengatur keuangan sendiri, investasi, berkarir dan sebagainya, sebagai wujud persiapan mereka secara fisik meski sebagian masih senang dengan bermain dan permainan. Bagaimana dengan persiapan mental dan agama? Seorang yang dewasa dan tumbuh itu adalah mereka yang tau mana yang mulia untuk dirinya, dan yang tau apa yang akan diisinya dalam hidup ini.
Pernikahan adalah suatu rahmat yang tiada tara, maka jangan kotori ia dengan tuntutan, paksaan, apalagi taktik dan penipuan.
Pernikahan idaman kamu itu adalah mewujudkan Al Baiti, Jannati. Rumah ku, Syurga ku, buat kalian berdua. Bukan buat dirimu semata, juga bukan buat keluarga besar mu sendiri, Tetapi syurga buat kalian berdua.
Wujudkan lah itu kawan, dengan cara kalian, dengan doa kalian. Menikahlah selayaknya 'abdi Allah, jangan berlebihan. Menikah adalah 'IBADAH = perilaku yang dilakukan oleh orang sebagai 'abdi/pengabdian kepada Allah, yang di Tuhankannya - Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Dipilihkannya wanita yang terakhir kau pacari, sebagai istri mu yang kau nikahi pertama kali.
Namun ingat, tak pantaslah dirimu mengharapkan wanita sebagus Khadijah sebagai pendamping mu. Berkacalah, diri mu tak sebagus Nabi.
Untuk itu senantiasalah berdoa dan memohon. Walau dirinya tak sebagus Fatimah binti Rasulullah dan diri mu tak segagah Ali bin Abi Thalib, namun wahai Zat Yang Maha Pecinta, rahmatilah cinta ini sebagai mana engkau merahmati cinta Zulaikha-Yusuf, seperti berkahnya kasih sayang Ali-Fatimah, dan seperti kemuliaan sejoli Muhammad - Khadijah.

Lah terus aku kapan???sebuah renungan....ughhhh