Manunggaling kawulo gusti ala Islam

Ma’rifatullah, pada intinya adalah mengenal Allah. Di dalam tasawuf—ada tahap-tahap yang dilalui : Syariat, Tariqat, seterusnya Hakikat, dan terakhir adalah Ma'rifat. Pada puncak inilah seorang hamba mengenal pencipta-NYA. Saking mengenalnya maka seolah berpadu. Orang bilang ini, "manunggaling kawulo gusti". Tapi hendaknya dipahami BERPADU disini tidak berarti melebur menjadi satu hingga muncul “Tuhan adalah Aku, Aku adalah Tuhan” seperti “manunggaling kawulo gusti”-nya Fir’aun beberapa abad sebelum masehi yang lalu.
Berpadu, artinya terdiri dari entitas yang berlainan yang masing-masing punya peran dan fungsi berbeda tetapi rela untuk berpadu. Dalam pada itu keduanya memberi warna dalam bingkai ma’rifatullah yang tegas, yang selama tak dilanggar batas-batasnya maka lukisan itu (hidup dan kehidupan) menjadi indah dalam bingkainya.
Sirkuit Syariat (aturan, peribadatan, praktek, amalan, dsb) –melalui Tariqat (jalan, pencarian, pencapaian, pemahaman) – untuk kemudian mencapai Hakikat (hakiki, kesejatian, absolut) – dan pada akhirnya Ma’rifat (mengenal) adalah stasiun-stasiun yang umum dilewati para sufi. Ujungnya, Allah-nya. Pangkalnya, Allah-nya juga.
Seseorang yang shalatnya benar, rukunnya benar, maka pahamnya benar, maka akan mendapatkan kesejatian yang benar, dan mengenal Allah dengan benar. Hamba yang mengenal Allah dengan benar maka shalatnya pun benar, rukunnya benar, pahamnya benar, dan kesejatian yang didapatinya pun benar.

Itulah Ma’rifatullah, dimana hamba menyadari hak dan kewajibannya kepada Allah, sebagaimana Allah telah memenuhi hak dan kewajiban-NYA kepada hamba-NYA.
Ini semua merupakan siklus yang berulang. Sampai di titik Ma’rifat bukan berarti putus segala hak dan kewajiban hamba kepada-NYA. Sebaliknya, justru semakin menyempurnakan Syariat, Tariqat dan Hakikat, untuk kemudian mencapai titik siklus Ma’rifatullah untuk kesekian kalinya. Persis seperti puncak ombak yang akhirnya turun dan memecah lautan, bergerak, beriak, untuk kemudian menciptakan puncak ombak untuk kesekian kalinya. Jadi proses Syariat-Tariqat-Hakikat-Ma’rifat itu adalah sebuah siklus, tepatnya sirkuit tasawuf.

Siklus atau sirkuit ini harus terus diperbaharui, disempurnakan—berputar, bergerak, untuk/agar tetap “diam, mengikuti, stabil” memadu di dalam “sirkuit harmonisasi universal”. Seorang hamba yang mencapai Ma’rifatullah, bukan berarti saatnya shalatnya berhenti, puasanya cuti, dan seolah kebal dosa. Jika itu yang jadi hasilnya, berarti ia belum Ma’rifatullah, mengenal Allah, hamba menjalani hak dan kewajibannya kepada Allah, sebagaimana Allah telah memenuhi hak dan kewajiban-NYA kepada hamba-NYA. Jadi Ma’rifatullah bukanlah tempat untuk terminate. Justru sebaliknya, shalatnya (syariatnya) semakin tawaddlu karenanya. Semua itu sebagai perwujudan keterpaduan (manunggaling) tadi dimana ia semakin mengerti ada hak dan kewajiban dalam bingkai hubungan Tuhan dan hamba-NYA. Inilah namanya Kasunyatan yg sejati. Sehingga kasunyatan itu tak semata dari semedi ke semedi saja.